Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Ada gerbang yang dibuka dengan kunci. Ada pula yang cukup dengan dorongan kecil karena engselnya sudah tua dan berkarat. Tapi gerbang yang satu ini—yang ada di kepala dan hati manusia—kadang jauh lebih sulit dibuka. Gerbang kenangan, gerbang pengakuan, atau gerbang yang menandai keberanian seseorang untuk menghadapi masa lalu.Dan hari itu, Aluna berdiri tepat di depan gerbang semacam itu. Seminggu sejak kunjungan ke rumah lamanya, Aluna merasa dadanya penuh. Bukan karena sedih atau bahagia yang meluap, tapi karena ada hal-hal yang belum selesai. Ia merasa seperti seseorang yang sudah masuk ke ruang masa lalu, tapi lupa menutup pintu saat keluar. Dan angin masa lalu itu terus mengusik harinya. Sore itu, Aluna memutuskan untuk berjalan sendiri ke bagian kampung yang dulu paling ia hindari—rumah keluarga Om Adi, adik almarhum ayahnya.

Dulu, setelah ayah meninggal mendadak karena kecelakaan kerja, komunikasi keluarganya dengan Om Adi merenggang. Aluna masih kecil saat itu, tapi ia ingat suara-suara tegang, bisikan-bisikan tentang harta warisan, dan pertengkaran soal rumah orangtua. Bahkan, Ibu pernah menangis semalaman saat pulang dari pertemuan keluarga besar.

“Sudahlah, kita nggak usah ngarep apa-apa. Yang penting kamu sekolah dan bisa hidup dengan baik,” begitu kata Ibu waktu itu, dengan mata bengkak tapi suara tenang.

Tapi sekarang, saat usianya sudah 27 tahun dan hidup sudah mempertemukannya dengan banyak bentuk luka dan pemulihan, Aluna tahu: luka lama harus dirawat atau ditutup baik-baik, bukan diabaikan. Ia berhenti di depan pagar tua rumah Om Adi. Masih sama seperti yang ia ingat—berkarat, penuh sulur tanaman liar yang tumbuh tanpa kendali. Beberapa bagian gerbang bahkan tak lagi bisa digeser, seperti keras kepala yang sudah terlalu lama didiamkan.

Aluna menarik napas panjang. Tangan kirinya menyentuh besi gerbang yang dingin. Ia mengetuk pelan.

“Permisi…”

Tak ada sahutan. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

“Permisi…”

Suara langkah terdengar dari dalam rumah. Pintu kayu tua berderit, lalu seorang wanita keluar. Wajahnya agak asing, tapi sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang pernah Aluna tahu.

“Ya?”

Aluna tersenyum canggung. “Permisi… saya Aluna.”

Wanita itu menatap beberapa detik, lalu matanya melebar. “Aluna… anak Mas Bram?”

Aluna mengangguk.

“Astaga… tunggu sebentar.”

Wanita itu berbalik ke dalam. Tak lama, ia kembali bersama seorang pria yang wajahnya sudah menua tapi masih jelas mencerminkan kemiripan dengan ayahnya. Om Adi.

Mereka duduk di teras. Kursi kayu tua itu mengeluarkan suara saat diduduki. Suasana canggung awalnya, seperti dua orang yang terlalu lama tidak bicara dan lupa bagaimana memulainya.

“Sudah lama ya nggak ke sini,” kata Om Adi, pelan.

“Iya, Om. Maaf baru berani datang sekarang.”

Om Adi mengangguk, seolah memahami banyak hal dalam satu helaan napas.

“Waktu itu, semua terlalu cepat. Mas Bram meninggal… semua orang syok. Saya juga.”

Aluna menatap wajah pamannya itu. Ada kerutan di sekitar mata, dan bibirnya bergetar saat menyebut nama ayahnya.

“Saya kecil waktu itu, Om. Tapi saya tahu ada yang tidak selesai antara kita. Saya ke sini bukan untuk marah atau nuntut apa-apa. Saya cuma… ingin mengenal keluarga saya lagi.”

Om Adi menunduk. “Kami juga salah. Saya dan keluarga… terlalu sibuk dengan rasa kehilangan sampai lupa bahwa kamu dan ibumu juga kehilangan lebih besar.”

Aluna tersenyum kecil. “Saya cuma ingin tahu… apa masih ada ruang untuk bertemu sebagai keluarga?”

Mata Om Adi berkaca-kaca. Ia bangkit, masuk ke dalam rumah, lalu kembali membawa sebuah album foto besar. Ia membukanya di halaman tengah. Di sana, ada foto ayah Aluna saat muda, memeluk Aluna yang masih balita. Di sebelahnya, ada Om Adi.

“Saya simpan ini terus. Tapi saya takut nyapa kalian. Takut dianggap munafik.”

Aluna menyentuh foto itu. “Terima kasih sudah simpan. Itu cukup berarti.”

Suara jangkrik mulai terdengar dari balik semak halaman. Sore berganti senja, dan pembicaraan mereka perlahan menjadi lebih hangat. Om Adi bercerita tentang masa kecil ayah Aluna, tentang kenakalan mereka mencuri jambu tetangga, tentang bagaimana ayah Aluna dulu bercita-cita menjadi guru, tapi akhirnya memilih bekerja lebih awal demi keluarga. Aluna menyimak semua cerita itu seperti mendengar bab tambahan dari buku hidup ayahnya. Ia senang. Bahagia. Sedih juga, karena tahu cerita itu telat ia dengar. Tapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sebelum pamit, Om Adi berdiri dan berkata, “Kalau kapan-kapan kamu sempat, bawa ibumu ke sini ya. Kita makan bareng. Udah terlalu lama gerbang ini tertutup.” Aluna menatap pagar berkarat itu. Ya, terlalu lama tertutup. Tapi hari ini ia membukanya, meski dengan hati-hati dan sedikit gemetar. Dalam perjalanan pulang, Aluna berjalan lebih lambat dari biasanya. Langit mulai gelap. Tapi anehnya, hari itu tidak terasa berat. Justru seperti ada pintu baru yang terbuka.

Ia menulis di catatan kecilnya lagi:

Beberapa gerbang memang harus didorong dengan hati, bukan tangan. Dan kadang, yang berkarat bukan cuma besinya, tapi juga hubungan yang terlalu lama tidak diberi cahaya.

Sesampainya di rumah, Ibu sedang menyiram tanaman. Ia menatap Aluna dengan tatapan heran campur penasaran.

“Dari mana aja? Sore begini kok baru pulang?”

Aluna mendekat dan memeluk Ibu dari belakang. “Dari rumah Om Adi, Bu.”

Ibu diam. Tak langsung merespon. Tangannya berhenti menyiram.

“Ngapain ke sana?”

“Nyari bagian dari kita yang hilang, Bu. Dan kayaknya… saya nemu.”

Ibu menoleh, matanya mulai berkaca. “Kamu nggak apa-apa?”

Aluna mengangguk. “Nggak apa-apa. Justru merasa lebih utuh.”

Mereka berdiri di halaman kecil itu dalam diam. Tapi diam yang kali ini berbeda. Diam yang penuh rasa lega. Rasa pulang. Malamnya, Aluna membuka laptop dan mulai menulis email ke dirinya sendiri. Ia tahu, mungkin ia akan lupa momen-momen penting ini jika hanya mengandalkan ingatan. Maka ia menuliskannya:

Hari ini, aku belajar bahwa tidak semua yang berkarat harus dibuang. Ada yang bisa diperbaiki. Ada yang masih bisa dibuka, meski engselnya berderit. Asal ada niat, asal ada hati. Pulang itu bukan hanya ke rumah, tapi ke hati yang pernah luka dan kini ingin sembuh.

Aluna menutup laptopnya. Senyum kecil menghiasi wajahnya.

Gerbang masa lalu memang berkarat, tapi tidak selamanya tertutup rapat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Memoreset (Sudah Terbit)
4027      1504     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
6553      2237     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Singlelillah
1329      640     2     
Romance
Kisah perjalanan cinta seorang gadis untuk dapat menemukan pasangan halalnya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, di tinggal tanpa kabar, sampai kehilangan selamanya semua itu menjadi salah satu proses perjalanan Naflah untuk menemukan pasangan halalnya dan bahagia selamanya.
Meja Makan dan Piring Kaca
58971      8551     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Haruskah Ku Mati
53792      5973     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
Too Sassy For You
1595      721     4     
Fantasy
Sebuah kejadian di pub membuat Nabila ditarik ke masa depan dan terlibat skandal sengan artis yang sedang berada pada puncak kariernya. Sebenarnya apa alasan yang membuat Adilla ditarik ke masa depan? Apakah semua ini berhubungan dengan kematian ayahnya?
About Secret Admirer
721      446     0     
Romance
Untukmu yang bernasib sepertiku Hanya bisa menyimpan sebuah nama Selalu menyimpan rasa rindu dan cinta Namun tak bisa memiliki hati dan raganya Menyelami lautan rasa penuh luka Merajut kisah sendiri bersama puluhan rasa dalam diam Berharap dia tahu tanpa kita mengatakannya Hatinya berisik, mulutnya bungkam Selamat menikmati 😃😃 Based on true story 🌃🌃
My X Idol
16168      2544     5     
Romance
Bagaimana ya rasanya punya mantan yang ternyata seorang artis terkenal? Merasa bangga, atau harus menutupi masa lalu itu mati-matian. Seterkenal apapun Rangga, di mata Nila ia hanya mantan yang menghilang ketika lagi sayang-sayangnya. Meski bagi Rangga, Nila membuat hidupnya berwarna. Namun bagi Nila, Rangga hanya menghitam putihkan hatinya. Lalu, apa yang akan mereka ceritakan di kemudian hari d...
Hey, Limy!
1526      694     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.
NI-NA-NO
1513      706     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?