"Tanpa sengaja kau sudah memasuki kehidupanku. Begitu dalam hingga aku terhanyut. Sudah kucoba untuk kembali namun arus terlalu kuat membawaku."
Parasmu sungguh ayu. Sayang aku tidak pernah tahu siapa namamu. Hanya alamat, serta kondisi depan rumahmu yang kutahu. Setiap kali melewati rumahmu hanya ada tumpukan koran dan asbak putih yang penuh dengan puntung rontok. Kata orang isi rumah itu penuh dengan wanita. Tak terkecuali dirimu.
Setiap sore dan pagi kulewati jalan depan rumahmu. Bukan karena tak ada jalan lain, tapi aku hanya ingin melihat senyummu. Senyum itu begitu memikat.
Suatu sore dirimu sedang berada di beranda depan menunggu kedatangan pak pos. Entah surat dari siapa. Yang pasti bukan dariku. Kau sungguh senang saat menerimanya. Tanpa menunggu lama kau membuka dan membacanya selepas pak pos pergi. Dengan rona merah diwajah kau tutup dan lipat surat itu kembali. Tebakan ku pasti dari kekasih hati. Mungkin, bisa iya bisa juga tidak.
Surat itu masuk kembali pada amplop putih tadi. Kau pun berdiri dan masuk kembali kedalam rumah. Aku hanya bisa memandangi dari pos ronda di depan rumahmu. Banyak anak yang berkumpul disana. Tepat di sebelah pos itu terdapat warung kucing. Warung kucing itu menjual berbagai macam makanan. Sayang porsi nasinya seperti pakan untuk kucing, benar-benar sedikit. Pos ronda dan warung kucing menjadi markas kami. Banyak lelaki yang menata strategi untuk berkunjung ke rumahmu. Mereka bahkan menuliskan dulu pada secarik kertas kata-kata serta bahasan apa yang akan diobrolkan nanti. Tidak hanya dirimu wahai gadisku. Kakak-kakakmu juga menjadi pilihan lelaki yang berkumpul disini.
Kalian terkenal dengan senyum dan tingkah laku yang sopan. Tidak heran banyak yang ingin mendekati. Banyak dari mereka yang berpikiran nakal tapi setelah tahu bahwa ayahnya petinggi di angkatan darat nyalinya kembali ciut. Ada yang cuman bermain ada juga yang serius untuk mendekati.
"Sayang aku hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Belum berani mendekat."
Waktu terus berjalan wahai gadisku dan aku belum berani menanyakan namamu secara langsung.
Ternyata negara membutuhkan bantuan dari pemuda untuk bergabung membela bangsa dan tanah air. Dengan semangat juang kudaftarkan diri mengikuti panggilan. Entah medan mana yang akan kulalui aku hanya siap dan merasa bahwa ini langkah yang benar. Sebelumnya aku hanyalah siswa sekolah tehnik.
Perjalanan pembelaan tanah air tidak lagi melewati jalan depan rumahmu wahai gadisku. Ruteku sudah berubah. Dari bukit hingga lembah harus kulewati. Jalan gerilya kami tempuh bersama sekompi pasukan. Senjata laras panjang dan ransel menjadi kekasih yang memeluk dengan erat. Mereka tidak bisa lepas dari kami. Cucuran keringat dan darah menjadi satu dalam perjalanan ini.
Satu daerah demi daerah aku singgahi wahai gadisku. Perjalanan ini benar-benar menguras energi. Kami tidak bisa lagi bersantai di pos ronda atau warung kucing dengan berbagai makanannya. Kadang pagi kami terasa begitu kelam dan malam kami tak terlihat. Dari satu persembunyian ke persembunyian lain kami berjuang. Persedian makanan yang terus menipis tak membuat kami ragu untuk terus maju. Tuhan masih mau memberi makan makhluk-makhluknya ini. Dia tahu bahwa kami berjuang untuk membebaskan sengsara yang mengikat kami. Dan tentunya aku berjuang untuk kembali melihat senyummu.
Pengejaran kami belum selesai. Suatu malam kami tiba di sebuah desa yang porak poranda. sepi seperti tak berpenghuni. Tiba-tiba terjadi baku tembak yang tak terhindarkan. Penyinaran kami hanya sinar rembulan yang lama kelaman mulai redup. Karena indra penglihatan semakin minim maka pendengaran kami harus lebih peka. Tiba-tiba terjadi baku tembak. Suara timah panas yang melesat dari berbagai arah menjadi musik kami yang begitu harmoni. Ini adalah irama medan perjuangan. Entah musik apa yang sedang menghiburmu wahai gadisku.
Jalan kami belum selesai dan masih harus terus berlanjut. Musuh belum menyerah dan begitu juga diriku. Satu persatu anggota tim kami memang gugur. Hal itu menjadi ketakutan luar biasa bagi diriku. Akankah senyummu masih dapat kulihat wahai gadisku.?
Ini sudah hari ke 330 sejak kulangkahkan kaki untuk berjuang bagi bangsaku. Sudah sejak hari itu pula tak bisa kulihat senyummu. Senyum indah itu hanya terekam dalam memori dan sanubariku. Dari satu senja berganti ke senja yang lain. Aku hanya bisa menyimpan senyummu dalam kantong hatiku agar tak jatuh.
Sore ini kami tiba di pos pengamanan. Musuh dalam jalur perjuanganku sudah terbasmi bagai hama di sawah. Kami benar-benar-senang dan tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pulang. Aku sudah terlalu rindu dengan senyummu wahai gadisku.
Tas kami taruh ditanah tetapi senjata masih terkalung ditubuh. Senjata benar-benar tak bisa lepas. Langkah kami tertuju pada pusat kesehatan untuk mengobati luka di tubuh. Setelah itu kami mengantri untuk mendapat makanan. Sudah berhari-hari kami menahan lapar dan hanya mengisi perut dengan air.
Sesi makan telah usai. Kami medapat giliran jaga bergantian. Karena belum giliranku maka aku berkumpul diruang makan bersama kwan yang tersisa. Banyak dari mereka yang sudah berkeluarga, ada yang sedang merajut kasih dan ditinggal, ada juga yang belum pasti seperti diriku ini. Kami bercerita satu sama lain tanpa canggung.
Terdapat pengumuman yang mengatakan bahwa kami sudah bisa pulang dan bertemu kembali dengan keluarga. Perjalanan kembali dimulai besok pagi. Tepat saat matahari terbit pemberangkatan dimulai.
Kokok ayam sudah terdengar. Kami sudah siap untuk naik di truk pengangkut. dalam jarak lima ratus meter kami mendengar suara ledakan yang tak terelakkan. Segera serdadu barisan depan pasang badan dan menyiapkan serangan balik. Kami yang sudah hendak berangkat otomatis kembali untuk membantu yang lain.
Saut menyaut suara ledakan tidak ada hentinya. Pagi belum benar-benar menyingsing tapi kami sudah harus bergelut dengan panasnya biji timah panas dan bahan peledak. Serangan ini sungguh tak terbaca. Musuh-benar-benar membuat kami kewalahan. Kalau bukan karena bantuan serangan udara mungkin pos pengamanan sudah habis terbakar ledakan yang bertubi-tubi.
Bantuan udara benar-benar menyelamatkan kami walau korban yang jatuh juga tak terhindarkan. Beberapa temanku terlihat sudah terkapar tanpa nyawa. Yang lain masih bernafas tetapi terdapat luka tembak dibeberapa bagian. Sedang diriku masih utuh dan bernafas dengan baik. Sungguh perlindungan yang maha kuasa. Aku benar-benar takut apabila tak bisa pulang. Pasalnya hingga detik ini aku belum tau namamu wahai gadisku.
Bala penyelamat sudah turun dan mengevakuasi kami satu persatu. Aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepulangan kami benar-benar tertunda dan masih harus menunggu instruksi pusat. Kondisi belum memungkinkan bagi kami.
Wahai gadis pemilik senyum yang memikat. Aku masih terus berjuang untuk bisa kembali. Saat aku kembali nanti aku akan langsung menemuimu dan bertanya siapa namamu. Secuil senyummu masih teringat dengan jelas di memoriku. Lesung pipi itu indah nian dan tak ada tanding.