Seseorang pernah bilang: yang paling sulit dari pulang bukan perjalanannya, tapi menyapa mereka yang pernah kita tinggalkan. Dan ternyata, tidak semua yang kita tinggalkan, marah. Beberapa… justru menunggu. Diam-diam. Dengan senyum yang tetap mereka simpan di teras rumah. Pagi itu, Aluna memutuskan berjalan kaki ke warung Bu Narti. Bukan karena malas naik motor, tapi karena ingin melihat lagi gang-gang kecil yang dulu mengisi hari-harinya. Jalur sempit di antara pagar-pagar rumah yang dipenuhi pot gantung dan jemuran tetangga. Di sanalah dulu ia lari-larian sambil tertawa, naik sepeda mini warna pink, dan pernah jatuh tepat di depan rumah Pak Darto gara-gara digonggongi anjing kampung.
Semua terasa lebih kecil dari yang ia ingat. Seperti dunia yang dulu besar, kini mengecil karena waktu dan dewasa. Sampai di warung, Aluna berhenti sejenak. Bau tempe goreng, kopi hitam, dan mie rebus menyambutnya seperti teman lama. Warungnya masih sama. Kursi plastik merah, meja kayu yang agak goyah, dan Bu Narti yang—luar biasa sekali—masih setia memakai daster batik yang entah ada berapa versinya.
Bu Narti sedang menyapu halaman saat Aluna datang. Perempuan itu terdiam sebentar, memicingkan mata, lalu tertawa kecil.
“Ya Allah… ini Aluna, tho?! Astaga, tinggi banget sekarang. Wajahnya masih mirip, tapi sekarang udah kaya mbak-mbak sinetron!”
Aluna tertawa sambil menangkupkan tangan. “Masih inget, Bu?”
“Lho, piye to? Kamu itu dulu tiap sore main ke sini. Nyolong kerupuk mentah, terus ngumpet di belakang kulkas!”
Dua orang pembeli lain ikut menoleh. Salah satunya—Pak Darno, yang dulu kerja di kelurahan—langsung menepuk lutut sambil tergelak. “Oh iki cah wedok yang dulu nangis gara-gara dikejar ayam, to!”
Aluna hanya bisa mengangguk sambil tertawa malu. Tapi di balik tawa itu, dadanya terasa hangat. Seperti air yang akhirnya menemukan kembali bentuk gelas lamanya. Tidak ada penolakan. Tidak ada wajah kaku. Hanya tawa dan kenangan yang mengalir pelan-pelan.
Bu Narti menyeduh kopi untuk Aluna. “Duduk sini, Le. Cerita-cerita. Kamu kok lama banget gak pulang? Kabar Ibumu gimana?”
Aluna menceritakan semuanya. Tentang kuliah di luar kota, kerja serabutan, pindah-pindah kontrakan, dan akhirnya… rasa rindu yang tak tertahankan. Ia juga bercerita bahwa ibunya kini tinggal di rumah peninggalan kakek, merawat kebun kecil, dan lebih sering menulis jurnal harian di buku lusuh yang masih disimpan di lemari kayu tua.
“Kamu dulu cerewet banget, sekarang kok kalem ya,” komentar Bu Narti.
“Mungkin karena dunia sempat keras, Bu.”
Bu Narti tertawa kecil. “Memang dunia keras. Tapi pulang itu kadang bikin empuk hati.”
Obrolan mereka terhenti sejenak saat ada yang memanggil dari seberang jalan. Seorang perempuan, mengenakan kaus putih dan celana olahraga.
“LUNAAAA?!”
Aluna menoleh. Matanya melebar. “Mbak Ririn?!”
Perempuan itu langsung memeluk Aluna erat-erat. “Wah gila, ini anak ke mana aja? Kok nggak ada kabar-kabar?”
Mbak Ririn, tetangga depan rumah Aluna dulu, adalah sumber segala info di lingkungan mereka. Bukan bergosip, lebih seperti Google Maps-nya kampung. Mau cari tukang las, yang tahu Mbak Ririn. Mau tahu siapa yang barusan ribut suami-istri, ya dia juga.
“Aku pulang minggu lalu, Mbak,” jawab Aluna sambil nyengir.
“Ya Allah, dulu kamu kecil banget, suka main masak-masakan sama anakku yang sekarang malah kerja di luar kota juga. Sekarang udah jadi perempuan beneran, lho!”
“Tadinya boneka-boneka, sekarang mikirin BPJS, Mbak.”
Mereka tertawa bersama.
Hari itu berubah jadi reuni kecil. Orang-orang yang dulu Aluna kenal mulai muncul satu per satu. Pak Lurah lewat naik sepeda motor dan berhenti untuk salaman. Ibu Sulastri, yang jualan jajanan pasar, membawakan risol goreng sambil menyelipkan pesan, “Nanti mampir ya, aku punya foto kamu kecil nyemplung got!”
Di tengah semua kehangatan itu, Aluna sadar: meski ia pernah lama pergi, tempat ini… tidak benar-benar lupa padanya.
Setelah pamit dari warung, Aluna berjalan pelan menyusuri gang kecil. Banyak pintu pagar yang terbuka, bukan untuk mengusir, tapi menyambut. Ada senyum dari tetangga lama yang bahkan tak perlu berkata, tapi cukup dengan anggukan hangat untuk membuat Aluna tahu: kamu masih dianggap bagian dari sini.
Saat tiba di rumah, Aluna membuka jendela kamarnya yang menghadap ke halaman kecil. Ia melihat dua anak kecil sedang bermain di bawah pohon jambu.
“Aku jadi ingat aku sama Dimas dulu main kejar-kejaran di situ,” gumamnya.
Ibu, yang sedang menyiram tanaman, menoleh. “Iya. Kamu juga pernah marah karena Dimas nggak mau jadi ‘anak’ kamu saat main rumah-rumahan.”
Aluna tertawa. “Sekarang Dimas di mana sih, Bu?”
“Masih di kota. Katanya lagi sibuk ngurus cafe kecilnya. Nanti dia juga pasti pengin ketemu kamu.”
Ada keheningan sebentar. Lalu Ibu berkata, “Tadi Bu Narti ke sini. Dia cerita kamu mampir ke warung.”
Aluna mengangguk. “Iya. Aku… kaget. Mereka semua masih ingat aku, Bu.”
“Karena kamu meninggalkan jejak baik di sini. Anak-anak kecil mungkin lupa, tapi orang dewasa… selalu ingat anak yang sopan, yang suka bantu angkat galon, atau sekadar tersenyum saat lewat depan rumah.”
Aluna memeluk ibunya dari belakang. “Aku takut mereka marah karena aku terlalu lama pergi.” Ibu membalas pelukan itu. “Kalau yang kau tinggalkan adalah kebaikan, pulangmu akan selalu disambut. Meskipun senyumnya kadang terlambat, tapi percayalah, ia akan muncul.” Malamnya, Aluna duduk di halaman rumah. Ia menatap langit yang penuh bintang. Sesekali terdengar suara jangkrik, dan dari jauh, anak-anak kecil berteriak main petak umpet.
Ia membuka catatannya lagi. Lalu menulis:
Senyum tetangga lama mungkin bukan hal besar bagi dunia. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk menyembuhkan luka pulang yang sempat kutakutkan. Hari ini aku belajar: bahkan ketika kita berpikir dunia telah berubah dan lupa pada kita, ada beberapa wajah yang tetap menyimpan senyum, diam-diam menunggu kita kembali. Pulang bukan cuma soal rumah dan keluarga. Tapi tentang lingkungan yang dulu membesarkan kita. Tentang mereka yang pernah melihat kita jatuh dari sepeda, menangis karena kalah main petak umpet, dan tertawa karena kerupuk mentah. Tentang mereka yang menyambut kita bukan karena siapa kita sekarang, tapi karena siapa kita dulu.
Ia menutup bukunya, menghela napas pelan, dan tersenyum. Besok, ia berencana mengantar kue ke rumah Bu Narti. Hanya sebagai tanda terima kasih. Tapi lebih dari itu, sebagai tanda bahwa ia tidak akan terlalu lama pergi lagi. Sebab sekarang, ia tahu: senyum tetangga lama adalah salah satu hal terindah dari cerita pulang.