Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Oh My Gosh, hari ini benar-benar buruk bagi Medina! 

 

Sudah bangun kesiangan, tidak sempat sarapan, PR Bahasa Inggris yang harusnya dikumpulkan malah tertinggal di meja belajar sehingga Medinq harus menerima hukuman menyanyikan lagu “cecak-cecak di dinding” dalam Bahasa Inggris di depan kelas. Sudah beberapa jam berlalu, tapi malunya masih membekas. 

 

Entah kapan kikik geli, sorak sorai norak dan menjengkelkan, juga senyum mengejek teman-temannya akan hilang dari ingatan. Tidak hanya itu, karena terburu-buru berangkat Medina sampai kelupaan mengambil uang saku yang sudah Latifa siapkan di meja makan. Yang paling membuat Medina merana adalah ponsel yang sudah menjadi setengah napas baginya juga ikut tertinggal. Kurang apes apa lagi coba? 

 

Ini semua gara-gara Mama! Sudah tahu aku, tuh, kebo banget, tapi Mama nggak mau ngebangunin berulang kali kayak yang dulu biasa Papa lakukin. Kebangetan, kan? Seenggaknya kalau memang ngerasa aku ngerepotin, Mama bisa suruh Mbak Santi.

 

Medina jadi bertanya-tanya, apa ada ibu lain yang sama buruknya atau bahkan lebih buruk dari Latifa di dunia ini?

 

“Manyun aja, Mbul,” tegur Cessa. Gadis berbadan tinggi langsing meski makannya banyak itu meletakkan bungkusan berisi sebotol air mineral dan dua bungkus roti selai moka ke pangkuan Medina. “Titipan Arwa, nih!”

 

Senyum Medina merekah. Dengan cepat dia menyambar sebungkus roti dan langsung melahapnya tanpa sedikit pun basa-basi. Bahkan mengucap terima kasih pada Cessa pun dia tidak ingat. Medina memang sedang lapar-laparnya. Mengingat kali terakhir dia makan adalah siang kemarin, wajar saja jika saat ini lambungnya terasa diiris-iris. Duh, pedihnya! 

 

“Sebelum makan, bismillah dulu, Mbul!” 

 

Medina menggumam tak jelas sambil terus mengunyah.

 

“Makannya pelan-pelan aja. Kalau makannya kayak gitu nanti tersedak. Bahaya, loh!” Lagi-lagi Cessa mengingatkan. Gadis itu sudah menempati kursinya, tepat di depan Medina. Cessa sengaja duduk menyamping agar mereka bisa mengobrol dengan leluasa.

 

Thanks, Ces,” ucap Medina. Bungkus ke dua rotinya sudah habis setengah. Kali ini Medina makan lebih perlahan. 

 

Say thanks-nya sama Arwa. Soalnya aku cuma perantara. Dia yang belanja, aku kang kurirnya.” 

 

Medina tersenyum. Dia sangat senang dan bersyukur punya teman-teman yang baik dan perhatian. Hatinya menghangat, seperti gumpalan salju yang meleleh akibat tertimpa sinar matahari. Tidak hanya karena bantuan ini datang di saat yang tepat, tapi juga karena roti ini berisi selai kesukaannya. “Memangnya Arwa ke mana? Kok, kamu balik sendiri? Fitri sama Qiqi juga nggak ada.”

 

“Fitri sama Qiqi memang nggak ikutan ngantin tadi. Soalnya mereka ada rapat PMR dadakan. Kalau Arwa lagi menghadap kepala sekolah.”

 

Medina tercenung. “Arwa bikin masalah apa?”

 

Dengan cepat Cessa menggeleng. “Nggak ada masalah. Arwa, sih, kalem orangnya. Dia sama sekali nggak berbakat jadi trouble maker,” sahutnya. “Arwa belum cerita detailnya ke aku gimana. Tapi, dengar-dengar dari Bu Sri, katanya Arwa bakal mengikuti lomba debat Bahasa Arab Tingkat Internasional yang bakal diadakan bulan Maret mendatang di Qatar.”

 

Mata Medina membelalak. Mulutnya menganga tak percaya. “Seriusan?”

 

Cessa mengangguk mantap, tersenyum bangga mengiringi keberhasilan sahabat karib sejak SD-nya itu mengukir prestasi. “Yup! Kata Bu Sri, sebenarnya kompetisi ini kebanyakan diikuti para santri. Tapi, nggak menutup kemungkinan diikuti juga sama siswa SMA biasa kayak kita. Aku rasa, Arwa nggak akan canggung bersaing. Sebelum ini juga dia sudah beberapa kali mengikuti lomba debat Bahasa Arab dan berhasil jadi pemenang, meskipun masih di tingkat daerah dan nasional.” 

 

Medina dibuat makin terpukau. Selama nyaris satu semester duduk berbagi meja dengan Arwa, baru kali ini dia mendengar tentang prestasi gemilang yang gadis itu torehkan. Dia pikir, Arwa seperti kebanyakan teman-temannya yang hanya duduk diam di kelas, menyimak penjelasan yang diberikan bapak dan ibu guru, belajar ala kadarnya di rumah khususnya saat ada tugas, selebihnya bersenang-senang menikmati masa muda.

 

By the way, abang sama kakak-kakaknya Arwa juga nggak kalah hebat.”

 

Medina semakin tertarik mendengar cerita Cessa. “Kakak pertama Arwa, Bang Ilmi, dia jago sembilan bahasa asing. Khusus bahasa Arab, Jepang sama Inggrisnya cas cis cus kayak kereta ekspres. Dia kerja di Kedubes Indonesia dan sekarang ditempatkan di Kairo. Kakak keduanya, Kak Agna, komikus yang lagi naik daun. Series Hijab Cantika buatannya yang viral beberapa waktu terakhir bahkan sudah dialihwahanakan. Tau, kan?”

 

Medina manggut-manggut. “Arwa tiga bersaudara?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Sebenarnya, walaupun semeja, Medina tidak begitu sering mengobrol dengan Arwa. Bukan karena Arwa sombong, tapi di antara mereka berlima Arwa-lah yang paling jarang terdengar bunyinya.

 

“Empat bersaudara. Sama kayak kamu, Arwa itu anak bontot. Nah, kakak ketiganya, Kak Aisyah, lagi kuliah di Kanada. Beasiswa full dari pemerintah, loh! Kak Aisyah ini ahli di bidang sains.”

 

Medina berdecak kagum. “Keren banget, ya, mereka?”

 

“Mereka orang-orang berbakat dengan sederet prestasi, tapi hebatnya mereka tetap rendah hati.” Cessa melengkapi.

 

“Makan apa emaknya pas ngidam dulu, ya? Bisa encer gitu otaknya.” 

 

Cessa geleng-geleng mendengar omongan Medina. “Yang benar itu, amalan apa yang sudah emaknya buat? Menurutku, sih, ini yang dinamakan the power of doa emak. Hebat banget, ya, Mbul? Segitu manjurnya doa emak.”

 

Medina tidak menanggapi lagi ketika kata “emak” alias ibu keluar dari mulut Cessa. Pikirannya sibuk dan berkecamuk. Apakah ibunya Arwa seperti Latifa? Ah, kedengarannya tidak demikian. Bukankah di balik anak yang hebat, ada ibu yang juga luar biasa hebat? Ibunya Arwa pasti tidak secerewet Latifa. Latifa yang udik cuma bisa mendikte. Latifa yang tega dan otoriter cuma bisa menekan tanpa memberi dukungan. Begitu Medina membanding-bandingkan.

 

-***-

 

Meja makan malam ini hanya diisi Medina dan Latifa. Santi belum pulang, masih di kios menggantikan Latifa menunggu dan merekap buah kiriman dari supplier. Medina ingat dengan pasti, dulu tidak pernah sesenyap ini. Meja makan selalu menjadi tempat favorit tidak hanya karena dipenuhi sajian enak buatan Latifa, tapi juga karena diisi celoteh hangat penuh keceriaan. Namun, dua tahun terakhir, tepatnya saat Lutfhi dan Latifa mengumumkan keputusan mereka berpisah, meja makan ini terasa begitu hampa. Sampai saat ini pun Medina selalu menerka-nerka, apakah gerangan yang menjadi penyebab perceraian orangtuanya.

 

Melihat Medina makan dengan terburu-buru, Latifa memberi teguran. Medina bersikap tak acuh dan memilih berpura-pura tidak mendengar. Yang dia pikirkan saat ini hanya cepat-cepat menyelesaikan makan lalu kembali ke kamar. Zean pasti sudah menunggu balasan chat darinya. Pun dengan grup chat “Give Me Five” yang beranggotakan dirinya, Cessa, Qiqi, Arwa dan Fitri. Saat Medina meninggalkan ruang obrolan tadi, grup tengah heboh membahas rencana jalan-jalan mereka besok.

 

Andai Latifa tidak memberlakukan aturan menyebalkan soal penggunaan ponsel di meja makan, tentu tidak akan begini jadinya. Medina bisa makan dengan santai dan nyaman sambil berbalas pesan dengan Zean atau pun teman-temannya yang lain.

 

Saking tergesanya menelan tanpa benar-benar mengunyah makanannya, Medina pun tersedak. Dengan sigap Latifa menyodorkan air putih. Medina minum hingga isi gelas hilang separuh. Tanpa mengucap terima kasih, Medina kembali melanjutkan makannya.

 

Sekali lagi Latifa menegur. Medina menatap Latifa sekilas dengan pandangan tak suka. “Iya, Ma, aku tau. Aku sudah enam belas tahun, tapi Mama memperlakukan aku kayak bayi enam bulan.” Gadis itu menggerutu.

 

Mendengar ucapan anak semata wayangnya, Latifa hanya tersenyum. Di matanya, Medina tetaplah anak kecil yang butuh perhatian dan butuh selalu diingatkan. “Kamu suka makan malamnya?” Perempuan berhijab hijau pupus itu bertanya lewat gerak tangan. Mulutnya melemparkan kata-kata yang tidak jelas artikulasinya. Dari sang putri, matanya turun menyapu rendang sapi dan sambal goreng hati yang sudah susah payah dia buat sejak sore. Cuma dua iris daging dan sesendok hati yang berpindah ke piring Medina, itu pun belum tersentuh salah satunya. 

 

Latifa perhatikan akhir-akhir ini Medina makan sangat sedikit. Dia jadi berpikir kalau putrinya sedang stres karena tugas sekolah yang menggunung. Saat stres, nafsu makan seseorang bisa jadi menurun secara drastis, kan? Oleh sebab itulah dia berinisiatif memasakkan makanan favorit sang buah hati. Sayang sekali niat baik dan jerih payahnya tidak mendapat apresiasi yang pantas. 

 

Medina memutar bola mata. “Iya,” sahutnya singkat menghindari obrolan lebih lanjut. Dia tidak mau membuang lebih banyak waktu di sini.

 

“Kalau suka, kenapa makannya cuma sedikit?” Lagi, Latifa menggumamkan kata-kata tidak jelas diikuti gerak tangan cepat.

 

“Lagi malas makan aja.” Medina menutup sesi makan kilatnya dengan menandaskan air putih dalam gelas yang tadi mamanya berikan saat dia tersedak. Saat hendak berdiri, sebelah tangannya ditahan oleh Latifa. “Apa lagi, sih, Ma? Aku buru-buru, nih!” bentaknya.

 

“Kenapa tergesa-gesa?”

 

Medina mendengus. “Kan, Medina sudah selesai makan, Ma! Medina punya kerjaan lain yang lebih penting!” sahutnya ketus.

 

“Kamu sibuk, Nak? Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu begini karena tugas dari sekolah? Apa di sekolah ada yang berbuat kasar atau menyakiti kamu?” Tanpa sadar Latifa mencecar Medina dengan banyak pertanyaan. Kekhawatirannya memuncak. Maraknya kasus perundungan di lingkungan sekolah membuatnya sangat resah. Terlebih lagi dia pernah menjadi korban di masa lalu.

 

Telinga Medina berdengung. Dia paling tidak suka kalau Latifa banyak tanya begini. Menurutnya, mamanya terlalu ikut campur kehidupannya. Lagipula Latifa bisa apa? Latifa tidak seperti Luthfi yang serbabisa. Bicara yang benar saja Latifa tidak mampu, bagaimana mau mengulurkan tangan untuk membantu?

 

“Kalau ada masalah, coba cerita sama Mama,” tawar Latifa. Gerakan tangannya semakin heboh. Merayu anak gadisnya agar mau terbuka. Senyumnya mengembang turut meyakinkan.

 

Medina muak menghadapi kekeraskepalaan Latifa. Dengan kasar gadis berbandana kuning sewarna bajunya itu menepis tangan sang ibu. “Mama nggak akan ngerti. Sudah, ah! Aku capek. Aku mau istirahat sekarang.”

 

Medina memelesat meninggalkan ruang makan, tidak peduli Latifa menatap punggungnya dengan pandangan kabur tertutup air mata. Hati ibu mana yang tidak sakit dikasari begitu oleh buah hatinya? Apa semua remaja berlaku demikian pada orang tua mereka, atau hanya Medina saja?

 

“Kenapa Papa nggak sekalian bawa aku waktu pergi dari sini? Mama, tuh, nyebelin banget!” keluh Medina setelah menutup dengan kasar pintu kamarnya. Rumah sudah tidak lagi menjadi tempat berpulang yang dirindukan baginya. Dia pikir, bahkan berada di penjara mungkin jauh lebih baik. “Ini bukan rumah, tapi neraka!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
63      55     1     
True Story
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2341      1078     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Sendiri diantara kita
927      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
BestfriEND
35      31     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
FLOW : The life story
91      81     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Kertas Remuk
110      91     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Kenangan Masa Muda
6872      1905     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...