Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Ada senyum yang menyambut kita saat pulang, dan ada pula wajah datar yang membuat kita bertanya, “Masih bolehkah aku merasa ini rumah?”

Aluna tidak pernah membayangkan bahwa wajah yang tak menyambut itu justru milik seseorang yang pernah ia anggap bagian dari rumah: Mbak Rani, kakak sepupunya yang dulu begitu dekat, begitu hangat… hingga waktu membuat segalanya asing. Hari itu hujan turun tipis. Gerimis yang lebih seperti bisikan kenangan daripada hujan sungguhan. Aluna membawa payung biru bergambar doraemon—bukan miliknya, tapi punya keponakan tetangganya yang dengan polosnya meminjamkan.

Aluna sedang dalam perjalanan ke rumah Tante Retno—ibunya Mbak Rani. Rumah itu masih di kota yang sama, hanya beberapa kilometer dari rumah masa kecil Aluna. Namun, jaraknya terasa jauh karena ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Sebelum Ayah meninggal, keluarga mereka sering bertemu. Mbak Rani yang lebih tua dua tahun, selalu menjadi pemandu main Aluna waktu kecil. Mereka suka main masak-masakan, pura-pura jualan, dan berdebat siapa yang harus jadi ibu-ibuan. Tapi setelah Ayah tiada, semua jadi senyap. Keluarga besar seperti menarik diri dari hidup Aluna dan ibunya. Tidak ada lagi kunjungan Lebaran, tidak ada lagi undangan ulang tahun, tidak ada lagi pesan singkat di ponsel. Seolah Aluna dan ibunya berubah menjadi kenangan yang tak penting.

Aluna berdiri di depan pagar rumah itu. Tidak berkarat seperti gerbang rumah Om Adi, tapi tetap saja ia merasa ada sesuatu yang berat di dadanya. Pintu dibuka. Seorang wanita keluar. Rambutnya diikat longgar, wajahnya tampak lebih dewasa dari terakhir kali Aluna lihat sepuluh tahun lalu. Itu Mbak Rani.

Aluna tersenyum pelan. “Hai…”

Mbak Rani tidak langsung membalas senyum itu. Wajahnya datar. Bukan marah, bukan juga senang. Hanya… datar. Seolah tak yakin bagaimana harus merespon.

“Oh… Aluna, ya?”

“Iya. Apa kabar, Mbak?”

“Baik. Kamu… dari mana aja?”

Pertanyaan itu seperti hujan yang jatuh tiba-tiba, tanpa aba-aba. Tapi bukan jenis hujan yang menyegarkan, melainkan hujan yang membuat tubuh menggigil.

Aluna menunduk sebentar. “Sibuk kuliah, kerja… lalu akhirnya sekarang pulang.”

“Hm.” Mbak Rani membukakan pintu, tapi tak berkata “masuklah” seperti biasanya. Aluna pun masuk dengan langkah pelan, merasa seperti tamu yang belum tentu diinginkan.

Di dalam rumah, suasananya masih sama. Masih ada toples kaca besar yang berisi kerupuk udang, lukisan bunga matahari di dinding, dan aroma khas rumah lama yang bercampur kayu, kertas, dan sedikit nostalgia.

Tante Retno muncul dari ruang belakang. “Ya Allah, Aluna! Ini baru namanya kejutan!”

Aluna langsung dipeluk. Pelukan hangat, penuh rindu, dan tak dibuat-buat. Berbeda dari sambutan Mbak Rani yang… datar dan kaku seperti meja rapat.

Setelah beberapa obrolan ringan, Tante Retno masuk ke dapur untuk membuat teh. Aluna dan Mbak Rani duduk berdua di ruang tamu. Sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar detik demi detik, seperti menghitung jarak di antara mereka.

“Luna…” kata Mbak Rani akhirnya, “kamu datang karena Tante Retno?”

Aluna mengangguk. “Dan juga karena pengin ketemu kamu.”

Mbak Rani menatapnya dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Kenapa baru sekarang?”

Aluna diam. Lalu, dengan suara pelan, ia menjawab, “Karena butuh waktu buat memberanikan diri. Aku pikir kalian sudah lupa sama aku.”

“Bukan lupa. Tapi... semua terasa canggung setelah kejadian waktu itu.”

Waktu itu. Dua kata sederhana yang menyimpan luka besar.

“Kita sama-sama kehilangan, Rani,” kata Aluna. “Tapi kenapa kita malah saling meninggalkan?”

Mbak Rani menunduk. Jemarinya meremas ujung lengan bajunya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Setelah Om Bram meninggal, semua berubah. Keluarga jadi dingin. Semua saling salah paham. Mama bilang lebih baik nggak usah terlalu dekat biar nggak tambah sakit hati.”

“Padahal justru karena kita saling sayang, mestinya saling deket,” Aluna menjawab.

Suara air mendidih dari dapur memutus percakapan. Tante Retno datang membawa teh dan sepiring kecil pisang goreng yang tampaknya sudah akrab dengan suhu ruang. Mereka bertiga akhirnya mengobrol. Tentang pekerjaan Aluna, tentang kabar Ibu, tentang masa kecil. Tapi tetap terasa ada batas yang tidak terlihat antara Aluna dan Mbak Rani. Seperti tembok tipis dari kaca—bisa saling lihat, tapi tidak bisa benar-benar menyentuh.

Saat matahari mulai turun, Aluna pamit. Di depan pagar, ia berhenti sebentar dan menatap Mbak Rani yang mengantarnya sampai depan.

“Aku tahu mungkin hubungan kita udah nggak bisa kayak dulu. Tapi kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada. Aku pengin pulang, Rani. Pulang ke orang-orang yang pernah aku sayangi.”

Mbak Rani menatapnya lama. Kali ini, tidak sedatar tadi. Ada keraguan, ada sedikit harapan, dan entah… mungkin rasa bersalah.

“Luna, aku juga nggak tahu harus gimana. Tapi... terima kasih sudah datang.”

“Terima kasih masih membuka pintu,” jawab Aluna.

Dia melangkah pergi, payung biru bergambar doraemon itu melindungi langkahnya dari gerimis yang semakin ragu. Ia tak tahu apakah hari ini bisa disebut keberhasilan. Tapi paling tidak, ia sudah berani mengetuk lagi.

Malamnya, Aluna duduk di teras rumah sambil membawa buku catatan kecilnya. Ia menulis:

Kadang kita pulang ke wajah yang tak menyambut. Tapi jangan buru-buru pergi. Mungkin wajah itu bukan menolak, tapi bingung. Kadang luka lama membuat orang takut menyambut yang datang, bahkan jika yang datang adalah orang yang dulu dicintai. Hari ini aku belajar: tidak semua orang siap menyambut, tapi aku bisa memilih untuk tetap mengetuk dengan sabar. Sebab pulang bukan tentang diterima langsung. Tapi tentang keberanian untuk kembali, meski dengan hati yang tak sepenuhnya yakin. Ia menutup bukunya. Memandang langit malam yang bersih, seolah semesta sedang memberinya tempat untuk tenang.

Dua hari kemudian, Aluna menerima pesan WhatsApp dari nomor yang belum ia simpan:

“Luna, besok malam kamu kosong? Kalau bisa, mampir ke rumah ya. Aku pengin ngobrol lebih banyak. Maaf kalau waktu itu aku kaku. Aku juga rindu kamu, sebenarnya.”

Nama pengirimnya: Rani.

Aluna menatap layar ponselnya lama. Lalu, senyum perlahan tumbuh di bibirnya. Mungkin wajah yang tak menyambut itu hanya sedang belajar. Dan mungkin, butuh waktu. Tapi seperti semua perjalanan pulang, langkah pertama tetap yang paling berarti.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wilted Flower
422      318     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Hello, Kapten!
1566      765     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Not Alone
551      298     3     
Short Story
Mereka bilang rumah baruku sangat menyeramkan, seperti ada yang memantau setiap pergerakan. Padahal yang ku tahu aku hanya tinggal seorang diri. Semua terlihat biasa di mataku, namun pandanganku berubah setelah melihat dia. "seseorang yang tinggal bersamaku."
ONE SIDED LOVE
1562      694     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Arloji Antik
427      283     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
Gue Mau Hidup Lagi
444      291     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Khalisya (Matahari Sejati)
2939      981     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Perahu Jumpa
387      308     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
BigHope Company
86      79     1     
Short Story
Seharusnya, aku tahu bahwa aku dan dia tidak bisa bersama. Semesta membuatku terlalu jatuh dalam pesonanya yang bersinar layaknya cahaya di tengah-tengah kegelapan. Lantas, apakah perasaanku ini hanyalah sebuah kesalahan belaka? Apapun itu ... aku bahagia pernah menaruh rasa untukmu. Idolaku sekaligus Bosku.
AKSARA
6794      2255     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...