Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Arin dan Naila berada di kelas yang sama sejak awal masuk SMA, mereka sebangku karena posisi duduk diatur oleh wali kelas. Naila adalah orang pertama yang tahu bahwa Arin ingin jadi dokter.

Saat itu...

"Apa alasanmu masuk IPA?" Arin bertanya penasaran. Bel istirahat telah berbunyi, Naila pergi ke taman untuk menyantap bekal, Arin membuntutinya karena berusaha dekat dengan kawan sebangkunya yang tidak begitu banyak bicara. Naila tidak terlihat pendiam, tapi dia sepertinya butuh didekati terus agar mereka bisa dekat. Juga, menurut Arin, Naila tampak cerdas.

Arin punya moto, berteman dengan orang cerdas akan membuatmu tambah cerdas.

Itulah yang membuat Arin begitu bersemangat untuk mendekati Naila.

Mendengar pertanyaan itu, Naila yang mengunyah pangsit ayam yang dibawakan ibunya dari rumah berhenti, berpikir sebentar.

"Aku ingin menjadi dokter bedah."

Arin membelalak.

"Dokter bedah?! Wah, bedah apa?! Aku juga mau jadi dokter!"

"Bedah Ortopedi. Kau juga ingin jadi dokter? Dokter apa?"

Arin nyengir malu, "Bedah Ortopedi… keren sekali… Kalau aku, aku sebetulnya tertarik dengan Onkologi, tapi lebih berminat masuk kedokteran forensik."

Naila memandang Arin takjub. "Itu bidang yang tidak biasa. Keren." Pujinya tulus. Tidak banyak orang yang tertarik dengan onkologi karena terkenal sulit. Begitupula kedokteran forensik yang diketahui Naila tidak banyak peminatnya di negara mereka.

"Makasih, dokter bedah ortopedi juga sangat keren, kok."

Naila tersenyum kecil, mengangguk setuju.

"Kenapa kau tertarik dengan kedokteran forensik?" Naila bertanya penasaran.

"Alasannya agak memalukan sih, tapi karena sejak kecil aku suka buku dan film detektif. Jadi begitu deh... belakangan ini juga aku sering lihat berita ada banyak kasus kriminal yang belum terselesaikan karena minimnya dokter forensik di negara kita. Aku ingin membantu korban dan keluarganya untuk mendapat keadilan dan pelaku kejahatannya ditangkap."

"Itu alasan yang sangat bagus. Kenapa memalukan? Kau memimpikan pekerjaan yang kau sukai dan ingin membantu banyak orang. Kau punya keinginan yang hebat."

Arin menggaruk tengkuknya malu, baru ini dia dipuji dengan seseorang sampai sebegininya.

"Ah, apa rencanamu masuk ke perguruan tinggi? Aku ada rencana bergabung ke eskul biologi dan mencoba sesuatu di sini." Arin bertanya setelah teringat sesuatu.

"Aku takkan bergabung ke klub atau semacamnya, aku akan fokus belajar ilmu yang ingin kudalami saja. Selain itu, kudengar eskul biologi di sini tidak begitu didukung. Kau yakin mau mencobanya?"

Arin mengangguk semangat. "Kalau belum dicoba kan belum tahu. Kalau memang tidak begitu didukung, aku akan membuat eskul ini menjadi sangat didukung oleh sekolah!"

 

Naila dan Arin mengenang kembali bagaimana mereka bisa berkenalan dulu. Mereka membicarakan banyak hal selagi bus kota terus melaju, termasuk Arin yang membujuk Naila untuk bergabung kembali ke klub dan menuntaskan kasus pencurian ini. Arin membujuknya dengan berbagai kalimat harapan yang sama seperti saat mereka berkenalan dulu.

"Optimistismu masih sama. Aku ingat sekali saat kau bersemangat bicara ingin mengambil kedokteran forensik denganku. Lalu saat itu, kau juga bilang ingin memajukan klub biologi, kemudian memaksaku bergabung meski kubilang aku tak mau." Naila melipat sapu tangan Arin yang dia gunakan untuk mengeringkan pipinya yang basah, kemudian mengembalikannya pemiliknya sambil bergumam terima kasih. "Kau masih sama rupanya. Aku kira sejak kejadian itu, kau berubah karena kecewa."

Arin menggeleng. "Aku masih sedih. Tapi aku berusaha untuk berdiri lagi meski untuk tujuan yang lain. Salah satu yang membuatku kembali berdiri adalah rasa bersalahku padamu."

Naila mencubit lengan Arin.

"Kalau memang merasa bersalah seharusnya dari awal tidak usah mengundurkan diri!"

Arin tertawa lebar, mengangkat bahu.

"Semua orang bisa impulsif kalau sedang emosi. Setelah semua ini, aku tidak boleh menyerah begitu mudah. Aku akan melawan hal terakhir yang menghalangi mimpi kita." Ujarnya tegas, penuh keyakinan.

Setelahnya, Arin berdiri dari kursi, bus sudah sampai di taman kota. Tapi, pembicaraan mereka sama sekali belum selesai, masih ada banyak yang harus mereka diskusikan dan perbaiki. Arin mengulurkan tangan pada Naila yang duduk di sebelahnya.

"Nah, Naila, sekarang maukah kau kembali memperjuangkan keadilan denganku? Kali ini, kita benar-benar akan melawan sesuatu yang besar untuk sesuatu yang besar juga. Dan aku yakin bisa melakukannya tanpa harus mengorbankan mimpimu dan memperjuangkan lagi mimpiku. Bagaimana?"

Naila menyedot ingus, kemudian mengangguk kecil sebelum menerima uluran tangan Arin. Senyum mengembang di bibirnya.

“Dari dulu, membahas mimpi kita bersama memang yang paling seru, ya.” Arin turun dari bus dengan Naila, memandang langit yang cerah. Keduanya sering mampir ke taman bersama kalau luang, biasanya sepulang sekolah atau sepulang eskul, menikmati sore sembari menyantap jajanan di sekitar taman kota. Mereka juga selalu pulang bersama menggunakan bus karena arah rumah mereka sama. Arin mengenang masa-masa indah itu tepat di sebelah orang yang berkontribusi membuatnya berwarna sebelum semuanya berantankan seperti sekarang.

Naila mengangguk. “Ada banyak sekali yang berubah sejak kita memutuskan mengerjakan penelitian itu. Setahun… itu waktu yang lama sekali. Juga waktu yang sangat disayangkan kalau kita biarkan Bona mengambilnya begitu saja.”

“Pastinya, untuk meraih sebuah bintang, rintangannya bukan sekadar batu kecil saja, kan? Untuk meraih sebuah bintang, rintangan sebesar inilah yang perlu kita lalui.”

“Kau benar.” Naila berjalan di sebelah Arin dengan wajah sembap, namun perasaannya sudah lebih baik sekarang.

“Nah, sekarang kita masih punya sedikit waktu sebelum kembali ke sekolah. Aku akan membelikanmu cemilan agar kau merasa nyaman. Aku sangat membutuhkan kesaksianmu dan kita bisa sedikit mengobrol selaku penyidik dan saksi sampai pukul lima, bagaimana?”

"Kau jadi seperti detektif betulan, Arin." Naila tertawa.

Arin balas tertawa, mengangkat bahu. "Aku sedang simulasi bekerja di forensik sekarang, mana tahu mereka butuh dokter yang juga bisa menyelidiki kasus."

 

***

 

Hari ini, hari kedua Ryan dan Jibar membuntuti Davine. Tidak jauh berbeda, kegiatan Davine selama class meeting hari ini pun sama seperti kemarin. Dari tindakannya, tidak ada yang mencurigakan. Davine juga tidak menyadari dia diikuti oleh Ryan dan Jibar.

Sepulang sekolah, inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh Ryan dan Jibar, yakni membuntuti Davine sampai rumah, kemudian bertemu dengan orang yang menjaga warung malam itu, putra sulung si pemilik warung, untuk mencari tahu apakah malam itu dia melihat Davine keluar rumah. Mereka berusaha mengorek informasi melalui cara sulit seperti ini agar tidak ketahuan oleh tersangka, itulah alasan Ryan dan Jibar sampai menunggu hari ini untuk bertemu si penjaga warung.

Tapi saat mereka sampai, yang ditemui oleh Jibar dan Ryan justru warung tersebut masih tutup.

"Aduh, katanya kalau mau bertemu, kita harus datang hari ini. Pemilik warung ini sedang mengerjai kita atau bagaimana sih..." Keluh Jibar, melepaskan jaket jinnya dan duduk di kursi kayu panjang disediakan di depan warung. Pintu depan warung tersebut dikunci rapat, padahal kemarin terbuka lebar. Tidak mungkin hari ini mereka menjadwalkan tutup atau belum buka, kan?

"Mungkin pemiliknya sedang pergi ke luar. Kita juga tidak bisa memaksa kalau takut ketahuan, kan? Alasanku kemarin itu mencurigakan sekali kalau dilakukan pada orang yang jeli. Kita tunggu saja." Ryan menepuk bahu Jibar, ikut duduk di sebelahnya. Siang ini sangat terik, membuat peluh mulai membasahi dahi keduanya.

Satu jam berlalu, masih belum datang juga.

Dua jam berlalu, masih belum juga. Tidak ada yang membuka warung, Davine juga tidak pergi kemanapun, sama seperti kemarin. Keduanya menghabiskan waktu menikmati panasnya siang ini.

Jibar mulai menggerutu lagi. "Yang kita lakukan ini mulai tidak berguna, kan? Bisa saja Davine memang bukan pelakunya. Sudah dua hari kita panas-panasan untuk menyelidiki orang yang tidak bertindak mencurigakan. Kita tidak mendapat apapun seperti Kak Arin dan Han. Kita berhenti saja sekarang."

Ryan menghela napas, menggeleng pelan. "Sabarlah sedikit, Jibar. Kak Arin berpesan, kalau memang hari ini kita tidak bisa mendapatkan apa-apa, kita bisa berhenti. Tunggu sebentar lagi."

Jibar terlihat keberatan.

"Tapi..."

"Kalian mau membeli sesuatu?"

Seorang pria, tampaknya mahasiswa, masih mengenakan kemeja coklat rapi dan menenteng tas jinjing berdiri di depan Jibar dan Ryan, memotong mereka yang tengah berdebat.

Sepertinya, inilah putra pemilik warung yang berjaga malam itu.

Ryan merespon dengan cepat, dia berdiri sambil berpura mengusap peluh di dahi. Matahari benar-benar terik, dia banyak berkeringat.

"Betul, Bang. Abang pemilik warungnya, ya? Kami mencari minuman dingin dan hendak menumpang duduk."

"Oh, iya, silahkan saja. Saya bukakan dahulu warungnya."

Setelah Jibar dan Ryan memilih minuman dingin untuk dibeli, mereka mulai menjalankan aksi. Mereka tidak beranjak dari meja kasir, menghadap si mahasiswa yang duduk di belakang meja tersebut setelah melayani pembayaran minuman keduanya.

"Izin, Bang, apa ibu pemilik warung ada bercerita bahwa ada siswa yang mencari Abang?"

"Oh, iya. Apakah itu kalian?"

Jibar mengangguk cepat. "Betul, Bang. Itu kami."

Si mahasiswa menaikkan alis. "Kudengar kalian datang kemarin karena membutuhkan data untuk survei. Survei untuk tugas sosiologi tentang... 'apa yang dilakukan masyarakat yang menjalankan usaha pada cuaca yang kurang mendukung', ya? Ibu bilang kalian mencari orang yang menjaga toko tiga hari lalu saat malam hujan deras. Kenapa kalian survei di sini? Ada banyak tempat yang lebih baik dan usaha yang lebih besar. Kenapa sampai menungguku segala?"

Ryan mengerjap, kemudian menunjuk rumah Davine.

"Sebetulnya kami kawannya Davine, Bang. Kawan sekelas. Kami kerja kelompok dan survei di sini karena dia yang meminta. Sekarang ini kami mewawancarai Abang karena dia sedang bersiap sebelum kami pergi survei ke lokasi lain."

"Davine? Bocah itu? Kenapa dia tidak tanya padaku langsung malam itu? Atau semalam. Padahal dia selalu mampir untuk jajan saat malam."

Ryan dan Jibar saling lirik.

"Mungkin dia lupa, Bang. Dia itu sangat pelupa. Lagipula, kalau Abang bertanya tentang malam itu, kami baru diberi tugas kemarin, kok, Bang. Maka dari itu kami ingin mulai dari sini."

Si mahasiswa memandang mereka dengan tatapan aneh.

"Memang anak SMA zaman sekarang diberi tugas serumit ini ya... topiknya pun aneh." Si mahasiswa bergumam, merasa janggal.

Setelah beberapa detik mempertimbangkan, akhirnya si mahasiswa mengangkat bahu, malas berpikir lebih jauh, mulai menjelaskan.

"Saat hujan, tidak banyak yang datang ke warung. Bukan hanya malam tiga hari lalu, tapi setiap hujan. Jadi, selaku orang yang menjaga warung, aku biasanya menata barang atau bermain game. Itu saja. Ada lagi yang mau kalian tanyakan?"

Ryan menggigit bibir, memaksa otaknya berpikir.

"Berapa frekuensi penjualan saat hujan, Bang?" Ah, dia berusaha memperkuat kepercayaan si mahasiswa pada mereka.

"Sedikit sekali, tidak kuperhitungkan."

"Kalau malam itu?"

Si mahasiswa sepertinya tambah curiga.

"Pertanyaanmu spesifik sekali. Tapi, apakah Davine tidak memberitahu kalian bahwa dia mampir dan makan es krim di sini? Kami mengobrol lama tentang game lokal yang baru rilis sampai hampir tengah malam. Harusnya, dia tahu sekali bahwa tidak ada pembeli sama sekali kecuali dia malam itu."

"Oh iya!" Jibar menyikut lengan Ryan, seolah baru teringat sesuatu. "Dia kan menceritakan itu pada kita kemarin, kau ini bagaimana, sih?"

Ryan segera mengikuti alur yang dibuat Jibar. "Ah iya juga. Maaf, karena panas aku jadi tidak fokus. Aku hanya terus memikirkan bagaimana kita bisa mendapatkan data tentang rata-rata kegiatan masyarakat yang menjalankan usaha pada cuaca seperti itu. Rupanya, Abang melakukan kegiatan yang banyak dilakukan orang lain juga ya…"

Si mahasiswa mengangguk saja, sepertinya dia tidak lagi begitu curiga, menghiraukan keduanya dan mulai menata permen di meja kasir.

"Ada lagi?"

"Tidak ada, Bang. Sepertinya kami bisa melampirkan itu." Jibar menjawab.

Si mahasiswa menggeleng tidak paham. "Padahal si Davine tahu itu, kenapa dia membuat kawannya kerepotan seperti ini, sih. Kalian pun mau saja."

Sebetulnya, Ryan sadar rencana ini buruk sekali. Tapi, mereka benar-benar tidak punya dalih lain. Dilihat dari jawaban si mahasiswa tentang Davine dan caranya bicara, sepertinya mereka dekat. Sehingga, Jibar dan Ryan tidak ingin membuat si mahasiswa tambah curiga, mereka harus pamit sekarang. Tidak apa jika si mahasiswa memberitahu Davine soal kedatangan mereka, soal dalih bodoh ini, sebab informasi yang ingin mereka tahu sudah didapat.

Intinya Davine tidak pergi ke sekolah malam itu. Dia ada di sini, mengobrol dengan si mahasiswa. Artinya, dia bukan pencurinya.

 

"Baik, Bang. Terima kasih banyak, kami pamit."

Setelah itu Jibar dan Ryan langsung menuju halte bus. Ryan berjalan sambil mengecek hasil rekaman yang dia nyalakan saat si mahasiswa datang, itu menjadi kebiasaannya selama penyelidikan, merekam apapun pembicaraan dengan saksi.

"Tadi itu obrolan rencana dan dalih yang bodoh." Jibar berkomentar.

"Kali ini aku setuju." Ryan mengangguk.

Jibar mendesah, duduk di halte. Bus selanjutnya akan tiba dalam sepuluh menit.

"Hampir saja kita tak bisa lanjut berbohong. Tapi akhirnya selesai juga hari ini. Kita jadi tahu Davine bukan pelakunya." Ujar Jibar mengusap peluh lagi. Dia lega sekaligus lelah. Jam menunjukan pukul tiga sore.

"Karena berakting tadi, aku jadi lapar. Ayo kita makan dulu sebelum kembali ke sekolah. Kita selesai lebih cepat. Belum pukul empat, nih. Mari kita makan untuk merayakan kesia-siaan dua hari ini." Jibar memberi usul, Ryan tidak tampak keberatan, dia juga tampak frustasi karena masih memikirkan dalih bodoh tadi.

"Ayo deh."

Jadi, saat bus datang, keduanya mangkir untuk makan mie ayam lebih dulu sebelum kembali ke sekolah. Lupa mengecek ponsel dan mengabari kesimpulan penyelidikan sampai pukul empat.

 

***

 

Tim Detektif (4)

Han Adzirin (14.30): Bagaimana kondisi di sana, Kak? @ArinTarim

Han Adzirin (14.36): Lalu bagaimana kesimpulan dari hari kedua membuntuti tersangka, tim 2? @Ryan @Jibar

Han Adzirin (15.24): Hei, kenapa tidak ada yang membalas pesanku? Aku bosan seharian hanya membungkus teh, tolong jemput aku di laboratorium.

Han Adzirin (16.40): Ini sudah hampir pukul lima, kalian masih belum selesai juga?

Meski masih sibuk membungkus teh, Han langsung menyambar ponselnya begitu terdengar notif pesan grup. Jibar baru saja merespon pesan yang dia kirimkan sejak siang.

Jibar Rizky (16.45): Kami sudah dapat kesimpulan. Davine bukan pelakunya.

Han berseru, kemungkinan besar dugaannya tepat. Naila lah pelakunya!

Han Adzirin (16.45): Kalau begitu, aku menduga dengan benar. Pasti pelakunya Kak Naila, kan? Memangnya siapa lagi yang mungkin melakukan itu? Dia juga terbukti keluar rumah pada malam pencurian.

Jibar Rizky (16.46): Itu memang memperkuat dugaan, tapi aku pikir itu juga masih belum cukup. Kak Arin belum kembali juga, Han? Kami dalam perjalanan kembali ke sekolah.

Han Adzirin (16.46): Yah… betul juga. Kak Arin belum kembali, aku sangat menunggu kabar darinya.

Ryan Ali (16.47): Kau tidak penasaran kenapa kami bisa tahu Davine bukan pelakunya?

Han Adzirin (16.47): Aku punya dugaan lebih kuat soal Kak Naila, jadi, aku tidak begitu memikirkannya.

Ryan Ali (16.47): Menyebalkan sekali.

Dari laboratorium, Han tertawa menatap ponselnya, reaksi Ryan sungguh lucu. Bulan dan Kanali masih sibuk mengerjakan tugas masing-masing, teliti, fokus, tidak ada bosan-bosannya.

Han Adzirin (16.48): Aku bercanda. Tolong ceritakan apa yang kalian lakukan sehingga bisa menyimpulkan begitu. Aku percaya padamu, Ryan.

Jibar Rizky (16.48): Kau percaya juga denganku, kan?

Han Adzirin (16.49): Yah, sedikit 🤓

Di tengah obrolan yang membuat Han, Jibar, dan Ryan tertawa dari lokasi masing-masing itu, masuk pesan dari Arin yang membuat ketiganya seketika terdiam.

Arin Tarim (16.49): Pelakunya juga bukan Naila. Kita berkumpul di laboratorium sekarang, aku dalam perjalanan ke sana.

Han Adzirin (16.49): HAH

Jibar Rizky (16.49): Duh…

Ryan Ali (16.49): Itu memang memungkinkan sih…

Arin Tarim (16.50): Nanti kujelaskan, aku sudah dekat.

Han menggigit bibirnya, ia ingin bertanya lagi, tidak sabar. Tapi, Arin sudah berkata dia dalam perjalanan ke sekolah, jadi, dia harus bersabar sedikit lagi. Han mulai mengetik respon yang lebih banyak, tangannya mengetik cepat sekali di ponsel. Bulan dan Kanali yang awalnya tidak begitu peduli dengan Han saling lirik mendengar pria itu tercekat, sudah sepenuhnya mengabaikan bungkusan-bungkusan teh di atas meja.

Han Adzirin (16.51): Jadi kalau bukan Kak Naila dan Davine, mungkinkah pelakunya salah satu orang di daftar tersangka dengan ukuran sepatu 35 sampai 37?

Arin Tarim (16.52): Sampai hari ini, Aleen dan Jinu belum mengabari, mereka belum selesai memata-matai. Kita harus menunggu sampai besok.

Jibar Rizky (16.52): Memangnya kita masih punya waktu? Ini sudah tanggal delapan…

 

Dari bus yang melaju menuju sekolah, Jibar dan Ryan saling tatap, mereka mengerang frustasi di kursi masing-masing. Mengundang tanya penumpang lain yang duduk tak jauh dari mereka.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Never Ends
11754      2471     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
The Boy Between the Pages
1125      777     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2332      1072     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Smitten Ghost
181      148     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Venus & Mars
5942      1549     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
The Trap!
1231      502     0     
Fan Fiction
Berawal dari jebakan seorang Park Chanyeol untuk menjadikannya sebagai kekasih palsunya, Byun Baekhyun malah membuat Chanyeol menjadi tidak akan pernah bisa melepaskannya.
Perahu Jumpa
247      206     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
My First love Is Dad Dead
52      49     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Monokrom
90      77     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...