Sepanjang malam hingga menjelang subuh Medina sibuk dengan pikirannya, sampai-sampai sekujur tubuhnya pegal dan kepalanya pusing akibat kurang istirahat. Di satu sisi dia sudah berjanji akan menghabiskan sepanjang siang ini bersama teman-temannya dengan berbelanja, menonton bioskop dan makan-makan. Di lain sisi, dia tidak rela menolak ajakan Zean untuk bertemu.
“Kenapa harus barengan siang ini, sih?” keluhnya sambil berguling-guling mendekap bantal.
“Dek,” panggil Santi dari balik pintu yang setengah terbuka. “Mbak boleh masuk, nggak?” Perempuan awal dua puluhan tahun itu meminta izin.
“Masuk, Mbak!” Medina berseru seraya bangkit dan langsung duduk di tengah ranjang yang seprainya kusut masai. Dia baru sadar boneka beruang kesayangannya—hadiah ulang tahun dari Papa tiga tahun lalu—teronggok di lantai dekat kaki ranjang.
“Lagi ngapain kamu, Dek?” tanya Santi. Senyum manis tersungging di wajah ayu perempuan itu saat memasuki kamar Medina. Hijab panjangnya berkibar-kibar tertiup angin dari jendela yang terbuka lebar. Perempuan itu duduk di kursi meja rias, menghadap Medina. Ditatapnya si empunya kamar yang makin terasa asing padahal adik kandungnya sendiri. “Kenapa nggak turun sarapan? Kamu sakit?”
Medina berdecih. Pasti Latifa yang menyuruh Santi memantau keadaan dan apa yang tengah diperbuatnya saat ini. Memangnya kalau bukan Mama, siapa lagi?
“Aku nggak apa-apa dan nggak lagi ngapa-ngapain, Mbak. Cuma malas makan aja. Sekali-kali nggak makan nggak bakal mati juga, kan?” sahut Medina ketus.
“Kamu sakit?”
Medina menggeleng. Santi ini benar-benar duplikat Latifa.
“Mau Mbak bawakan sarapannya ke sini?”
Debas keras terlepas dari celah bibir Medina. Bukannya menjawab, gadis itu malah balik bertanya, “Mama ada di bawah, Mbak?”
Santi menyahut, “Mama sudah berangkat setengah jam lalu. Karena kamu nggak turun tadi, Mama minta Mbak nungguin kamu buat memastikan kamu nggak melewatkan sarapan.”
“Perkara sarapan aja kenapa digede-gedein, sih? Kayak apaan aja, deh! Kalau lapar aku pasti makan, kok, Mbak.”
Santi menghela napas panjang. Karena tidak tahan lagi, perempuan yang sedang kuliah semester tiga di perguruan tinggi swasta itu pun akhirnya bertanya, “Kamu sama Mama kenapa?”
Medina mengernyit. “Aku sama Mama nggak kenapa-kenapa, kok!”
“Semalam pas Mbak datang, Mbak lihat Mama nangis di ruang makan.”
Dengan ketus Medina menyahut. “Mama aja, tuh, yang baperan.”
“Sampai tadi pagi pun Mama terlihat lesu dan murung. Mbak pikir mungkin—”
Darah Medina mendidih. Santi secara tidak langsung menuduhnya telah menyebabkan perubahan sikap Latifa. “Mbak nggak usah melampaui batas, deh! Dari dulu kita nggak pernah dekat. Jadi, nggak usah saling mengusik. Kita urusi urusan kita masing-masing," sahut Medina ketus.
"Ya, nggak gitu, Dek. Mbak sekadar nanya. Lagian kalau memang kamu salah, sudah kewajiban Mbak mengingatkan. Di rumah ini kita cuma bertiga, jangan sampai—"
"Kuliah aja yang benar supaya bisa lulus cumlaude seperti keinginan Mama. Mbak nggak mau, kan, didepak terus dicoret dari KK kayak Papa?” potong Medina dengan nada tinggi.
Tersinggung? Iya. Sakit hati? Sudah pasti. Memang sudah jadi tabiat Medina keras kepala dan sukar dinasihati. Lagipula, perpisahan kedua orang tua mereka bukan semata luka Medina. Santi pun sama terlukanya. Namun, alasan di balik perpisahan Latifa dan Luthfi dapat dengan mudah dia cerna. Tidak mudah menjadi Latifa. Sementara itu, sebesar apa pun kekecewaannya pada Luthfi, lelaki itu tetaplah papa yang baik baginya.
Setelah menghela napas panjang, Santi mengangguk dua kali. Bibirnya membentuk senyum getir. Perempuan dalam balutan gamis biru langit itu memungut boneka di dekat kakinya. Boneka itu ditimangnya seperti ibu yang tengah berkasih sayang dengan buah hatinya.
“Sedikit pun Mbak nggak ada niatan buat ikut campur,” katanya dengan suara lirih. Boneka di pangkuannya dipandangi beberapa saat. Setelahnya, boneka itu Santi letakkan di ujung ranjang. “Mbak cuma mau mengingatkan. Nggak baik membantah, mendebat, apalagi membangkang secara terang-terangan yang akhirnya menyebabkan perasaan orang tua terluka. Sekalipun orang tua memang bersalah, tetap berlemah lembutlah sama mereka. Khususnya sama ibu yang sudah melahirkan kita.”
Medina membuka mulutnya hendak mendebat Santi, tetapi telah lebih dulu dicekal perempuan itu. “Kita memang nggak selalu sepaham sama Mama. Tapi percayalah, nggak enak kalau nggak ada Mama dalam hidup kita. Di dunia ini, cuma Mama satu-satunya orang paling tulus yang siap pasang badan kala kita menghadapi masalah. Dia jugalah yang rela mengorbankan segalanya buat kita, sekalipun itu harus bertaruh nyawa. Jadi, sepadankah jika pengorbanannya dibalas dengan air mata? Mbak yang saudara sedarah aja sayang dan mengkhawatirkan kamu, gimana dengan Mama yang sudah mengandung, melahirkan dan menyusui kamu, Dek?”
Keinginan untuk menyangkal ucapan Santi tenggelam. Medina melarikan pandang dari wajah Santi ke rak buku menggantung di pojok ruangan. Gadis itu terus bungkam. Hati kecil dan otaknya sibuk berperang.
Santi berdiri. Sebelum benar-benar berlalu, perempuan itu kembali berujar, “Ingat baik-baik dan renungkan nasihat Mbak ini, ya, Dek.”
-***-
Suasana hati Medina benar-benar berantakan. Sejak meninggalkan rumah menumpang ojek daring, hingga bergabung bersama teman-temannya di pusat perbelanjaan, Medina tidak banyak terdengar bunyinya. Omongan Santi yang terus terngiang seperti dengung kumbang di telinganya. Ditambah desakan Zean menjadi-jadilah kegelisahannya.
Sekembalinya dari toilet, Medina berniat bergabung dengan rombongan. Ini toko ke tiga yang mereka jajaki, tetapi acara berbelanja kali ini belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Medina semakin tidak tenang karena lima menit lalu Zean mengabari kalau dia sudah berada di area parkir khusus roda dua di sisi kanan bangunan lima lantai ini. Bisa saja mereka bertemu secara tidak sengaja, dan Medina tidak siap Zean melihat penampilannya yang jauh dari kata menarik.
Medina yang terus menerawang seperti orang linglung ternyata tidak luput dari perhatian Qiqi. Qiqi menyikut lengan Medina lalu bertanya, “Diam aja dari tadi, Mbul. Kamu lagi sakit gigi?”
Medina tersenyum kecut lalu menggeleng.
“Si Mbul lagi seriawan, kali!” cetus Cessa. Keranjang belanja di tangannya sudah terisi beberapa lembar atasan baik panjang maupun pendek dengan gambar-gambar lucu dan beraneka warna. Juga ada beberapa lembar celana jeans, outer sampai bandana bulu dengan hiasan kepala panda. Di antara mereka berlima memang Cessa-lah yang paling modis. Didukung status ekonomi yang mumpuni, kesenangannya berbelanja dengan mudah terpenuhi. Sudah jadi rahasia umum kalau si ratu belanja satu ini duitnya tidak berseri. Tidak sedikit yang memandang dengan rasa takjub bercampur iri. Namanya juga manusia, sebaik apa pun pasti ada yang menaruh dengki.
“Kamu beneran lagi seriawan, Mbul?” Arwa tampak khawatir, bersiap mengeluarkan tablet isap vitamin C dari dalam tas yang kebetulan dibelinya semalam. Kali ini pun Medina memberi tanggapan dengan sebuah gelengan.
“Girls, ke sana, yuk! Kayaknya lagi obral besar-besaran, tuh! Kalau ada yang nyantol, lumayan, kan?” Fitri yang baru saja datang sengaja mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya sewaktu di toilet tadi dia tidak sengaja mendengar obrolan Medina di telepon. Dari gelagatnya yang mencurigakan, Fitri yakin yang sedang bicara dengan Medina adalah lelaki bermasker yang tempo hari diceritakan padanya.
Cessa dan Qiqi yang paling semangat berbelanja dengan mudah terprovokasi. Sementara Arwa, si paling kalem, dari tadi terus membuntuti.
“Medina,” panggil Fitri lembut, tapi terdengar tegas. Gadis bertubuh paling mungil di antara keempat temannya itu menatap Medina tepat di kedua matanya. “Kalau kamu nggak nyaman jalan bareng kami, nggak ada yang menghalangi kalau kamu mau pergi.”
Kerutan terukir di sepanjang kening Medina. “Maksud kamu apa, Mpit?” tanyanya meminta penjelasan. Cara Fitri memanggil namanya agak mengganggu, menimbulkan ketidaknyamanan.
Ditanya begitu, Fitri malah mengedikkan bahu tak acuh. “Kamu pasti paham maksud omonganku barusan.” Gadis itu hendak melenggang pergi, tetapi langkahnya dihalangi oleh Medina.
“Nggak usah main teka-teki, Mpit. To the point aja. Apa, sih, maksud omonganmu tadi?” Nada bicara Medina meninggi.
“Kamu memaksakan diri jalan bareng kami supaya dibilang apa? Nggak capek apa pura-pura happy, sementara kepenginnya kamu ada di tempat lain dan sama orang selain kami?” Fitri maju selangkah. Meski tubuhnya kalah tinggi dan harus mendongak untuk menyetarakan pandang, tetapi dia tidak gentar beradu tatap dengan Medina. “Gitu kan, yang kamu bilang di telepon tadi?”
Medina tersentak. Seperti ada yang membungkam mulutnya, Medina cuma bisa menatap Fitri dan terdiam seribu bahasa.
“Pergi sana! Nggak ada yang melarang kamu menemui cowok nggak jelas itu,” usir Fitri sinis.
Medina mengerjap-ngerjap, tidak percaya Fitri bisa bicara demikian lantang. Medina baru sadar kalau saat dia kembali dari toilet tadi Fitri tidak bersama yang lain. Medina tidak tahu Fitri sengaja menyusulnya ke toilet atau tidak. Dia juga tidak tahu apakah Fitri sengaja menguping atau tidak sengaja mendengar omongannya. Yang jelas Fitri tahu semua yang dia sembunyikan.
“Berhenti jadi orang munafik, Medina. Punya banyak topeng itu nggak baik.” Dengan tegas dan penuh penekanan, Fitri menasihati. “Nggak usah khawatir, aku nggak akan bilang sama yang lain apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, silakan angkat kaki.” Setelahnya, dia pergi menyusul Cessa dan kawan-kawan. Terserah dengan Medina. Dia tidak mau repot-repot menjaga hati orang bermuka dua. Dia juga tidak peduli jika nasihatnya tadi dianggap Medina sebagai intervensi.
Merasa waktunya kian menipis, Medina memelesat kembali ke toilet. Keinginan berpamitan dan memberi teman-temannya penjelasan ditekan kuat-kuat. Langkah Medina terhenti tepat di depan cermin besar yang menampilkan bayangannya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Medina tahu itu dirinya. Namun, sosok berbaju serba panjang itu terasa asing baginya. Pergolakan batin Medina kian besar. Sebesar ketakutannya akan reaksi orang sekitar, sebesar itu pula keinginannya terlepas dari berbagai tekanan.
Medina hanya satu dari sekian banyak remaja putri biasa yang ingin bebas mengekspresikan diri. Keinginannya juga tidak banyak dan terbilang sederhana. Dia hanya mau memperbaiki gaya berpakaian yang tampaknya kampungan dan ketinggalan zaman, juga bersosialisasi dengan sebanyak-banyaknya orang tanpa adanya batasan. Dia yakin bisa menjaga diri. Dia ingin terlepas dari bayang-bayang Mama. Salahkah?