Aluna berdiri di depan pintu kamar yang dulu menjadi tempatnya bersembunyi dari dunia luar. Kamar yang penuh dengan kenangan, kamar yang selalu menjadi saksi bisu dari setiap tawa, tangis, dan harapan. Kini, kamar itu terasa seperti tempat yang tak dikenal, meskipun setiap sudutnya begitu familiar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Beberapa tahun telah berlalu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kamar ini. Dulu, ia akan melangkah masuk dengan mudah, meraih gagang pintu yang terasa begitu nyaman di tangannya. Tapi sekarang, ada rasa ragu yang mengisi dadanya. Apakah kamar ini masih miliknya? Apakah kenangan yang ada di dalamnya masih bisa membawanya kembali ke masa lalu yang ia tinggalkan?
Dengan perlahan, Aluna membuka pintu kamar itu. Begitu pintu terbuka, aroma lama menyambutnya. Aroma yang sedikit berdebu, seperti buku yang belum pernah dibaca, atau seperti ruang yang tak pernah diberi kesempatan untuk bernapas. Aluna melangkah masuk, matanya menyapu seluruh ruangan. Segala sesuatu di dalam kamar ini seolah terhenti di waktu yang sama—tak ada yang berubah, tetapi semuanya terasa sangat asing.
Dinding kamar yang dulu dihiasi dengan poster-poster musik favoritnya kini tampak sedikit pudar. Lemari kayu yang dulu selalu penuh dengan pakaian dan barang-barang kecil miliknya masih berdiri tegak, meskipun sedikit lebih usang. Tempat tidurnya, yang dulu penuh dengan bantal dan selimut yang ia rapikan setiap pagi, kini hanya terdiri dari seprai yang sedikit kusut, seolah sudah lama tak digunakan.
“Apakah ini masih rumahku?” pikir Aluna, merenung. Ia mendekati meja belajarnya yang dulu penuh dengan catatan dan buku-buku pelajaran. Kini, meja itu kosong. Hanya sebuah lampu meja yang masih menyala redup, seolah menunggu untuk digunakan lagi.
Aluna duduk di tepi tempat tidurnya. Ia merasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya. Kamar ini dulunya adalah tempat di mana ia merasa aman. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi oleh dunia luar. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Semua itu terasa jauh, seperti sebuah kehidupan yang sudah ia tinggalkan.
“Dulu aku selalu merasa kamar ini adalah tempat pelarian,” gumam Aluna pelan. Ia ingat betul bagaimana dulu ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di sini, menulis di jurnalnya, mendengarkan musik, atau hanya diam dan merenung. Saat itu, dunia di luar kamar ini seolah tidak ada, dan kamar inilah yang memberinya kenyamanan dan kedamaian. Namun sekarang, ia merasa seolah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan kamar ini. Seperti ada celah yang menganga, memisahkannya dari masa lalunya. Ia merasakan perasaan yang berat, seperti beban yang semakin lama semakin menggerogoti hatinya.
Aluna beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke lemari. Ia membuka pintu lemari itu dan mulai menyelusuri pakaian-pakaian lama yang ada di dalamnya. Beberapa pakaian masih tampak rapi, sementara yang lainnya sudah sedikit kusut dan terabaikan. Ia menarik sebuah kaus favoritnya—kaus yang dulu selalu ia kenakan setiap kali pergi keluar rumah. Kaos itu sudah sedikit pudar, tapi ia masih bisa mengenali aroma yang melekat padanya. Aroma kenangan. Aroma masa lalu yang membuatnya merasa seperti kembali ke waktu yang lebih sederhana. Ia menatap kaus itu lama, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia memakainya. Kenangan itu datang begitu saja, seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung. Ia ingat betul saat ia mengenakan kaus itu dan pergi bersama teman-temannya ke taman. Mereka tertawa bersama, berbicara tentang masa depan, dan seolah tak ada yang bisa menghentikan mereka. Tapi kini, semuanya terasa berbeda. Semua orang sudah berubah, dan Aluna pun merasa seperti seseorang yang telah berjalan terlalu jauh dari dirinya sendiri.
Aluna menutup lemari dan berjalan ke jendela. Ia membuka jendela itu, membiarkan angin sore yang sejuk masuk ke dalam kamar. Di luar, langit mulai berubah warna menjadi jingga, tanda bahwa matahari akan segera terbenam. Ia memandang ke luar, ke halaman rumah yang dulu ia kenal sangat baik. Taman kecil yang penuh dengan bunga-bunga yang ditanam oleh ibunya, pohon mangga yang pernah ia panjat, dan jalan setapak yang mengarah ke gerbang rumah.
“Dulu, aku merasa dunia ini begitu kecil,” pikir Aluna, “Tapi sekarang, segalanya terasa begitu jauh. Seperti ada jarak yang menghalangi aku untuk kembali ke sana.”
Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Ia merasa bingung, terperangkap di antara masa lalu dan masa kini. Ada bagian dari dirinya yang ingin tetap berada di sini, di rumah ini, di kamar ini. Namun ada juga bagian dari dirinya yang merasa terjebak, seperti ia tak bisa lagi melanjutkan hidup di tempat yang sama. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu kamar. Aluna terkejut dan menoleh. Dimas, adiknya, muncul di ambang pintu dengan senyum tipis di wajahnya. “Mau ngobrol?” tanyanya, masuk perlahan.
Aluna tersenyum, meskipun senyumnya terasa sedikit pahit. “Tentu, Dimas. Masuklah.”
Dimas duduk di sampingnya, dan keduanya terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena mereka tahu betul apa yang ada di dalam hati masing-masing. Dimas kemudian membuka mulutnya, memecah keheningan. “Kamu tahu, dulu aku selalu merasa kamu akan kembali ke sini. Meskipun setelah lama pergi, aku yakin kamu pasti akan pulang.”
Aluna menatap Dimas, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku juga berharap begitu. Tapi ada banyak hal yang berubah.”
Dimas mengangguk, menatap ke luar jendela, mengikuti arah pandangan Aluna. “Aku juga merasa banyak hal yang berubah. Tapi, kamu tahu, ini tetap rumah kita. Kamar ini tetap tempat kita.”
Aluna tersenyum lemah. Kata-kata Dimas mengingatkannya bahwa meskipun waktu terus berjalan dan kehidupan terus berubah, rumah ini—dan kenangan yang ada di dalamnya—tetap akan selalu ada, meskipun kadang terasa jauh. Malam semakin larut, dan keduanya duduk bersama di kamar itu, berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan untuk mengungkapkan perasaan mereka. Kamar ini, meskipun terasa asing, tetap memiliki tempat di hati mereka.
Aluna menatap Dimas dan merasakan kehangatan dalam hatinya. Mungkin, rumah ini bukan hanya tentang tempat, tetapi tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Tentang keluarga yang selalu ada untuk satu sama lain, meskipun kadang perasaan dan waktu membawa mereka jauh. Aluna tahu, suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan kembali ke sini—ke kamar yang dulu miliknya, ke rumah yang penuh dengan cerita dan kenangan.
Karena pulang selalu punya cerita. Dan cerita itu, meskipun lama terlupakan, akan selalu membawa mereka kembali, meskipun hanya dalam kenangan.