Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

 

Penelitian yang mereka buat adalah penelitian sederhana sebetulnya. Penelitian yang masih mungkin dilakukan oleh anak SMA. Penelitian itu pertama kali diusulkan oleh Arin Tarim selaku ketua yang baru dilantik saat dia baru menaiki kelas sebelas. Ketika dia ditanya apa ambisi dan program apa yang akan diusungnya untuk memajukan klub belajar biologi, Arin memberi usul penelitian sederhana ini. Penelitian membuat sebuah produk baru, produk khas sekolah ini, produk pertama dari klub belajar biologi. 

Potensi penelitian ini besar bila mereka pamerkan saat parade ulang tahun sekolah. Parade ulang tahun sekolah akan dihadiri banyak orang. Siswa undangan dari sekolah lain, kepala Yayasan, bahkan rumornya kementrian pendidikan akan mampir tahun ini.

Memamerkan hasil penelitian sama dengan menunjukkan potensi dan keunggulan klub biologi. Klub biologi harus lebih maju, alat laboratorium harus lebih lengkap, peserta didik yang bergabung harus lebih banyak. Itulah keinginan Arin. Pak Kimu selaku pembimbing menyetujui saran program itu pula. Kemudian adapula saran dari Han selaku wakil klub, penelitian lebih baik dilakukan oleh anggota dari struktur inti yang punya pemahaman lebih konkrit agar tidak sulit mengerjakannya. Sementara anggota lain yang tidak memegang jabatan bisa mengikuti program lain yang juga diusung Arin, yakni pembelajaran dan pembahasan materi Biologi dasar. Arin lah yang membantu kegiatan belajar di klub jika Pak Kimu berhalangan hadir.

 

Penelitian itu mengerahkan cukup banyak waktu para anggota inti lewat diskusi panjang, belajar bersama, dan pembuatannya. Para anggota inti menetapkan banyak hal. Pertama, nama tim. Para anggota inti memanggil diri mereka tim peneliti utama. Diharapkan penelitian ini akan berlanjut pada generasi selanjutnya jika hasil dari penelitian mereka bisa berdampak pada majunya klub belajar.

Kedua, produk macam apa yang akan dibuat dan apa yang hendak diteliti. Usul pertama kali datang dari Bulan. Bulan adalah salah satu anggota yang tidak banyak bicara, namun saat memberi saran, dia sangat berguna. Bulan menyarankan mereka untuk meneliti hal yang sederhana, yakni tanaman lokal. Pembahasan tanaman lokal itu kemudian menjurus pada tanaman yang memiliki banyak khasiat. Kemudian sampai lah mereka pada daun matoa, daun yang jarang digunakan, namun memiliki banyak manfaat.

Selama dua bulan pertama, mereka menghabiskan waktu untuk mempelajari daun matoa secara mendalam, juga bahan lain yang dibutuhkan untuk membuat produk penelitian tersebut. Rencananya mereka akan membuat beberapa produk kesehatan dari penelitian daun tersebut. Mereka mencatat perkiraan anggaran dan membuat pengajuan lagi kepada kepala sekolah. Membuat rencana promosi saat parade. Kesibukan yang intens terlihat di klub belajar itu setiap hari setiap pulang sekolah. Semua anggota inti juga tetap mengikuti kegiatan diskusi materi biologi dasar dengan anggota lain.

Yang memakan waktu paling lama adalah uji coba. Uji coba hasil produk salep dan kapsul daun matoa tersebut langsung pada para peneliti. Mereka pun melaporkan hasil penelitian pada Pak Kimu secara berkala.

Setelah satu semester berlalu, penelitian itu hampir selesai. Penelitian yang sebetulnya sederhana, namun anak-anak SMA dengan pemahaman seadanya berusaha dari awal sekali, mempelajari dasar-dasar, cara meneliti, membuat laporan, berbelanja, menyusun anggaran, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Saat tinggal beberapa langkah lagi penelitian itu siap dipamerkan, saat itulah masalah Arin terjadi. Bahkan sebelum parade dapat terlaksana. Sekarang, bukan hanya masalah Arin yang mengundurkan diri, tetapi juga penelitian yang dicuri entah oleh siapa.

Penelitian tidak diumumkan secara terbuka. Hanya kepala sekolah dan guru terkait yang mengetahuinya. Maka dari itu, sebetulnya masalah pencurian ini sangat aneh. Apalagi, terjadi setelah ketuanya mengundurkan diri. Siapalah orang yang tertarik dengan penelitian yang belum resmi, belum dipastikan keamanannya oleh ahli. Siapa yang akan mencurinya? Tidak ada yang bisa menduga.

Ketika penelitian dilaporkan menghilang, kepala sekolah merasa bahwa hal ini sebetulnya merupakan hal sepele. Jadi kepala sekolah tidak ambil pusing, pameran hasil penelitian di parade cukup dibatalkan saja. Ini hanya penelitian anak-anak yang belum pasti. Tidak perlu memanggil polisi juga untuk penyelidikan karena tidak ada barang lain yang dicuri dari sekolah dan kepala sekolah tidak ingin menghambat persiapan parade.

Tetapi bagi anggota klub, penelitian ini berharga. Ini adalah titik awal memajukan klub biologi. Klub biologi yang tidak terlalu diperhatikan oleh sekolah. Klub biologi membutuhkan peralatan yang lebih lengkap agar pembelajaran bisa lebih mendalam bagi anak-anak yang ingin menekuni bidang ilmu hayat ini.

 

***

 

Setelah kejadian itu, Arin benar-benar mengunci dirinya di kamar. Dia tidak keluar jika tidak harus pergi ke toilet dan makan. Dia tidak bicara pada kedua orang tuanya. Dan tidak keluar ketika anggota klub mengunjunginya.

Malam itu, malam ke-delapan, dia merenung lagi. Arin tidak melakukan apapun selain menatap kosong langit dan membujuk hatinya untuk segera pulih. Tetapi bukannya lebih baik, Arin justru kembali teringat kejadian hari itu.

 

Hari itu adalah hari pembagian rapor. Harusnya, itu hari yang membahagiakan. Arin berusaha keras mempertahankan nilainya sejak awal masuk SMA, dia berharap, di rapornya kali ini pun memperoleh dia tercatat memperoleh peringkat satu lagi seperti semester-semester sebelumnya. Apalagi, Bu Niel, wali kelasnya berkata, dia akan meyakinkan orang tua Arin agar percaya bahwa Arin memiliki kapabilitas untuk masuk sekolah kedokteran.

Selama ini, setiap kali Arin menceritakan tentang mimpinya, orang tua Arin selalu berkata bahwa itu hal yang agak sulit untuk dilakukan di era sekarang. Saat ini, masuk fakultas kedokteran adalah hal yang boleh dilakukan oleh anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata dan keluarga yang finansialnya stabil. Di negaranya, beasiswa kedokteran sudah lama ditiadakan mengingat biayanya yang besar. Pun, tidak banyak siswa yang ingin menjadi dokter. Namun, Arin tetap ingin memperjuangkan mimpinya. Mimpi yang membuatnya termotivasi untuk terus belajar. Mimpi yang membuatnya bersemangat menjalani hidup sehari-hari.

Jadi, Arin berpikir orang tuanya hanya meragukan dia. Arin tidak pernah berpikir, ketika orang tuanya bilang sulit menjadi dokter di era sekarang, itu maksudnya mereka tidak punya cukup uang untuk memenuhi keinginan Arin mengejar mimpinya. Arin seorang anak tunggal, dia tidak pernah diminta untuk mengalah, sehingga dia tumbuh menjadi anak yang keras kepala. Namun, seharusnya itu adalah hal positif, keras kepala untuk memperjuangkan mimpinya. Selain itu, menurut Arin, finansial keluarganya juga tampak baik-baik saja. Jadi, Arin tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Arin tidak opernah menyangka hal seperti itu lah yang memadamkan mimpinya.

 

Suara genteng membuat Arin tersentak dari lamunannya, dia mengulurkan kepala keluar dari jendela kamar untuk mengecek apa yang menimbulkan bunyi di atap rumahnya itu. Ketika melihat keluar, Arin refleks berteriak. Dia mengambil buku apapun dari meja belajarnya dan mengacungkannya pada seseorang yang memanjat rumahnya sampai lantai dua dan berdiri di atas atap sekarang. Namun, beberapa detik kemudian Arin mengerjap, menyadari orang yang berada di atap adalah Han Adzirin. Wakil ketua klub biologi, juniornya.

“Hai, Kak.” Han nyengir lebar, menyapa dengan wajah berseri. Akhirnya dia melihat wajah Arin setelah satu minggu tidak bertemu.

“Han!” Arin berteriak kaget. Han segera berpegangan pada daun jendela.

“Kak, biarkan aku masuk dulu, please. Di atap agak licin, nih.”

Arin menyerngit, dia segera menggeleng lalu berusaha menutup jendela. Han pasti di sini untuk membahas sesuatu terkait klub belajar.

“Aku tidak punya apapun untuk disampaikan. Aku minta maaf karena aku pergi begitu saja, Han. Tapi aku tak punya apapun lagi untuk dikatakan dan aku sama sekali tidak mau membahasnya.” Arin menarik jendela, tetapi Han menahannya cepat.

“Tunggu dulu, Kak! Aduh, dengarkan dulu, kumohon!”

“Tidak, Han! Turunlah, di atas situ berbahaya.” Arin menarik jendela lebih keras.

“Ada beasiswa untukmu, Kak! Tolong dengarkan dulu! Biarkan aku masuk.” Suara Han terdengar memelas. Karena jujur, atap rumah Arin sangat licin, masih tersisa sisa-sisa hujan malam tadi. Han khawatir kalau pegangannya pada ujung jendela lepas sedikit saja, kakinya bisa hilang keseimbangan dan jatuh.

“Kau tidak perlu naik ke atas sini untuk membujukku dengan omong kosong, Han!”

Akhirnya setelah berdebat sedikit, Arin mempersilahkan Han masuk dari jendela karena tidak tega melihat juniornya itu meringis menahan daun jendela, takut terpeleset dan jatuh dari lantai dua rumah seniornya.

Arin duduk di kasur sementara Han duduk di kursi belajarnya yang menghadap jendela, tempat di mana Arin menghabiskan waktunya untuk melamun tadi. Sementara Han mengatur napas karena kelelahan memanjat, Arin kembali melamun.

“Kak, pertama-tama, aku minta maaf karena menemuimu dengan cara begini, karena memang tidak ada cara lain. Kedua, aku tidak berbicara omong kosong tentang beasiswa tadi, nanti akan kuberitahu lebih lanjut. Tapi sebelum itu, hal ketiga inilah yang paling penting.” Han memulai pembicaraan, dia memandang Arin dengan serius.

Arin akhirnya balas menatap Han, masih dengan mata tak bersemangat. Dia antara tertarik dan tidak pada percakapan mereka ini, karena Arin tidak berharap lebih apa yang disampaikan Han akan merubah hidupnya. “Apa?”

Han menarik napas dalam-dalam. “Penelitian kita dicuri pagi ini, Kak.”

Arin terbelalak, tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Dicuri??”

Han mengangguk cepat, “Iya, dicuri. Kak, ini masalah besar. Kita harus mendapatkan penelitian itu kembali, atau, sebagai cadangan, kita bisa mencoba untuk membuat ulang.”

Han menjelaskan apa yang terjadi di sekolah seminggu belakangan ini secara rinci pada Arin yang telah menghilang selama itu. Dia menceritakan bagaimana seluruh anggota klub terkejut dan kebingungan atas pengunduran diri Arin sebagai ketua klub serta berhentinya dari penelitian. Bagaimana mereka bangun harus melakukan apa untuk membantu. Bagaimana pencurian itu bisa ketahuan pagi tadi dan tak satupun bukti bisa mereka peroleh. Juga keputusan kepala sekolah terkait penelitian yang mereka kerjakan.

Arin mendengarkan dengan saksama, dan reaksi terkejutnya pun sesuai dengan dugaan Han. Arin pasti tetap merasa sangat disayangkan kalau usaha mereka satu tahun ini lenyap begitu saja. Arin memberikan ekspresi bahwa dia juga prihatin atas musibah ini. Han yakin, Arin pasti ingin memperjuangkan…

“Yah, sangat disayangkan, ya. Ini pun membingungkan karena bisa-bisanya penelitian itu dicuri. Tapi kalau sudah hilang begitu, kita harus apa..?” Dengan lemah Arin bertanya. Matanya redup, suaranya serak ketika mengatakannya. “Mungkin profesi dokter, memajukan klub biologi, memang cuma angan-angan saja. Di negara kita, hal seperti itu adalah hal yang sulit. Takdir tidak mengizinkan aku untuk kecewa lebih jauh. Aku minta maaf karena pergi dari tanggung jawab begitu saja, Han. Aku… minta maaf karena membawa kalian dalam ambisiku.”

Kali ini Han yang terbelalak. Dia kira, dengan reaksi terkejut Arin dan kalimat prihatin yang diucapkannya, hatinya baru saja tergerak. Han kira, Arin jadi ingin melanjutkan perjuangan mereka yang sudah sejauh ini.

“Kak! Jangan langsung menyerah begitu, dong!” Han mengacak rambutnya frustasi. “Aku ingin sekali mengatakan ini dari kemarin, tetapi karena kau menghilang begitu saja, aku tidak punya kesempatan. Kak, sekalipun aku jarang memujimu, karena sudah banyak orang melakukan itu, juga karena aku gengsi untuk melakukannya, dan meski kau tak butuh mendengar pujian, aku tetap ingin mengatakannya. Aku sangat kagum padamu. Aku sangat kagum pada betapa tekunnya kau dalam belajar ilmu kesehatan ini, betapa kau berjuang keras untuk menggapai mimpimu. Mungkin, ini tidak terdengar begitu berarti sekarang karena kau baru saja kecewa terhadap kenyataan yang dimana tidak lagi terlihat harapan untuk menggapai mimpimu. Tapi menurutku, tidak ada yang sia-sia. Masih ada kesempatan, darimanapun arahnya. Selain itu, kau tidak perlu meminta maaf untuk memanfaatkan tujuan klub biologi untuk menggapai mimpi pribadimu. Tidak masalah jika kau bertindak egois untuk hal positif itu. Karena kami semua pun, yang sejalan denganmu, merasakan keuntungan dari ambisimu.” Han berucap dengan keyakinan kuat. Kemanapun mata Arin berusaha lari dari semangat Han yang menggebu-gebu itu, Han terus berusaha mengejarnya.

Melihat Arin diam tidak bereaksi, Han menghela napas. Han memang tidak menduga begini reaksi Arin. Tetapi, dia masih punya satu senjata lagi. Satu senjata yang meyakinkan dia untuk nekat menemui Arin meski harus memanjat rumah seniornya itu.

“Kak…”

Arin memotong dengan sendu. “Han, berhentilah terlalu optimis. Bukannya aku tak mau membantumu, tapi sekarang, memperjuangkan klub biologi tidak lagi ada keuntungannya buatku. Aku memang egois, Han. Tidak perlu mengatakan bahwa bukan masalah untuk menjadi kendaraan menuju mimpiku. Aku tak lagi mengharapkan apa-apa. Aku sudah berniat melepasnya karena memang itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Aku… bahkan sudah berpikir untuk berhenti sekolah.”

“Kau tidak boleh menyerah dengan mimpimu semudah ini, Kak. Inilah alasan aku datang. Bukan sekadar untuk membagikan semangat. Tetapi juga membawa kabar tentang beasiswa yang kusebutkan tadi. Kau bisa kuliah dengan beasiswa penuh oleh pemerintah menggunakan kemampuanmu ini lewat jurnal dan esai. Kalau penelitian ini bisa diusahakan hingga diakui pemerintah, beasiswa masih memungkinkan.”

“Kalau itu aku juga sudah tahu. Tetapi sekarang pemerintah tidak menyediakan dana untuk itu lagi, Han. Sudah tidak ada harapan buat mereka yang tidak punya uang seperti aku. Selain itu, penelitian kita belum diakui ahli.”

“Bisa, Kak! Percaya padaku! Penelitian kita ini berbeda. Penelitian kita lebih hebat. Dan jika pemerintah tidak bisa membantu kita, ada alternatif lain. Yaitu perusahaan swasta! Kau ingat Kak RIzal? Dia orang yang berhasil mendapat beasiswa perusahaan swasta.” Han mendekat, menepuk bahu Arin, masih berusaha meyakinkan. Bola matanya berkilat yakin.

 

Han selalu menyayangkan sistem pengalokasian anggaran negara mereka. Dulu, pendidikan adalah sektor utama dengan alokasi dana yang sangat besar. Namun, sejak pergantian pemimpin, anggaran pendidikan perlahan menyusut, terutama di kota-kota yang jauh dari ibu kota, membuat kondisi pendidikan kian memprihatinkan.

Awalnya, pemangkasan anggaran ini dilandasi oleh pertimbangan jumlah lapangan kerja yang sedikit dan banyaknya sarjana menganggur. Kala itu, dana pendidikan dianggap terlalu besar, meskipun telah memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan. Tindakan ini pada awalnya memang terlihat baik, tetapi lambat laun memunculkan konsekuensi. Pemerintah yang terlalu fokus pada pendidikan melupakan sektor pembangunan lain yang krusial untuk penciptaan lapangan kerja. Akibatnya, banyak sarjana penerima beasiswa justru menganggur, dan tak sedikit pula yang mencari pekerjaan di negara lain, mengurangi jatah penduduk di negara sendiri. Entah apa yang salah dengan negara ini, hal yang seharusnya positif justru berbalik menjadi bumerang. Karena masalah tak lagi bisa diatasi, dana pendidikan dipangkas nyaris total, bahkan beasiswa pun ditiadakan. Inilah era yang kini dijalani Arin: era di mana siswa berjuang sendiri untuk menempuh pendidikan karena anggaran difokuskan pada sektor pembangunan lain.

Pemerintah memang mendorong sektor pembangunan industri, memperbanyak lapangan kerja bagi para sarjana sebelumnya. Namun, hal ini justru menyulitkan anak-anak yang sekarang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Sarjana sebelumnya yang telah didukung pemerintah melalui pembangunan menjadi lebih terjamin dan mampu membiayai anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan secara mandiri. Akan tetapi, tidak semua bernasib mujur. Kebijakan pemerintah berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Orang tua Arin, yang bukan sarjana, mengembangkan wirausaha namun tidak begitu sukses karena banyak sektor penjualan dikuasai pemerintah. Kini muncul masalah baru: banyak anak kurang mampu kesulitan melanjutkan pendidikan, yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pekerja di berbagai profesi vital seperti dokter dan tenaga medis. Han merasa, pada titik ini, pemerintah dan para pemangku kebijakan mulai bingung dengan keputusan mereka sendiri.

 

“Kak, tolong percayalah padaku. Aku tidak mengatakan ini sebagai omong kosong belaka.” Melihat Arin tidak bergeming, Han melanjutkan bujukannya.

Arin akhirnya menatap Han lagi, sejenak, jiwanya kembali terasa hidup. Dia merasakan kembali secercah harapan bahwa mimpinya masih bisa diperjuangkan. Namun, Arin masih meragu. “Kau ini… apa bisa? Kita tidak punya koneksi dengan perusahaan swasta yang berhubungan dengan kesehatan. Banyaknya sektor kesehatan itu dipegang oleh pemerintahan, akan sulit menemukan perusahaan swasta yang mau membiayai pendidikan kedokteran.”

“Bisa, kita akan tahu kalau kita mencobanya. Aku berjanji akan membantumu, Kak! Begitupula Ryan, dan mungkin anggota lain. Aku akan coba membujuk mereka nanti. Kak Rizal... aku mengingat rumor tentang dia. Itulah kenapa aku membahas beasiswa perusahaan swasta. Pokoknya masalah itu bisa kita bahas nanti bersama Pak Kimu, yang paling penting aku telah menghubungi dan mengonfirmasi bahwa hal itu bisa diusahakan lewat penelitian kita. Sekarang, kembalilah… waktu kita terbatas. Penelitian itu harus segera ditemukan atau dibuat lagi agar kau bisa mendapat beasiswa, agar klub biologi bisa lebih maju, agar kami yang bermimpi bisa menjadi dokter juga bisa mengembangkan kemampuan kami. Hanya kau yang bisa kami andalkan sekarang, kau yang memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan ini semua. Percayalah, Kak, akan sangat disayangkan kalau dunia kehilangan dokter berbakat seperti kau.”

Setelah dihadapkan kenyataan bahwa mimpinya adalah hal yang mustahil, Arin tidak pernah berpikir Han akan muncul di jendela kamarnya, memberinya harapan bahwa mimpinya masih bisa diperjuangkan.

Jujur, kepala Arin saat ini didominasi oleh ketakutan. Ketakutan bahwa sekalipun dia berusaha keras kali ini, dia tetap akan kecewa. Kekecewaan itu akan terus berkeliaran sekalipun dia meeminta mereka untuk berdamai. Arin takut, dia akan lebih terluka.

Tapi, kalau berhasil… bagaimana? Yang dikatakan Han benar, Arin memiliki kapabilitas untuk menyelesaikannya. Selain itu, Han juga berkata, dia akan tahu kalau dia mencobanya. Kalau hanya duduk, bersedih, merenung sepanjang hari, Arin tidak akan mendapatkan apa-apa. Tapi kalau dia mencobanya lagi, dia masih memiliki kemungkinan untuk mendapatkan kembali kesempatan untuk menggapai mimpinya. Lupakan orang tuanya yang mungkin tidak mampu mendukung mimpinya, Arin pun tak bisa memaksa. Kali ini, Arin ditawari kesempatan untuk berusaha sendiri tanpa berharap pada orang lain. Juga, sekalipun kecewa, setidaknya Arin tidak akan menyalahkan keadaan maupun orang lain. Dia ingin melihat lagi, sejauh apa dia bisa berjuang untuk mimpinya kali ini. Arin juga teringat dengan penelitian yang telah dia mulai, setidaknya, dia harus kembali untuk menyelesaikan ini dulu.

“Baiklah, mari kita lakukan.” Setelah beberapa detik lagi berpikir, Arin akhirnya memutuskan dengan lantang. Membuat Han yang duduk di kursi belajar Arin langsung berjingkrak kesenangan.

Finally! Kau tidak boleh berubah pikiran, ya, Kak!” Ujar Han masih berjingkrak-jingkrak. Arin tidak bisa menahan tawa melihat juniornya begitu senang telah berhasil membujuk Arin kembali. Jujur, dalam hati, Arin pun sedikit merasa senang. Masih ada orang yang mendukungnya saat situasi sedang sulit seperti ini.

“Kau jangan terlalu senang. Belum tentu kita bisa menemukan pelakunya dalam satu minggu, atau membuatnya ulang dalam jangka waktu sesingkat itu. Tapi, aku akan berusaha. Kalian pun sama, kalian harus bekerja keras untuk mengusahakan ini.” Peringat Arin. Han entah mendengar atau tidak, dia hanya mengangguk antusias dan masih nyengir-nyengir senang, terlampau bahagia.

“Tentu saja, Kak.”

Arin mengerjap, teringat sesuatu. “Omong-omong, kenapa kalian tidak mencurigai aku? Penelitian itu hilang setelah aku mengundurkan diri. Bukankah agak…”

Han berhenti nyengir mendengar penuturan Arin. Dia menaikkan alis heran. “Aku bahkan sama sekali tidak memikirkannya, Kak. Lagipula, kami semua tahu kau tidak mungkin melakukan itu setelah apa yang terjadi padamu.”

Arin mengangguk paham. Dia berdiri dari kasurnya kemudian mengusap wajah untuk menyegarkan kepalanya. Arin kemudian beralih mengecek rak buku di kamarnya yang penuh dengan buku referensi yang kemarin digunakannya untuk penelitian, mengambil satu dua di rak terbawah. “Baiklah, mari kita mulai.”

“Kita akan mulai malam ini juga?”

“Kalau kau mulai besok, semua bisa saja lebih terlambat lagi dan menghilangkan kemungkinan kita bisa membuat atau mendapatkannya kembali.”

“Tapi, Kak, bukankah kalau cuma satu minggu, kita hanya bisa memilih salah satu? Apakah kita harus mencari pelakunya dan mendapatkan penelitian itu kembali, tapi tidak ada jaminan penelitian itu masih baik-baik saja, atau kita fokus membuat yang baru saja? Meski kupikir, itu takkan sebagus yang kemarin.”

Arin berpikir sejenak, gerakan tangannya mengecek buku-buku terhenti. Tapi tak lama kemudian, dia menyeringai kecil. “Kita lakukan keduanya. Kita harus mencari pelaku dan mendapatkan kembali penelitian kita. Bagaimanapun, peluang itu masih ada dan nyaris seratus persen kemungkinan pelakunya adalah siswa sekolah kita. Dan masalah lainnya, kita tidak tahu penelitian itu dicuri untuk apa dan sudah diapakan. Tetapi, besar pula kemungkinan penelitian itu belum diapa-apakan jika dia mengejar profitnya. Sebab, laporan lengkapnya belum selesai. Itulah yang berusaha kalian selesaikan satu minggu ini selama aku tidak ada, kan? Makanya, kita harus cepat mencarinya sebelum dia mampu mengidentifikasi dan membuat laporan sendiri. Kenapa kita tetap harus mendapatkannya meski kita akan membuat yang baru? Itu karena kualitasnya jelas berbeda jauh. Membuat yang baru hanya alternatif, maka dari itu, kita harus melakukan keduanya untuk berjaga-jaga.”

Han mengangguk-angguk mengerti. Melihat Arin yang mengambil keputusan dan menjelaskan padanya, membuat Han bisa merasakan aura kepemimpinan yang kuat dari Arin yang selalu sama seperti saat dia mengatur klub biologi. Jelas, kalau Arin dibiarkan tenggelam dalam kekecewaan, gagal meraih mimpinya, dunia akan kehilangan bintang yang hebat.

Han tidak menyesal harus memanjat ke lantai dua rumah seniornya itu dan berusaha membujuknya sampai memakan waktu hampir satu jam. Tapi, itu semua sepadan dengan apa yang telah Arin usahakan untuk klub belajar selama ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fairytale Love
582      412     4     
Short Story
Peri? Kata orang cuma ada didongeng. Tapi bagi Daffa peri ada di dunia nyata. Selain itu, peri ini juga mempunyai hati yang sangat baik.
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
276      225     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Premium
Beauty Girl VS Smart Girl
11547      2918     30     
Inspirational
Terjadi perdebatan secara terus menerus membuat dua siswi populer di SMA Cakrawala harus bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling terbaik di antara mereka berdua Freya yang populer karena kecantikannya dan Aqila yang populer karena prestasinya Gue tantang Lo untuk ngalahin nilai gue Okeh Siapa takut Tapi gue juga harus tantang lo untuk ikut ajang kecantikan seperti gue Okeh No problem F...
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Sweet Like Bubble Gum
1359      916     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Konfigurasi Hati
556      380     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Bye, World
7919      1870     26     
Science Fiction
Zo'r The Series: Book 1 - Zo'r : The Teenagers Book 2 - Zo'r : The Scientist Zo'r The Series Special Story - Bye, World "Bagaimana ... jika takdir mereka berubah?" Mereka adalah Zo'r, kelompok pembunuh terhebat yang diincar oleh kepolisian seluruh dunia. Identitas mereka tidak bisa dipastikan, banyak yang bilang, mereka adalah mutan, juga ada yang bilang, mereka adalah sekumpul...
Bulan Dan Bintang
5406      1401     3     
Romance
Cinta itu butuh sebuah ungkapan, dan cinta terkadang tidak bisa menjadi arti. Cinta tidak bisa di deskripsikan namun cinta adalah sebuah rasa yang terletak di dalam dua hati seseorang. Terkadang di balik cinta ada kebencian, benci yang tidak bisa di pahami. yang mungkin perlahan-lahan akan menjadi sebuah kata dan rasa, dan itulah yang dirasakan oleh dua hati seseorang. Bulan Dan Bintang. M...
Da Capo al Fine
341      280     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir