Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Ada jalan-jalan yang tidak tercantum di peta, tapi selalu tersimpan di ingatan. Jalan tanah yang becek saat hujan, jalan kecil berbatu yang dulu dilewati saat berangkat sekolah, jalan tikus yang katanya "lebih cepat" tapi justru muter-muter nggak jelas. Tapi semua itu adalah jalan menuju sesuatu yang dulu sangat berarti—rumah lama.

Dan suatu sore, Aluna memutuskan untuk melewati satu jalan itu lagi.

Hari itu, hujan baru saja reda. Matahari sore menyembul malu-malu dari balik awan, menciptakan semburat keemasan yang menari di dedaunan basah. Aluna, dengan sweater coklat tuanya, berdiri di pinggir jalan kampung, menatap jalan sempit yang dikelilingi pohon bambu tinggi di sisi kiri dan rumah-rumah tua di sisi kanan. Jalan itu bukan jalan biasa. Itu adalah jalan menuju rumah masa kecilnya. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi sejak pindah ke kota bersama keluarga ketika SMA. Rumah itu kini kosong, katanya. Hanya sesekali didatangi Pak Udin, tetangga yang dipercaya untuk merawat halaman dan memeriksa genteng bocor.

Entah kenapa, sore itu hatinya mengarah ke sana. Mungkin karena rindu tidak pernah tahu waktu. Kadang datang tanpa aba-aba. Dan kadang, satu-satunya obatnya adalah berjalan menuju kenangan yang lama tidak disentuh. Langkahnya pelan. Setiap tikungan punya cerita. Di bawah pohon mangga besar itu, dulu ia pernah jatuh dari sepeda dan menangis seharian. Di depan warung Bu Rini, ia pernah beli permen karet tiga warna yang lengketnya luar biasa. Dan di pagar rumah bercat biru, dulu ada temannya bernama Ninda yang selalu meminjamkan boneka meski hanya sebentar.

Satu per satu wajah-wajah masa kecil berkelebat di kepala Aluna. Beberapa nama masih ia ingat. Beberapa sudah kabur, hanya tersisa perasaan hangat saat mengingat mereka. Langkahnya terhenti di depan sebuah gerbang besi tua yang sudah berkarat di beberapa sisi. Di baliknya, rumah tua itu berdiri dalam diam. Jendela kayu tertutup rapat, cat tembok mulai pudar, dan halaman dipenuhi rumput liar. Tapi anehnya, rumah itu tidak tampak menyeramkan. Justru seperti seseorang yang lama tidak disapa, tapi masih menunggu dengan sabar. Aluna membuka gerbang pelan-pelan. Bunyi gesekannya masih sama seperti dulu—berderit pelan, seperti suara rumah yang menguap setelah tidur panjang.

Ia berdiri di depan pintu. Tak langsung masuk. Hanya menatap. Ada yang bergetar di dalam dadanya. Seperti bertemu teman lama yang tak tahu harus berkata apa duluan.

Lalu, ia melangkah masuk.

Ruang tamu masih sama. Kursi rotan di pojok, meski sudah berdebu, masih berdiri tegak. Meja kayu kecil dengan taplak bordir buatan Ibu. Dan dinding yang penuh bekas paku dari pigura yang dulu pernah digantung. Ia menelusuri rumah itu pelan-pelan. Setiap sudut seperti memanggilnya kembali. Di dapur, ia terdiam cukup lama. Di sini dulu ia sering menemani Ibu memasak. Tangan kecilnya membantu mengupas bawang, meski lebih sering salah. Ia ingat, ada satu sore ketika ia membakar telur karena lupa mematikan kompor. Tapi Ibu tidak marah, malah tertawa sambil berkata, “Yah, telur gosong juga bisa jadi cerita.”

Aluna tersenyum. Gosong pun jadi kenangan, rupanya.

Ia membuka pintu belakang. Angin masuk, membawa aroma rumput basah dan sisa hujan. Di halaman itu, dulu ayahnya pernah membuat ayunan dari ban bekas. Dan mereka sering duduk di situ sampai senja. Kadang bicara, kadang diam. Tapi diam di antara keluarga tidak pernah terasa canggung. Justru paling nyaman. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada satu benda di pojok ruangan belakang—sebuah koper tua. Rasanya seperti menemukan harta karun. Ia membuka kuncinya yang sudah longgar. Di dalamnya, ada baju-baju lama, surat-surat yang ditulis tangan, dan foto-foto yang sudah mulai menguning. Salah satunya adalah foto keluarganya saat Aluna masih kelas 2 SD. Mereka berdiri di depan rumah ini, dengan pose kaku tapi senyum tulus.

“Ini… rumah kita,” gumamnya.

Tangannya gemetar saat menyentuh foto itu. Begitu banyak yang berubah sejak foto itu diambil. Ayah sudah tidak ada. Ibu menua. Dan dirinya… tumbuh dengan segala luka dan pelajaran hidup. Hari mulai gelap. Tapi Aluna belum ingin pergi. Ia duduk di lantai ruang tengah, menyalakan senter ponselnya, lalu mulai menulis di buku catatannya:

Rumah ini sudah lama tidak dihuni, tapi tetap hangat. Karena bukan bangunannya yang membuatnya rumah, tapi kenangannya. Dan hari ini, aku tidak hanya kembali ke tempat tinggal, tapi ke bagian diriku yang sempat hilang.

Tiba-tiba, suara motor terdengar di luar. Seseorang memanggil.

“Aluna?”

Ia berdiri, berjalan ke luar. Pak Udin berdiri di luar pagar, terlihat terkejut sekaligus senang.

“Lho, kamu… sudah lama nggak kelihatan.”

Aluna tersenyum. “Iseng aja ke sini, Pak. Kangen rumah.”

Pak Udin mendekat. “Rumah ini kangen juga, kayaknya.”

Mereka tertawa kecil.

“Kalau mau direnovasi, bilang ya. Saya siap bantu. Sayang kalau dibiarkan lama begini.”

Aluna mengangguk. “Saya pikir-pikir dulu ya, Pak. Tapi terima kasih udah jaga rumah ini.”

“Ndak masalah. Rumah lama, kenangan lama. Tapi hati kita masih bisa baru tiap kali mengenangnya.”

Dalam perjalanan pulang, Aluna berjalan kaki. Ia ingin lebih lama meresapi udara kampung yang lembab dan menyimpan suara jangkrik. Sepanjang jalan, lampu-lampu rumah mulai menyala. Anak-anak kecil masih main petak umpet, dan ibu-ibu duduk di depan rumah sambil ngobrol. Aluna menyadari satu hal: meskipun dunia terus bergerak cepat, ada tempat yang tetap pelan. Dan justru karena itu, tempat ini bisa menyembuhkan.

Setibanya di rumah Ibu, ia langsung memeluk perempuan itu erat.

“Ibu... aku tadi ke rumah lama.”

Ibu mengelus punggungnya, lembut. “Gimana rasanya?”

“Campur aduk. Tapi… tenang, Bu.”

Ibu tersenyum. “Kadang kita memang harus menengok ke belakang, supaya bisa melangkah ke depan dengan hati yang lebih utuh.” Aluna menatap wajah Ibu yang mulai keriput. Tapi dari situ, justru tampak cerita hidup yang indah. Ia tahu, pulang bukan soal tempat. Tapi soal kembali kepada hal-hal yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya. Dan malam itu, meski tubuhnya lelah, hatinya terasa utuh kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tetesan Air langit di Gunung Palung
465      325     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Waiting
1744      1293     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Ineffable class
444      293     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
When Flowers Learn to Smile Again
2076      1340     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Meja Makan dan Piring Kaca
60491      9547     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
The One
331      224     1     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.
Antara Depok dan Jatinangor
371      252     2     
Romance
"Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai. "Iya. Terus?" tanya Maria. Kevin menyodorkan iphone-nya ke arah Maria. "Nih baca," katanya. Kementrian Dalam Negeri Institut Pemerintahan Dalam Negeri Maria terperangah beberapa detik. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN? PrajaIPDN!Kevin Ă— MahasiswiUI!Maria
Cinta Butuh Jera
2699      1456     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
I'm Growing With Pain
14911      2468     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Perjalanan Tanpa Peta
96      89     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...