Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

“Bangun pagi, malas mandi, masih ngantuk, tidur lagi.” Begitu Medina bersenandung sambil menarik selimut untuk membungkus seluruh tubuhnya. Hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang akibat hujan yang mendera semalam suntuk membuatnya terlena. Dia pun dengan senang hati kembali melingkar di pembaringan. Mumpung libur akhir pekan, Medina ingin menghabiskan seluruh waktunya dengan rebahan.

 

Beberapa kali Medina menguap. Matanya yang sayu seiring waktu semakin berat dan mulai kembali terpejam. Sayang seribu sayang, kejadian itu hanya berlangsung sesaat. Hanya sekelebat. Perempuan itu terlonjak bangun hingga nyaris terjungkal saat menyambar hijab yang tergeletak di sandaran kursi. Rasa kantuk yang tadi bergelantungan di pelupuk mata Medina minggat secepat kilat, menyisakan denyut menyakitkan yang menghantam kepalanya. 

 

“Ya, sebentar!” teriak Medina kesal sembari tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu. Dari ketukan yang lebih pantas disebut gedoran, Medina tahu siapa yang tengah menantinya di luar sana. Dengan kasar Medina memutar kunci. Sesaat setelah hendel ditekan ke bawah dan pintu ditarik mundur, sosok perempuan bergamis dengan hijab lebar yang menutupi setengah tubuh menyapa Medina. Tepat sesuai dugaan, Pemirsa! “Apa sih, Ma? Ganggu Medina lagi baca buku, tau?” Tanpa segan gadis itu menyembur Latifa. Gurat kemarahan terpeta jelas di sepasang matanya yang menatap nyalang.

 

“Kamu beneran nggak mau ikut?” Latifa bertanya, dengan bahasa isyarat seperti biasa. 

 

“Nggak!” 

 

“Tapi—” 

 

“Pokoknya nggak!”

 

Latifa menghela napas. Jujur, dia tidak nyaman meninggalkan Medina seorang diri di rumah. Perjalanan yang akan ditempuhnya hari ini terbilang cukup jauh. Acara keluarga yang akan dihadirinya bersama Santi berada di luar kota akan memakan waktu empat jam perjalanan pergi-pulang lewat jalur tol. Membayangkannya saja sudah membuat Latifa merasa lelah. Ditambah kekhawatiran karena meninggalkan Medina tanpa penjagaan membuat perjalanan akan terasa semakin panjang dan menyiksa. Walaupun ini keinginan Medina sendiri dan berulang kali pula Medina tekankan bahwa dia bisa menjaga diri, kekhawatiran itu tetap saja bercokol dan enggan pergi. 

 

Dengan lembut Latifa membelai pipi Medina. Kasih dan sayang yang begitu besar membuat perempuan itu lupa kalau sesaat tadi Medina membentaknya. “Mama minta Mbak Santi buat—”

 

Tanpa ragu, lagi-lagi Medina memotong omongan Mama. “Medina bisa sendiri di rumah, Ma! Sudah bagus Mbak Santi ikut Mama. Daripada aku, Mama yang jelas-jelas butuh ditemani.” Jelas Medina menolak usulan itu. Kebebasannya yang singkat terancam gagal jika ada Santi.

 

“Mama usahakan pulang secepatnya.” Begitu janji Latifa. “Kalau ada apa-apa—”

 

Untuk kesekian kalinya Medina menyela, “Nggak akan ada kejadian apa-apa, Ma.” Gadis berhijab instan polos warna khaki itu juga menambahkan, “Lagian Medina punya mulut buat teriak. Medina nggak gagu—”

 

“Medina!” teriak Santi murka, tidak menyangka Medina begitu kurang ajar bicara yang menyinggung kekurangan ibu mereka.

 

Tubuh Medina menegak seperti disengat listrik ribuan volt. Sesaat matanya memejam, membayangkan masalah macam apa yang menunggunya di depan sana. Santi akan dengan senang hati mengadukan kekurangajarannya pada Luthfi. Biar satu dunia membencinya, Medina tidak peduli. Pengecualian bagi Luthfi. Demi apa pun, Luthfi satu-satunya yang tidak pernah masuk dalam daftar orang yang ingin dia jadikan musuh. Kalau sampai papanya itu tahu seperti apa kelakuannya, habislah dunia!

 

“Jaga omongan kamu, Dek!” tegur Santi penuh penekanan. Tubuhnya yang tinggi menjulang saat berhadapan dengan Medina membuat nyali sang adik ciut. Dipelukannya, Mama tergugu pilu. 

 

“Sorry, aku keceplosan.” Medina menunduk, enggan menatap Santi yang saat ini tampak ingin menelannya bulat-bulat. Santi tak ubahnya induk godzila yang siap menghancurkan siapa saja yang sudah mengusik sarangnya. “Padahal yang Medina bilang tadi nggak salah, kan, Mbak? Tapi … kenapa Mbak malah marah?” Sudah tahu salah, bukannya minta maaf, Medina malah berkeras dan berusaha membalik keadaan.

 

“Minta maaf sama Mama sekarang!” bentak Santi. Tegas.

 

Medina mendongak, mengerjap beberapa kali sebelum membuang muka. Sungguh, andai tidak mengkhawatirkan amukan Papa, dia tidak akan sudi bersitatap dengan kakaknya. Tapi, bayangan Papa telanjur menjadi momok menakutkan. “Padahal Mama yang resek duluan, kenapa aku yang disalahin?”

 

“Kita bicara nanti malam. Mbak harap kamu memanfaatkan waktu sendiri ini untuk merenungi kesalahanmu.” Sadar ini bukan waktu yang tepat untuk bicara, Santi memilih menggiring Latifa pergi. Bicara dari hati ke hati dalam keadaan kepala dingin jelas lebih baik. Nasihatnya mungkin akan lebih cepat Medina pahami. Ya, itupun jika Medina mau diajak bicara.

 

-***-

 

Dari terlentang, hingga tengkurap, lantas terlentang lagi, bolak-balik begitu terus berguling ke kiri lalu ke kanan, Medina tidak juga mampu tertidur sesuai keinginannya semula. Bayangan Luthfi hilir mudik dalam benaknya. Luthfi tidak pernah bicara keras padanya. Juga tidak pernah menatap nyalang penuh amarah. Kalau sampai itu terjadi, semua salah Latifa. Santi juga punya andil di dalamnya. Huh! Kekesalannya bertambah-tambah.

 

“Papa tau nggak, sih, Mama itu yang dulu bikin aku di-bully? Gara-gara Mama juga, aku sampai pernah mikir pengin bunuh diri. Aku nggak bisa menikmati masa-masa SMP yang harusnya menyenangkan. Gara-gara Mama dan semua kekonyolannya itu, aku sampai kehilangan satu per satu teman.” 

 

Medina terisak di kesunyian. Air matanya berlinang membasahi pipi. Angga, alias Anak si Gagu, begitu dulu dia dipanggil oleh teman-temannya. Panggilan bernada ejekan itu bermula dari satu orang terus menyebar seperti wabah dan akrab di pendengaran Medina hingga menyelesaikan masa sekolah menengah pertamanya. Akrab, bukan berarti dia menerima dengan lapang dada. Walaupun fakta, Medina sangat membencinya.

 

Tidak ada Luthfi di sana, tapi Medina menumpahkan isi hatinya seolah aduannya didengar dan akan mendapatkan tanggapan sang ayah. Medina meringkuk, memeluk diri sendiri yang kesepian. “Aku nggak mau lagi jadi anak cupu kayak dulu. Aku nggak mau diatur-atur seolah aku nggak punya hak bicara dan berbuat. Aku punya otak yang lumayan encer, nggak mungkin aku nggak bisa bedain mana yang baik dan yang buruk. Mama aja yang keterlaluan memperlakukan aku kayak aku ini lemah dan nggak bisa apa-apa!”

 

Dengan serampangan Medina bangkit, berdiri di tengah kamar menghadap cermin meja rias. Direnggutnya hijab yang masih terpasang di kepalanya. Tanpa perasaan digumpalnya hijab itu lalu dicampakkan ke tempat sampah di bawah meja belajar. Kemarahan dan kekecewaan yang menggunung di hatinya butuh pelampiasan. Tidak cukup sampai di situ, Medina juga merenggut piamanya hingga satu per satu kancing terlepas lalu terpental tak tentu arah. 

 

Bayangan di cermin mengundang kikik tawa Medina. Lucu! Dia persis bocah berbadan bongsor yang polos. Tubuhnya memang meninggi dan membesar, tetapi tidak dengan jiwanya. Tubuh ini seperti penjara yang memerangkap kebebasannya. 

 

Kata Latifa, karena dia perempuan makanya mamanya overprotektif. Omong kosong! Banyak ibu lain di luar sana yang memperlakukan putrinya seperti teman. Memberi kebebasan. Bebas memilih teman. Bebas berpenampilan. Bebas bepergian. Bebas seperti burung yang tidak akan mungkin tersesat atau lupa jalan pulang.

 

“Sehari ini aja Medina, kamu boleh bersenang-senang,” ucapnya lirih. Perlahan tapi pasti senyumnya mengembang.

 

Di sisi lain Medina sadar, senyum perempuan dalam cermin itu tidak akan bertahan. Realita yang dia tahu, si pemilik senyum manis itu tetap terikat oleh berbagai aturan. Aturan-aturan yang membuat hidupnya terasa menjemukan, tapi tetap harus dilaksanakan suka atau pun tidak. Tidak ada tawar menawar. Keinginan mengutarakan isi hati selalu diredam. Dia tidak pernah punya pilihan. 

 

“Seenggaknya aku bisa jadi diri sendiri sekarang,” ucap Medina menghibur diri. Ditatapnya sekali lagi pantulan dirinya di cermin meja rias. Rambut hitam sepunggungnya telah berganti dengan tatanan yang lebih bergaya. 

 

Medina menarikan jarinya dengan perlahan menyisir rambut yang kini panjangnya hanya menyentuh bahu. Warnanya juga sudah berubah. Ungu kehitaman. Atau hitam kebiruan. Dia tidak tahu mana sebutan yang pas. Meski hasil mewarnai sendiri dengan pewarna rambut instan yang dibelinya di minimarket, tapi ini saja sudah membuatnya merasa cukup puas. 

 

“Kalau ada kesempatan atau waktu yang lebih longgar, aku mau cat rambut di salon supaya warnanya lebih bagus dan awet.” Medina masih bermonolog. Sebenarnya, inilah yang menyebabkan di rumah pun Medina selalu mengenakan hijabnya. Hijabnya tanggal saat Medina sendiri di dalam kamar. Itu pun dalam keadaan pintu terkunci.

 

“Sayang banget berat badanku cuma turun sekilo.” Bibir Medina sedikit melengkung ke bawah. “Apa perlu aku makan sehari sekali aja?” Ide konyol yang langsung ditepis dengan gelengan cepat. Sadar penyakit tukak lambungnya berisiko tinggi kambuh jika pola makannya berantakan lebih dari sekarang, Medina takut mati muda. 

 

Cukup lama Medina menari-nari dengan tubuh nyaris tanpa busana. Sudah seperti orang gila saja. Medina yang lupa diri, kembali tertarik pada dunia setelah ponselnya berteriak meminta perhatian.

 

Melihat nama Zean terpampang di layar ponsel, Medina mengerjap tak percaya. Panggilan berhenti, lantas berganti menjadi sebuah notifikasi. Zean datang lagi!

 

(Kak Zee_AN:)

Kamu apa kabar, Darl?

Nggak kangen aku, kah?

Aku sakit dan lagi butuh bantuan.

Please, help me ….

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Our Perfect Times
2611      1396     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
NADA DAN NYAWA
16055      3097     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Transmigrasi ke raga bumil
387      253     2     
Fantasy
Azela Jovanka adalah seorang gadis SMA yang tiba-tiba mengalami kejadian di luar nalar yaitu mengalami perpindahan jiwa dan menempati tubuh seorang Wanita hamil.
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
3108      1757     1     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Pulang Selalu Punya Cerita
2843      1633     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
The Best Gift
59      56     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Winter Elegy
1131      749     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Anikala
3411      1258     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Ginger And Cinnamon
8060      1868     4     
Inspirational
Kisah Fiksi seorang wanita yang bernama Al-maratus sholihah. Menceritakan tentang kehidupan wanita yang kocak namun dibalik itu ia menyimpan kesedihan karena kisah keluarganya yang begitu berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya itu membuat semua harapannya tak sesuai kenyataan.
sulit melupakanmu
143      109     0     
True Story
ini cerita tentang saya yang menyesal karena telah menyia nyiakan orang yang sangat cinta dan sayang kepada saya,dia adalah mantan saya