Ada senyum yang menyambut kita saat pulang, dan ada pula wajah datar yang membuat kita bertanya, “Masih bolehkah aku merasa ini rumah?”
Aluna tidak pernah membayangkan bahwa wajah yang tak menyambut itu justru milik seseorang yang pernah ia anggap bagian dari rumah: Mbak Rani, kakak sepupunya yang dulu begitu dekat, begitu hangat… hingga waktu membuat segalanya asing. Hari itu hujan turun tipis. Gerimis yang lebih seperti bisikan kenangan daripada hujan sungguhan. Aluna membawa payung biru bergambar doraemon—bukan miliknya, tapi punya keponakan tetangganya yang dengan polosnya meminjamkan.
Aluna sedang dalam perjalanan ke rumah Tante Retno—ibunya Mbak Rani. Rumah itu masih di kota yang sama, hanya beberapa kilometer dari rumah masa kecil Aluna. Namun, jaraknya terasa jauh karena ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Sebelum Ayah meninggal, keluarga mereka sering bertemu. Mbak Rani yang lebih tua dua tahun, selalu menjadi pemandu main Aluna waktu kecil. Mereka suka main masak-masakan, pura-pura jualan, dan berdebat siapa yang harus jadi ibu-ibuan. Tapi setelah Ayah tiada, semua jadi senyap. Keluarga besar seperti menarik diri dari hidup Aluna dan ibunya. Tidak ada lagi kunjungan Lebaran, tidak ada lagi undangan ulang tahun, tidak ada lagi pesan singkat di ponsel. Seolah Aluna dan ibunya berubah menjadi kenangan yang tak penting.
Aluna berdiri di depan pagar rumah itu. Tidak berkarat seperti gerbang rumah Om Adi, tapi tetap saja ia merasa ada sesuatu yang berat di dadanya. Pintu dibuka. Seorang wanita keluar. Rambutnya diikat longgar, wajahnya tampak lebih dewasa dari terakhir kali Aluna lihat sepuluh tahun lalu. Itu Mbak Rani.
Aluna tersenyum pelan. “Hai…”
Mbak Rani tidak langsung membalas senyum itu. Wajahnya datar. Bukan marah, bukan juga senang. Hanya… datar. Seolah tak yakin bagaimana harus merespon.
“Oh… Aluna, ya?”
“Iya. Apa kabar, Mbak?”
“Baik. Kamu… dari mana aja?”
Pertanyaan itu seperti hujan yang jatuh tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tapi bukan jenis hujan yang menyegarkan, melainkan hujan yang membuat tubuh menggigil.
Aluna menunduk sebentar. “Sibuk kuliah, kerja… lalu akhirnya sekarang pulang.”
“Hm.” Mbak Rani membukakan pintu, tapi tak berkata “masuklah” seperti biasanya. Aluna pun masuk dengan langkah pelan, merasa seperti tamu yang belum tentu diinginkan.
Di dalam rumah, suasananya masih sama. Masih ada toples kaca besar yang berisi kerupuk udang, lukisan bunga matahari di dinding, dan aroma khas rumah lama yang bercampur kayu, kertas, dan sedikit nostalgia.
Tante Retno muncul dari ruang belakang. “Ya Allah, Aluna! Ini baru namanya kejutan!”
Aluna langsung dipeluk. Pelukan hangat, penuh rindu, dan tak dibuat-buat. Berbeda dari sambutan Mbak Rani yang… datar dan kaku seperti meja rapat.
Setelah beberapa obrolan ringan, Tante Retno masuk ke dapur untuk membuat teh. Aluna dan Mbak Rani duduk berdua di ruang tamu. Sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar detik demi detik, seperti menghitung jarak di antara mereka.
“Luna…” kata Mbak Rani akhirnya, “kamu datang karena Tante Retno?”
Aluna mengangguk. “Dan juga karena pengin ketemu kamu.”
Mbak Rani menatapnya dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Kenapa baru sekarang?”
Aluna diam. Lalu, dengan suara pelan, ia menjawab, “Karena butuh waktu buat memberanikan diri. Aku pikir kalian sudah lupa sama aku.”
“Bukan lupa. Tapi... semua terasa canggung setelah kejadian waktu itu.”
Waktu itu. Dua kata sederhana yang menyimpan luka besar.
“Kita sama-sama kehilangan, Rani,” kata Aluna. “Tapi kenapa kita malah saling meninggalkan?”
Mbak Rani menunduk. Jemarinya meremas ujung lengan bajunya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Setelah Om Bram meninggal, semua berubah. Keluarga jadi dingin. Semua saling salah paham. Mama bilang lebih baik nggak usah terlalu dekat biar nggak tambah sakit hati.”
“Padahal justru karena kita saling sayang, mestinya saling deket,” Aluna menjawab.
Suara air mendidih dari dapur memutus percakapan. Tante Retno datang membawa teh dan sepiring kecil pisang goreng yang tampaknya sudah akrab dengan suhu ruang. Mereka bertiga akhirnya mengobrol. Tentang pekerjaan Aluna, tentang kabar Ibu, tentang masa kecil. Tapi tetap terasa ada batas yang tidak terlihat antara Aluna dan Mbak Rani. Seperti tembok tipis dari kaca—bisa saling lihat, tapi tidak bisa benar-benar menyentuh.
Saat matahari mulai turun, Aluna pamit. Di depan pagar, ia berhenti sebentar dan menatap Mbak Rani yang mengantarnya sampai depan.
“Aku tahu mungkin hubungan kita udah nggak bisa kayak dulu. Tapi kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada. Aku pengin pulang, Rani. Pulang ke orang-orang yang pernah aku sayangi.”
Mbak Rani menatapnya lama. Kali ini, tidak sedatar tadi. Ada keraguan, ada sedikit harapan, dan entah… mungkin rasa bersalah.
“Luna, aku juga nggak tahu harus gimana. Tapi... terima kasih sudah datang.”
“Terima kasih masih membuka pintu,” jawab Aluna.
Dia melangkah pergi, payung biru bergambar doraemon itu melindungi langkahnya dari gerimis yang semakin ragu. Ia tak tahu apakah hari ini bisa disebut keberhasilan. Tapi paling tidak, ia sudah berani mengetuk lagi.
Malamnya, Aluna duduk di teras rumah sambil membawa buku catatan kecilnya. Ia menulis:
Kadang kita pulang ke wajah yang tak menyambut. Tapi jangan buru-buru pergi. Mungkin wajah itu bukan menolak, tapi bingung. Kadang luka lama membuat orang takut menyambut yang datang, bahkan jika yang datang adalah orang yang dulu dicintai. Hari ini aku belajar: tidak semua orang siap menyambut, tapi aku bisa memilih untuk tetap mengetuk dengan sabar. Sebab pulang bukan tentang diterima langsung. Tapi tentang keberanian untuk kembali, meski dengan hati yang tak sepenuhnya yakin. Ia menutup bukunya. Memandang langit malam yang bersih, seolah semesta sedang memberinya tempat untuk tenang.
Dua hari kemudian, Aluna menerima pesan WhatsApp dari nomor yang belum ia simpan:
“Luna, besok malam kamu kosong? Kalau bisa, mampir ke rumah ya. Aku pengin ngobrol lebih banyak. Maaf kalau waktu itu aku kaku. Aku juga rindu kamu, sebenarnya.”
Nama pengirimnya: Rani.
Aluna menatap layar ponselnya lama. Lalu, senyum perlahan tumbuh di bibirnya. Mungkin wajah yang tak menyambut itu hanya sedang belajar. Dan mungkin, butuh waktu. Tapi seperti semua perjalanan pulang, langkah pertama tetap yang paling berarti.