Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumbuh Layu
MENU
About Us  

Jakarta penuh dengan orang-orang yang sibuk mencari dunianya. Mereka tertawa bahagia mungkin sesuai dengan ekspektasinya, atau mungkin mereka hanya pandai menyembunyikan pasrah. Entahlah.

Kiran berjalan pelan di antara taman bunga. Beberapa sudah layu, daunnya berserakan di celah jalan. Tapi anehnya, ia justru merasa sedikit lega di antara bunga yang gugur.

“Halo, Kak. Boleh minta waktunya sebentar?”

Suara itu datang dari seorang pria berkemeja flanel hijau, dengan kamera tua tergantung di leher. “Aku lagi bikin proyek pameran foto. Eh, aku lihat Kakak suka melukis ya? Keren banget. Boleh izin motret Kakak?”

Kiran hanya menjawab dengan senyum kecil dan satu kata, “Iya.”

Ia memang sudah duduk sejak beberapa menit lalu, menggenggam buku sketsa dan kuas kecil di sisi paletnya.

Matanya mencuri pandang. Lelaki itu… aneh. Dari tali sepatunya yang longgar sampai rambutnya yang sedikit berantakan. “Pria aneh,” pikir Kiran, tapi tak diucap.

Belum sempat kenalan, lelaki itu sudah sigap membidik kamera. Klik. Klik.

Kiran mulai menggores kuas, merah, hijau di atas lapisan warna lain yang telah mengering.

“Cantik,” ujar lelaki itu sambil mendekat.

“Siapa? Aku?” tanya Kiran, nyaris defensif.

“Ih, lucu Kakaknya pede banget. Maksudku... bunganya.”

Pipi Kiran memerah. Mungkin nyaris sama warnanya dengan bunga yang ia lukis. Tapi… dia tahu, Ray tahu.

“Bercanda, Kak. Kakaknya juga cantik kok. Nih, liat deh.”

Kamera tua itu mungkin memang tua, tapi hasil jepretannya tak kalah dari yang termutakhir. Wajah Kiran di layar cerah, lembut, dan entah kenapa… dia merasa cantik.

“Ka, kita belum kenalan loh,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Oh iya. Hai, aku Kiran.”

“Cantik namanya… seperti bunga yang kamu lukis.”

Kiran memerah lagi. Kedua kali. Ray tahu cara membuat hatinya berbunga, padahal baru bertemu.

“Kakaknya sendiri belum kasih tahu namanya. Cantik juga gak, ya?”

“Aku Ray. Tampan seperti namanya.”

Kiran terkekeh. “Ini betul-betul pria aneh,” batinnya lagi.

Ray duduk di samping, lupa mematikan kameranya. Masih menyala.

“Kiran,” katanya sambil menatap, “Sejak kapan suka melukis?”

“Sejak SD… mungkin. Aku lupa dimulainya kapan.” Ia menggaruk kepala. “Mungkin panggil aja ‘Kiran’. Jangan ‘Kak’. Is annoying.”

Ray tertawa lepas. “Oke deh, Kiran. Panggil aku Ray juga. Gak pakai saos, gak pakai sambel.”

“Kamu kira bakso urat?”

Sore itu ditutup dengan sisa tawa.
Dan dalam hati Kiran menulis diam-diam:

“Ray, laki-laki aneh…”

 

***

Pagi itu, matahari belum tinggi. Kiran membuka mata perlahan, masih dengan senyum kecil tersisa dari sore kemarin. Mimpi semalam belum selesai, tapi nyata pagi ini terasa lebih pelik.

Ia menoleh ke sisi meja di dekat jendela. Paletnya masih di sana. Kuas juga. Tapi… kanvas putih besar itu lukisan yang belum selesai hilang.

“Bu?” Kiran memanggil pelan dari dalam kamar. Tak ada jawaban.

Langkahnya menggiring diri keluar. Di ruang tamu, ia hanya melihat koran pagi dan setumpuk berkas kerja ayahnya. Tak ada tanda-tanda kanvasnya.

Ia menuruni tangga ke belakang rumah. Tempat ayah biasa membakar sampah, menaruh barang bekas. Dan di sanalah ia berhenti napasnya tersangkut di dada.

Kanvas putihnya. Teronggok di samping tumpukan kardus bekas. Dicoret. Dirobek sedikit di sudutnya. Cat merahnya mengering tak utuh. Lukisan itu... dibuang.

Tangannya bergetar. Ia memungutnya pelan, seperti memeluk serpihan dirinya sendiri yang tercerai.

“Ayah yang buang itu.”

Suara berat itu datang dari balik pintu dapur. Kiran menoleh. Ayahnya berdiri tegak, dingin. Tangan bersilang di dada.

“Itu cuma corat-coret nggak jelas, Kir. Kamu buang-buang waktu. Kamu tahu kamu harus ngurus perusahaan, bukan main cat.”

“Ayah gak ngerti…”

“Justru Ayah ngerti. Kamu itu punya tanggung jawab. Cita-cita itu bagus, tapi realita lebih penting.”

Mata Kiran panas. Bukan karena marah. Tapi karena kecewa. Karena patah di tempat yang paling ia lindungi, mimpinya sendiri.

“Lukisan itu… aku belum selesai,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri.

“Tapi hidup gak nunggu kamu selesai berkhayal, Kir.”

Kiran tak menjawab. Ia hanya membawa kembali kanvas robek itu ke kamarnya, seperti tentara pulang dari perang, tanpa kemenangan hanya luka.

Malamnya, ia menatap dinding kamar. Kanvas itu sudah ia lekatkan kembali, walau retak di sudut. Ia duduk diam, menggenggam kuas, tapi tak sanggup menggerakkan tangan.

Ponselnya bergetar.

Ray:
"Kiran, aku habis cetak hasil foto kamu kemarin. Aku titip di taman tempat kita ketemu ya. Di bangku yang sama. Aku rasa kamu butuh sesuatu yang nggak bisa dibuang.”

Air mata Kiran jatuh. Tapi bukan karena sedih.
Karena di tengah layu hidupnya, masih ada satu yang membuatnya tumbuh. Sedikit saja.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • life

    Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? 👌

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Meteor Lyrid
556      388     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
Belahan Jiwa
512      344     4     
Short Story
Sebelum kamu bertanya tentang cinta padaku, tanyakan pada hatimu \"Sejauh mana aku memahami cinta?\"
Chrisola
1093      641     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
Under The Same Moon
392      260     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Bisakah Kita Bersatu?
622      358     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
Resonantia
402      340     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Nope!!!
1508      693     3     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
Crystal Dimension
328      228     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
254      168     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Perahu Waktu
435      297     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu