"Aku tidak melihat Bona sejak awal, di mana dia?" Arin bertanya pada Jibar.
"Setelah pembagian rapor, dia mengurung diri di rumah. Biarlah kasus ini selesai dan dia pergi dari kota ini. Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Dulu, kupikir dia anak yang baik. Saat pertama kali datang ke sini, dia ramah dan menyenangkan. Namun satu semester berlalu, dia tiba-tiba berubah, memaksaku melakukan ini dan itu, berkhianat dari kawan-kawanku." Jibar mendengus, menjawab dengan wajah tidak enak, mengunyah sate kambingnya.
Hari ini adalah tanggal 15. Kasus kepala sekolah dan putrinya sudah selesai diusut, lebih cepat dari dugaan karena sekolah sudah memasuki libur semester. Anggota peneliti berkumpul di warung sate padang untuk merayakan keberhasilan penelitian, ditraktir Jibar (dia masih merasa bersalah).
"Berdasarkan informasi Jinu dan Aleen, katanya dia ditekan ayahnya, ya? Itu bisa saja terjadi." Arin berkomentar.
Naila mengangguk, "Kudengar ayahnya menekan dia untuk menjadi siswa terbaik saat semester dua, tapi dia gagal mengalahkanmu hingga nekat melakukan segala cara."
"Kepala sekolah kita orang yang mengerikan, ya..." Davine menyahut, sibuk menghabiskan acar tambahan di piringnya.
Anggota lain juga mendengarkan obrolan sambil makan, menikmati sate traktiran Jibar.
"Jadi kapan kau akan menulis jurnal, Kak?" Han bertanya, menatap Arin.
"Kemungkinan awal semester nanti. Tapi tetap tidak ada jaminan aku bisa masuk sekolah kedokteran tanpa biaya besar."
"Lantas bagaimana kau bisa mengatasi itu?" Ryan menaikkan alis.
"Aku... sudah menetapkan cara baru, yah, mimpi baru. Maksudku, alternatif saja kalau kalau ada hambatan." Ujar Arin menggaruk pipinya canggung, malu-malu bercerita.
Naila membulatkan mata, menyedot es jeruk miliknya. "Apa itu?"
"Ilmu hukum."
"Wow, betul, kan, apa kataku. Kak Arin bakal jadi detektif!" Han berseru heboh, tertawa lebar. Dia mengangkat gelas tehnya tinggi-tinggi. "Mari kita bersulang untuk menyambut identitas baru Kak Arin!"
Seluruh anggota ikut mengangkat gelas tinggi-tinggi, bersulang, membuat ramai meja di pojok warung sate itu.
Melihat teman-temannya bersulang, Arin tersenyum tipis. Hangat sekali rasanya. Kasus ini memang membuat kepalanya pusing, terutama saat harus berhadapan dengan orang-orang seperti Kepala Sekolah dan putrinya. Namun, setidaknya kini semuanya sudah berakhir.
Dulu, impian Arin hanyalah sekolah kedokteran, tak ada yang lain. Kini, setelah semua kekacauan ini, dia punya identitas baru; jalur lain yang tak kalah menarik. "Ilmu hukum," gumamnya dalam hati. Siapa sangka, jalan hidupnya akan berbelok sejauh ini? Tapi Arin percaya, setiap pengalaman, setiap rintangan, pasti ada hikmahnya. Dia akan tetap memperjuangkan mimpinya, apa pun itu bentuknya nanti. Entah kedokteran atau hukum, Arin akan berjuang sekuat tenaga. Yang penting, dia terus melangkah maju.