Jemarimu gemetar, membekap dinginnya belati, menusuk dada tempat kepercayaan terkubur, di mana bayangmu tak henti mengejarku. (Balada Negeri Selatan, Konig Valtherin, Bab II: Pulau Nevervale dan Nyanyian Hari Lalu, hlm. 50. Sebagian teks telah diartikan dalam bahasa modern)
*****
Hari itu, Molly bangkit dari ranjangnya, cepat-cepat memakai baju dan rok. Setelah mengikat rambut emasnya dan sepatu bot setinggi lutut, ia meraih belati dari balik bantal dan menyelipkannya di balik jubah panjangnya.
"Sampai semua aman, kau tetap di sini." Ucapan Hugo semalam terngiang dalam kepalanya. Jantungnya masih terasa berat sejak semalam, tapi itu tak mengubah keputusan Molly pagi ini.
"Persetan dengan omongan Hugo. Aku punya agenda penting pagi ini." Ia menghela napas panjang sambil merapikan poninya di depan cermin. "Kalau menunggu sampai malam, mungkin rencanaku yang baru akan gagal lagi."
Kemudian, Molly menaiki kursi dan kosen jendela, sebelum akhirnya melompat ke bagian tanaman ivy yang tak jauh dari jendela kamarnya. Tanaman itu masih rapuh, tapi berkat kemampuannya, tanaman itu berhasil menebalkan sulurnya sehingga Molly dapat berpijak dan berpegangan kuat.
"Tutup kamarku," perintahnya setengah berbisik, selagi dirinya memanjat turun dengan kehati-hatian.
Satu sulur terbangun dan memanjang mendekati jendela kamar Molly. Dahannya yang kecil melingkar pada gagang jendela dan perlahan-lahan menariknya hingga benar-benar tertutup.
Molly memekik saat salah satu dahan ivy terlepas dari dinding, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Ia mengerang, berguling-guling sambil memegangi pantatnya yang lebih dulu mencium permukaan tanah.
Dia mengerti, kejadian barusan adalah akibat dari pecahnya konsentrasi atas kemampuannya memanipulasi tanaman. Perempuan berambut emas itu berdiri perlahan, masing memegangi pantatnya.
"Aku tidak punya banyak waktu," katanya, begitu mendengar bunyi lonceng pada menara jam. "Sebentar lagi subuh. Cepat-cepat, Mol!"
Molly berlari kecil, lalu mengulurkan tangannya ke atas—disambut oleh dahan pohon yang menjulur dari balik pagar rumahnya. Dengan cekatan, perempuan berambut emas itu berpegangan pada dahan tersebut dan berayun, melintasi pagar dengan lincah.
Ia mendarat dengan mulut, meski pada akhirnya harus terpeleset karena menapaki jalanan yang berlumut.
Lantas, Molly berlari ke arah selatan. Sejak kemarin sore, hujan terus mengguyur Nevervale, meskipun musim telah berganti ke musim panas. Jalanan hutan yang dilaluinya becek, meninggalkan jejak kaki yang mudah terbaca. Tapi, Molly bukan tipe yang sembrono—setiap langkahnya selalu diiringi keajaiban. Tanaman baru bermunculan di belakangnya, menutupi jejak seakan melindungi rahasianya.
Tidak ada yang berbeda semenjak sepeninggalan Agatha dan Pandia. Seluruh Neverian tampak biasa-biasa saja, masih tetap ramai, dan diselimuti keceriaan. Bahkan langit pagi terlihat lebih biru dibanding hari kemarin. Tawa dan canda masih bersahut-sahutan di sepanjang perjalanannya. Semua itu, berbeda dengan perasaan Molly yang senantiasa diselimuti mendung dan duka.
Melintasi toko tempatnya bekerja dulu, Molly ingat ketika si pemilik toko memecatnya seminggu setelah sekembalinya dari Hutan Dar. Selain karena dia absen selama sepuluh hari, perempuan berambut emas itu juga kerap kali tidak fokus dalam bekerja. Banyak yang komplain tentang kinerjanya, sehingga si bos terpaksa memecatnya.
Sejak saat itu, Molly memilih membantu Powell di pasar. Tapi, sang paman tidak tega melihatnya melakukan pekerjaan berat. Pada akhirnya, Molly harus berdiam di rumah bersama Joyce dan sesekali berlatih dengan Hugo di sore hari.
Molly menghentikan langkahnya, menoleh ke arah pusat desa yang ramai penduduk. Menggigit bibir bawahnya, perempuan berambut emas itu menahan diri untuk tak mengumpat kepada seluruh Neverian yang memiliki hidup tenang dan bahagia. Mereka menjalani hidup seolah tak ada yang berubah, seakan tak menghargai dukanya.
Ia marah, karena mereka tidak merasakan apa yang dirasakannya.
Lantas, Molly membalikkan badan dan berlari. Menjinjing roknya kuat-kuat, menggunakan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menjauh dari tempat itu. Melipir ke kompleks pemakaman yang terletak sedikit jauh.
Molly mendapatkan kedamaian di tempat ini. Anehnya, dia merasa sangat terhubung dengan alam ketika sendirian—mirip Pandia. Adiknya dulu adalah tipikal yang tidak menemukan kenyamanan di dekat orang asing, untuk itulah dia memilih bekerja di rumah duka.
Ia berhenti tepat di depan dua buah batu nisan setinggi lutut di bawah pohon dedalu yang rindang. Batu nisannya telah ditutupi oleh tanaman ivy dengan bunga-bunga merah muda. Namun, ukirannya masih bisa terbaca.
Di sebelah kanan bertuliskan: Selamanya kuat, penjaga di langit. Sekarang menjaga kami dalam kedamaian. Jonathan Edagon. 1184 EV-1220 EV.
Sedangkan di bagian kiri bertuliskan: Keibuan yang abadi. Cintamu tinggal dan hidup dalam hati kami selamanya. Marlina Edagon. 1190 EV-1220 EV.
Sebelas tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh, Powell dan Joyce menyampaikan sebuah kabar duka—orang tuanya dinyatakan meninggal tenggelam dalam kecelakaan kapal saat kembali dari Tanah Utama.
Terakhir yang diingatnya adalah Pandia yang duduk di ambang pintu menangis tersedu-sedu dalam pelukan Agatha. Sementara reaksi Molly sendiri? Entah. Yang jelas, sejak saat itu, ketiganya diasuh oleh paman dan bibi mereka. Lalu, di sinilah Molly di depan sebuah makam yang dapat dipastikan di dalamnya tidak ada tulang-tulang orang tua ketiganya.
Dulu, setiap setahun sekali menjelang musim semi, Molly bersama dua saudarinya akan berkunjung ke pemakaman dan bersama-sama membersihkan kuburan milik kedua orang tuanya. Begitu selesai, mereka akan meletakkan karangan bunga anggrek hitam di tiap batu nisan.
"Tapi sekarang mereka tidak ada," isak Molly sambil menoleh ke batu nisan Pandia. Tanahnya telah digali, peti matinya telah berada di luar dan rusak olehnya kala itu.
Lagi dan lagi, Molly jatuh ke tanah. Ia mencakar tanah di bawahnya kuat-kuat. Bahunya bergetar hebat, air mata yang sejak tadi terbendung jatuh sebesar biji padi, membasahi punggung tangannya.
"Sialan kau, Rolan." Molly terisak, kental akan amarah dan dendam. "Kenapa kau susah sekali dicari?"
Suara itu pecah di antara isakan. Kepalanya terus memutar bayangan tentang Hutan Dar, tentang Rolan. Tentang bagaimana laki-laki itu membantunya memerintah pohon-pohon, godaan-godaan itu, pertengkaran mereka, sentuhan-sentuhan yang dulu terasa unik—kini menyiksa.
"Laki-laki penipu," isaknya, menggigit bibir sampai nyaris berdarah. "Kenapa tidak ada yang mengingatmu sama sekali? Kenapa kau sulit sekali ditemukan?"
Seratus lima puluh hari.
Seratus lima puluh hari berkelana, bertanya, mencari, hanya untuk bertemu dengan kebingungan oleh orang-orang yang seharusnya mengenalnya. Tidak hanya Vince, bukan hanya kelompok penyair keliling, bahkan pemilik Kedai Anyelir Merah pun...
Tidak ada yang ingat.
Seolah Rolan tidak pernah ada.
Seolah Molly telah jatuh cinta pada seseorang yang hanya hidup dalam kepalanya.
"Seakan kau ditelan bumi, brengsek."
Tubuhnya bergetar, tercekik oleh tangis yang tak bisa ia tahan lagi. Ia memeluk dirinya sendiri, berharap ada yang bisa menenangkan, tapi udara terasa hampa. Kosong.
"Kau menangis lagi, Molly." Suara itu datang dari pohon dedalu di hadapannya. Lembut, penuh ketulusan, tapi menyakitkan.
Molly menengadah, menatap si pohon di balik kabut air mata.
"Maafkan aku," suaranya pecah. Tangannya mencengkeram dadanya, seperti ingin merobek sesuatu yang menghimpit di dalamnya. "Sakit sekali rasanya."
Dan seperti sedang berduka bersamanya, alam pun ikut merintih.
Rumput-rumput di sekelilingnya merunduk, kehilangan cahayanya. Bunga-bunga yang tadinya berdiri tegak kini merosot, layu. Tanah di bawah roknya mengering, retak, seolah mencerminkan hatinya sendiri.
Molly terisak lebih keras.
Ia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—kehilangan Rolan, atau kenyataan bahwa ia mungkin satu-satunya orang di dunia ini yang masih mengingatnya.
Dan Molly menangis pilu menyesali hari lalu, marah akan keputusannya dulu, kecewa pada orang yang dulunya sangat dipercaya olehnya, orang yang sempat membuat dadanya berdebar hebat.
"Kami ada di sini untukmu, Molly." Pohon dedalu menundukkan tubuh. Dahannya yang kokoh berayun hendak mengusap punggung Molly, tapi tiba-tiba dahan itu mengerut—energinya diserap habis oleh perempuan itu.
Pohon itu menarik napas tajam dan mengurungkan niatnya. Satu pohon dedalu yang tak jauh dari sana juga ikut terkejut, kemudian merunduk seakan merasakan kepiluan hati si Pembisik Daun. Molly akan menghisap energi alam di sekitarnya, menjadi penghancur bagi kehidupan alam dalam hitungan detik.
"Maafkan aku, Pandia. Maaf, Agatha. Aku... aku masih belum bisa membalaskan dendam kalian," tangis Molly sambil mengusap air matanya.
Saat Molly mulai menangis meraung-raung, sebuah tangan hangat dan besar menyentuh bahunya. Terasa ringan, hampir tak berasa, tapi cukup membuatnya tersentak.
"Hugo ..."
Hugo berjongkok di hadapannya. Mata sepupunya menyimpan rasa khawatir yang selama ini berusaha ia sembunyikan.
"Sudah cukup, Molly." Suara Hugo terdengar serak, seakan dirinya sendiri juga kesulitan menahan emosinya. "Kau menyiksa alam di sekitarmu."[]