Ryan Ali (17.19): Kami gagal bertemu dengan orang yang menjaga warung malam itu.
Itu balasan Ryan atas permintaan Arin yang disampaikan Han di grup, sore pada tanggal tujuh Desember.
Ryan sudah berbicara dengan berbagai alasan dan teknik yang dia punya pada si pemilik warung, tapi itu percuma. Karena ibu pemilik warung bilang bahwa malam itu yang menjaga warung adalah putranya. Sementara saat Ryan dan Jibar datang, putranya sedang kuliah. Barangkali, jika Ryan dan Jibar mau bertemu dengan putra si pemilik warung, mereka bisa datang lagi besok.
Sepakat, akan ada hari kedua untuk membuntuti tersangka utama dalam penyelidikan ini.
***
Pagi sekali, tanggal delapan Desember. Bulan menghubungi Arin bahwa tim peneliti butuh bantuan. Hari ini dijadwalkan Kanali bertugas memasukkan ekstrak daun matoa ke kapsul-kapsul kosong, sementara Bulan harus menulis laporan. Tidak ada yang mencari buku referensi tambahan dan tidak ada yang membuat variasi produk lain (Bulan berencana membuat obat herbal ekstrak daun tersebut menjadi seperti produk teh). Maka dari itu, dia butuh tenaga tambahan untuk membantu di laboratorium, siapapun tidak masalah.
Arin mengirim Han untuk membantu Bulan sehingga dia pergi membuntuti Naila sendiri.
Awalnya Han protes, memaksa ingin ikut. Han merasa mereka tinggal selangkah lagi untuk menangkap Naila, tapi Arin berkata tidak semudah itu menuduh orang melakukan tindak kejahatan. Buktinya masih belum cukup dan belum bisa dibuktikan kepergian Naila malam itu tujuannya ke sekolah. Meski Han kecewa dia dikirim untuk membantu Bulan dan berhenti membuntuti Naila, dia tetap pergi ke laboratorium.
Sama seperti kemarin, Arin mengikuti Naila belajar di perpustakaan dengan duduk di kursi yang berdekatan. Tidak banyak pula yang berubah, hari ini Naila belajar selama tiga jam, kemudian makan di kantin dan membeli kopi, lantas keluar untuk pulang saat bel berbunyi.
Tapi hari ini ada sedikit yang berbeda. Naila pulang lewat gerbang belakang. Dia berjalan ke sana setelah bel berbunyi. Arin berpikir, mungkin Naila dijemput di sana, tidak naik bus. Sebab, arah halte berlawanan dengan rute gerbang belakang. Di gerbang belakang, ada satu warung es campur tempat anak-anak sekolah biasanya menunggu jemputan. Arin menduga-duga akankah Nalia menunggu di sana sambil berjalan di koridor sekolah mengikuti perempuan itu tanpa suara.
Ketika Naila telah keluar dari pintu gerbang belakang, Arin menunggu sebentar sebelum mengikutinya, takut tingkahnya terlalu ketara sehingga Naila bisa mengetahuinya. Setelah semenit berlalu, Arin keluar dari gerbang belakang untuk mencari Naila yang dia yakini belum jauh berjalan.
"Kena kau."
Naila telah menunggu di samping gerbang belakang ketika Arin keluar dari sana. Dia menyergap Arin dan menyeretnya ke gang terdekat, memberinya tatapan marah.
"Sudah kuduga kau mengikuti aku dua hari ini." Tudingnya, Naila mencengkram bahu Arin.
Naila sudah tahu dua hari ini ada yang membuntutinya. Semalam, dia membuktikan itu lewat bertanya pada satpam komplek yang mengabarkan bahwa ada kawan yang mencarinya (si satpam melanggar janjinya). Dan Arin tidak tampak begitu terkejut karena dia ketahuan.
"Kau menduga aku pencurinya? Bahkan sampai mengikuti aku pulang?" Tanya Naila mengguncang Arin, mencari penjelasan kenapa perempuan itu membuntutinya sampai rumah.
Arin menunduk, menghindari bertatap mata dengan Naila. Dia menggeleng.
Naila mendecih. "Tidak ada gunanya berbohong sekarang. Tapi, kau perlu tahu aku bukan pelakunya. Dan aku yakin kau pun meragukan bahwa aku pelakunya, kan?"
"Aku tahu kau bukan pelakunya." Arin akhirnya mengangkat kepala, menatap Naila lekat-lekat. "Tapi kau tahu siapa pelakunya, kan?"
Naila yang awalnya hendak menuding lagi langsung bungkam, menutup mulutnya seolah Arin baru memukulnya dengan sesuatu yang dia sembunyikan.
"Ayolah, Naila. Kita sudah kenal satu sama lain selama hampir tiga tahun. Bantulah aku. Bantulah klub kita."
Naila melepas tangannya yang mencengkram bahu Arin, menghindari tatapan mata Arin yang berharap di depannya. Akhirnya dia mulai menjawab. “Aku tak bisa mengatakannya, Arin.”
"Aku minta maaf atas sikapku yang membuatmu kesal." Arin mulai menurunkan nada bicaranya, menatap Naila lembut. "Kumohon bantulah aku."
Naila melirik kanan dan kiri dengan waspada, kemudian menghela napas. "Kalau kau mau tahu jawabannya, kita tidak boleh berbicara di sini. Ayo pindah."
Arin dan Naila beranjak dari gang setelah memeriksa sekitar aman, menaiki bus, menuju taman kota.
Di bus, akhirnya Naila menyebutkan orang yang telah masuk radar Arin sejak kemarin.
Bona Marino.
Malam itu, pukul delapan, Naila meminta ayahnya untuk mengantar dia mengambil buku tesnya yang tertinggal di loker.
Pada tanggal empat, Naila yang pulang sore karena berkumpul dahulu di laboratorium melupakan bahwa dia meninggalkan setumpuk buku untuk tesnya dalam tas jinjing di loker (karena berat dibawa kemana-mana). Naila jarang meninggalkan barangnya, namun sore itu dia memang kurang fokus karena kelelahan dan langsung pulang menggunakan bus dengan tas punggung saja.
Naila meminta ayahnya untuk mengantar karena malam itu dia mau belajar dan membutuhkan bukunya.
Malam saat pencurian terjadi, Naila memang pergi ke luar, dan dia pergi ke sekolah. Tapi bukan untuk mencuri penelitian.
Ketika Naila sampai di sekolah dengan ayahnya, listrik di daerah sana sudah padam. Ayahnya berkata tidak perlu merepotkan satpam, jadi mereka pulang saja. Naila awalnya keberatan, tapi karena ayahnya juga menggunakan alasan hujan, Naila akhirnya setuju.
Mobil mereka yang sudah terparkir di depan gerbang hendak memutar. Tepat di saat itu, Naila melihat dua orang dengan pakaian hitam-hitam yang basah kuyup keluar dari gerbang. Remang-remang, disinari lampu mobil mereka, meski sulit, Naila bisa melihat wajah dua orang itu. Dua orang yang memegang kotak harta karun klub biologi, kotak hitam yang dia tahu betul isinya adalah penelitian yang membuat Naila pulang terlambat dan melupakan bukunya di loker.
Itu Bona dan seorang pria yang sepertinya kawan perempuan itu.
Naila terlalu terkejut sampai tidak bisa berkata-kata. Sebelum ayahnya melajukan mobil, Naila keluar tanpa berkata apa-apa. Membuat sang ayah berteriak, urung menjalankan mobil. Yang satu-satunya ada di pikiran Naila saat itu adalah, dia harus mencegah penelitian itu dibawa Bona.
Naila tidak bisa memikirkan bagaimana penelitian itu bisa diambil, kenapa Bona mengambilnya, kenapa dia harus mencuri di hari hujan dan listrik padam menggunakan pakaian hitam-hitam. Apapun itu, apapun alasannya, Naila harus menghentikan Bona.
"Hei! Bona! Berhenti!" Naila menerobos hujan. Berteriak kencang.
Bona dan kawannya itu terkejut melihat Naila. Keduanya berlari meninggalkan perempuan itu ke arah berlawanan dari mobil Naila berada. Naila berusaha mengejar, namun dalam semenit, keduanya sudah menghilang tanpa jejak.
Dengan basah kuyup, Naila kembali ke mobil karena ayahnya ikut mengejar, memintanya pulang sekarang. Ayahnya tidak mengerti apa yang mendasari tindakan mengejutkan putrinya itu, sepanjang jalan dia mengomeli Naila, dan Naila hanya termenung.
Penelitian klub sudah dicuri. Dicuri oleh putri tunggal kepala sekolah. Malam, hujan deras, tanggal empat Desember pukul sembilan.
Naila pulang ke rumah, tanpa sempat menahan si pelaku pencurian.
"Kejadian itu buat seolah pencurian yang memanfaatkan waktu, padahal sesungguhnya dia memanfaatkan kekuasaan ayahnya."
Bona Marino, Arin tidak terkejut mendengarnya. Orang yang sama sekali belum muncul sepanjang pencurian terjadi, sepanjang bulan Desember. Dia benar-benar sudah memikirkan tentang ini sepanjang malam. Orang yang ayahnya punya kekuasaan. Putri tunggal kepala sekolah yang mempersulit penyelidikan.
Inilah kenapa Arin tetap melakukan penyelidikan meski dia sudah menduga siapa pelakunya, karena penelitian itu tidak bisa kembali tanpa bukti, tanpa saksi.
Sekarang, Arin sudah maju selangkah. Dia menemukan saksi yang awalnya hanya ada dalam dugaan saja. Saksi yang pasti dibungkam oleh si pelaku.
Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju taman kota. Arin terlihat lebih tenang dari dugaan Naila selama mendengarkan kesaksian perempuan itu. Dia fokus mendengarkan tanpa menginterupsi.
"Aku sudah menduganya." Komentar Arin singkat.
"Kenapa bisa kau menduga dia pelakunya?" Naila menatap Arin yang tidak tampak terkejut. Naila sampai sekarang masih tidak enak hati karena dia tetap tutup mulut meski kawannya kesulitan beberapa hari ini.
"Karena aku yakin tidak akan ada orang yang berminat mencurinya kecuali dia." Arin menghela napas, mengurut pelipisnya. "Apa kau tahu, dalam evaluasi olimpiade tahunan setiap tahun, dia selalu menjadi yang kedua setelah aku? Itulah yang menciptakan situasi ini. Di luar anggota inti, tidak ada yang tahu tentang penelitian. Tapi ada satu orang yang kita butuhkan untuk melangsungkan penelitian, kita butuh anggaran dari dia, yakni kepala sekolah. Jadi masih memungkinkan putrinya tahu tentang penelitian kita. Aku tidak tahu apa yang membuat kepala sekolah begitu tega berusaha mempersulit penyelidikan karena perbuatan putrinya. Ini keterlaluan."
"Tunggu dulu Arin—kenapa bisa kau menduganya? Maksudku, aku sudah berusaha keras menyembunyikannya. Aku tentu tidak bermaksud melakukan itu. Namun, aku diancam tidak diberi surat rekomendasi masuk perguruan tinggi. Aku biarkan kalian berjuang sendiri dan berkata itu sia-sia karena takut kalian akan diancam dengan cara yang sama. Aku tidak mengerti kenapa dia mencuri penelitian itu, entah untuk keuntungan pribadi, entah untuk apa, tapi, aku juga tahu ini keterlaluan. Meski ayahnya punya kuasa, aku juga setuju ini keterlaluan." Naila bercerita dengan suara gemetar, matanya berkaca-kaca. "Apa yang sudah kita perjuangkan satu tahun ini diambil begitu saja oleh putri kepala sekolah. Penyelidikan kalian dipersulit, anggaran ditarik, menurutmu kenapa? Karena dia tidak mau kedok putrinya ketahuan. Kau... bagaimana kau bisa setenang ini..."
Arin tersenyum melihat Naila menangis, dia menepuk bahu perempuan itu.
“Aku minta maaf sudah menggunakan kau sebagai dalih, tapi, aku memang kesal karena kau keluar begitu saja.” Naila terisak.
Arin tertawa.
"Naila, sejak tahu kau keluar dari klub, aku sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kau berjanji padaku saat kita duduk sebangku dan masuk klub bersama-sama. Meski perlu kupaksa kau masuk ke penelitian, kau orang yang paling mendukungku saat mencalonkan diri. Kau mendukungku saat aku mengajukan laporan dan mengerjakannya di taman bersamamu. Mana mungkin orang seperti itu yang mencuri penelitian yang dia perjuangkan bersama kawan baiknya. Ya, kan?" Arin menatap Naila dengan senyum tulus. Arin tidak marah saat Naila mengata-ngatai dia saat Ryan mewawancarai dirinya. Karena Arin memang salah telah meninggalkan kawan dekatnya karena kekecewaan personal. Padahal, Naila telah banyak mendukungnya.
"Tapi aku masih penasaran. Jelaskan padaku kenapa kau bisa mencurigai Bona dan kenapa kau bisa tahu aku melihat sesuatu malam itu."
Arin menghela napas, kemudian mulai membuka bibirnya. "Itu sederhana. Pertama kali aku tahu penelitian menghilang dari Han yang memanjat sampai ke lantai dua rumahku. Di sana, aku meminta dia menceritakan segalanya. Aku langsung bisa menyimpulkan sesuatu begitu dia bilang kepala sekolah akan menarik anggaran dan tidak mau memanggil polisi meski konteksnya adalah pencurian. Artinya, dia tidak peduli karena pencurian itu tidak akan terjadi pada aset maupun properti milik sekolah. Satu-satunya yang akan merugi atas pencurian itu adalah kita. Kata kuncinya hanya satu, kepala sekolah. Itu menyalakan radarku untuk mengingat Bona."
"Nai, kau berkali-kali bilang padaku kalau Bona itu membenciku, kan? Namun aku selalu mengelaknya, berpura-pura tidak tahu. Kami masih rajin bekerja dan belajar bersama saat olimpiade meski peringkatnya terus berada di bawahku. Sesungguhnya, aku tahu sekali, Nai. Dia membenciku setengah mati karena tidak bisa mengalahkan aku di olimpiade. Dan dia membenci ayahnya yang tidak mau berbuat curang. Namun, kali ini ada yang berubah. Ayahnya yang biasa bersikap adil telah ikut campur untuk melindungi kesalahan anaknya. Sepertinya kepala sekolah tahu kesalahan fatal apa yang dibuat oleh putri tunggalnya itu. Dia tidak ingin putrinya dikeluarkan dari sekolahnya sendiri atas kasus pencurian. Itulah kenapa penyelidikan kami sangat-sangat dipersulit. Mungkin tidak banyak yang menyadari persaingan kami. Tapi, akulah satu-satunya yang memahami dengan jelas kebencian Bona."
Arin mengerutkan alis. "Lantas, kenapa aku bisa tahu kau melihat sesuatu malam itu? Karena Han bilang hanya kau dan Davine keluar dari klub. Aku merasa ada yang aneh. Aku tidak percaya itu pada awalnya, tapi menyadari sesuatu. Pasti ada yang terjadi padamu sehingga kau melanggar janji yang kita buat. Untuk Davine, aku merasa masih memungkinkan dia mundur karena merasa kecewa padaku. Anak itu sangat menempel padaku dan aku merasa dia memang akan mundur kalau aku mundur. Namun aku tetap harus memastikan, di antara kalian berdua, siapa yang tahu sesuatu.”
Naila menatap Arin, tangisnya luruh lagi. Arin tertawa kecil melihat Naila yang jadi begitu cengeng sekarang.
"Kau mengingatnya?" Tanya Naila dengan air mata berlinang.
Arin mengeluarkan sapu tangan dari jaket hitam yang dikenakannya untuk membuntuti Naila pagi tadi, menyodorkannya pada perempuan itu sebelum menjawab.
"Tentu saja, mana mungkin aku melupakannya. Janji untuk mendukung satu sama lain sampai kita menggapai mimpi kita. Salah satunya, menyelesaikan penelitian ini adalah bentuk kita saling mendukung satu sama lain."
Naila mengusap pipinya yang basah, mengangguk patah-patah. Dia menangis sampai tersedu-sedu.
"Aku sudah melanggarnya, Arin."
"Tidak, Nai. Kau sudah melakukan hal yang benar. Kau tidak bisa mempertaruhkan karirmu untuk menyelamatkan penelitian."
"Harusnya aku..."
"Tidak. Itu tugasku. Akulah yang harus mengusahakannya. Maka dari itu, aku setuju untuk membantu saat Han sudah susah payah memanjat ke kamarku. Aku harus mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, dan aku harus mememui saksi dan membiarkan mereka bersaksi secara alami seperti ini. Meski sudah tahu siapa pelakunya, aku melakukan penyelidikan karena aku membutuhkan bukti. Aku tidak bisa sembarang menuduh orang tanpa bukti. Dan aku tahu Bona lah satu-satunya orang yang akan melakukan itu, dan bisa mengancam orang lain. Dia punya kekuasaan. Selain itu, akulah yang dia incar untuk dihancurkan. Entahlah dia mengambilnya untuk apa meski aku sudah memutuskan keluar dari klub, tapi aku tahu, Bona dan egonya takkan berani menghancurkan atau menjual penelitian itu. Orang cerdas takkan melakukan itu untuk mengalahkan lawannya."
"Aku minta maaf." Naila berucap lirih sekali lagi.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Akulah yang seharusnya minta maaf. Aku bersikap tidak dewasa dan tidak bertanggung jawab kemarin. Tapi, aku sudah kembali sekarang. Aku akan memperjuangkan apa yang kumulai sampai akhir, seperti katamu kemarin."