Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Saat pertama kali pulang, Aluna merasa bahwa rumahnya tidak banyak berubah. Dinding rumah yang pernah penuh dengan gambar-gambar warna-warni kini hanya dipenuhi noda cat yang mengelupas. Meja makan yang dulu selalu penuh dengan tumpukan buku dan peralatan sekolah sekarang hanya ditempati oleh sebotol minyak goreng yang hampir habis. Namun, ada satu tempat yang selalu tetap sama, tak tersentuh waktu: dapur Ibu.

Dapur ini adalah saksi bisu dari hampir setiap perbincangan yang pernah terjadi dalam rumah ini. Dari canda tawa hingga air mata yang jatuh tanpa suara. Dapur itu adalah ruang yang paling Aluna kenang. Di sana, Ibu selalu sibuk dengan wajan dan panci, sementara Aluna duduk di kursi kayu yang sudah sedikit lapuk, sambil menyimak setiap cerita yang Ibu sampaikan.

Setelah bertahun-tahun meninggalkan rumah ini, Aluna kembali dan mendapati dapur yang tetap sama. Hanya bau minyak goreng yang baru saja dipanaskan, dan suara panci yang beradu dengan spatula, yang mengingatkannya pada ibu. Ibu sedang menumis bawang merah dan bawang putih, seperti biasanya. Langit di luar, yang membentang luas dengan semburat senja yang merona, memberi cahaya hangat pada dapur itu. Aluna duduk di kursi, menatap ibu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Ibu, kenapa nggak pernah berubah sih?" Aluna bertanya dengan suara yang hampir hilang ditelan tawa.

Ibu menoleh sebentar, lalu tersenyum tanpa kata. "Yang berubah itu kamu, Aluna. Dulu kamu selalu ribut saat aku masak, sekarang kamu cuma diam aja."

Aluna terkekeh. "Aku juga nggak tahu, Bu. Dunia yang terlalu cepat berputar bikin aku lupa gimana caranya menikmati hal-hal kecil kayak begini."

Ibu mengangguk pelan. "Kalau begitu, kamu harus belajar lagi dari sini. Dapur ini nggak cuma soal masak, tapi juga soal waktu. Kalau kamu terlalu buru-buru, kamu nggak akan tahu rasanya menikmati setiap detik."

Aluna menatap langit yang mulai gelap. Di luar, burung-burung berterbangan pulang ke sarangnya, menciptakan simfoni alam yang damai. Namun, hati Aluna seolah terombang-ambing. Ada kerinduan yang begitu dalam, yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan.

"Ibu, aku sering merasa kayak nggak punya tempat lagi," Aluna membuka percakapan yang sudah lama ingin ia ungkapkan. "Kadang, aku pulang, tapi nggak merasa seperti pulang. Kadang rasanya kayak aku jadi orang asing di rumah sendiri."

Ibu berhenti sejenak, lalu mendekat, menyandarkan punggungnya pada meja dapur. "Pulang itu bukan soal tempat, tapi soal hati, Aluna. Kamu akan selalu pulang ke sini, karena rumah ini punya cerita kita, cerita kita berdua. Dan itu nggak akan pernah hilang." Aluna menggigit bibirnya. Ia ingin menangis, tapi tangis itu terlalu berat untuk keluar. Semua kenangan yang ia simpan terlalu dalam, terlalu dalam untuk bisa ia keluarkan begitu saja.

Malam itu, setelah makan malam yang sederhana namun penuh kehangatan, Aluna kembali duduk di halaman rumah, di tempat yang sama di mana ia sering duduk bersama ibu setelah malam tiba. Langit sudah gelap, hanya ada cahaya bintang yang berkelip-kelip. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia merasa bahwa langit malam itu lebih dekat. Lebih ramah. Aluna mengamati langit yang begitu luas, tak terjangkau oleh matanya. Setiap bintang seolah berkilau lebih terang dari biasanya. Ia ingin berbicara dengan bintang-bintang itu. Mengutarakan segala perasaan yang selama ini ia simpan dalam diam.

"Kenapa rasanya begini, ya?" Ia bergumam pada diri sendiri. "Kenapa rasanya aku sudah terlalu lama pergi dan sekarang merasa asing di tempat yang dulu aku anggap rumah?"

Langit di atas dapur Ibu seolah menjawab dengan bisu. Tapi meskipun tak ada suara, Aluna merasa ada sesuatu yang mengalir. Sesuatu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang. Pulang ke rumah tidak selalu berarti kembali pada tempat yang sama. Terkadang, pulang itu adalah perjalanan menemukan kembali bagian dari diri yang hilang, bagian yang terlupakan, yang hanya bisa ditemukan di tempat yang penuh kenangan. Di tempat yang tak pernah benar-benar pergi, meskipun waktu terus berlalu.

Esok paginya, Aluna bangun dengan rasa yang berbeda. Ia memutuskan untuk ikut membantu Ibu di dapur. Kali ini, tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada deadline yang mengintai. Tidak ada keramaian kota yang mengganggu. Hanya ada suara panci yang berdenting pelan, suara spatula yang mengaduk tumisan di wajan, dan suara ibu yang sesekali tertawa saat Aluna salah menumis bawang. Ibu memberi Aluna tugas menyiapkan sambal terasi. "Kalau kamu ingin tahu rasanya, buatlah sambal ini dengan hati," kata Ibu.

Aluna menatap cabai merah yang sudah diiris halus. "Dengan hati, Bu?"

Ibu tersenyum. "Iya. Karena dalam setiap masakan, ada rasa yang nggak bisa ditangkap oleh indera. Cuma hati yang bisa merasakannya."

Aluna mengangguk, mulai menumbuk cabai dengan pelan. Ada ketenangan dalam proses itu. Sebuah proses yang seolah mengingatkan Aluna akan apa yang selama ini ia lupakan: bahwa hidup ini, seperti sambal terasi, membutuhkan waktu untuk bisa merasakan kedalaman rasa. Kadang, waktu yang lama adalah proses yang dibutuhkan untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih berharga. “Bu, aku ingat dulu kamu sering bilang, ‘Yang penting nggak ada yang lebih baik dari rumah sendiri.’” Aluna berkata pelan.

Ibu menoleh dengan mata yang penuh kehangatan. “Iya, karena rumah adalah tempat yang bisa kamu pulang kapan saja. Bukan soal besar kecilnya, bukan soal mewahnya. Tapi soal kenangan yang ada di dalamnya.”

Malam itu, setelah makan malam bersama, Aluna kembali duduk di halaman rumah. Langit malam itu tampak lebih cerah dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, ia baru saja menemukan bagian dari dirinya yang sudah lama hilang. Aluna memandang bintang yang berkelip di langit. Dan kali ini, ia merasa lebih damai. Rasanya, langit di atas dapur Ibu tidak hanya menyinari rumah ini, tapi juga menyinari hatinya yang selama ini gelap. Ia tahu, walaupun dunia terus berputar, dan meskipun ia terus melangkah pergi, rumah ini akan selalu ada. Dan di sini, di bawah langit yang sama, ia selalu bisa kembali.

Senyum ibu yang lembut, suara panci yang beradu dengan spatula, dan aroma masakan yang menguar dari dapur akan selalu mengingatkannya pada satu hal: bahwa pulang, terkadang, adalah hal yang paling indah yang bisa kita alami.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
The Story of Fairro
2820      1179     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Memories About Him
4337      1831     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Edelweiss: The One That Stays
2353      940     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
MALAM DALAM PELUKAN
642      462     3     
Humor
Apakah warna cinta, merah seperti kilauannya ataukah gelap seperti kehilangannya ?
Selaras Yang Bertepi
369      255     0     
Romance
"Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu" Selaras yang bertepi, bermula pada persahabatan Rendra dan Elin. Masa remaja yang berlalu dengan tawa bersembunyi dibalik rasa, saling memperhatikan satu sama lain. Hingga salah satu dari mereka mulai jatuh cinta, Rendra berhasil menyembunyikan perasaan ini diam-diam. Sedangkan Elin jatuh cinta sama orang lain, mengagumi dalam ...
Jalan Menuju Braga
508      369     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
WEIRD MATE
1595      769     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
Caraphernelia
1037      544     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Babak-Babak Drama
478      333     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...