Langit tak lagi biru. Freya berdiri di tengah dream land, sebuah taman bermain yang dulunya ramai serta penuh warna dan gelak tawa ceria dari anak-anak. Kini, semuanya tampak pudar, seperti kanvas yang cat warnanya sengaja disiram, mencair perlahan-lahan. Pepohonan di sekitarnya tak lagi hijau, hanya berwarna siluet abu-abu yang diam membisu. Beberapa wahana, seperti komidi putar, ayunan, perosotan, serta jungkat-jungkit, catnya mengelupas, berubah menjadi wahana dengan besi-besi yang berkarat. Udara sekitar menguap hampa, seolah aroma kehidupan pun tak mampu bertahan.
"Mereka memudar... satu per satu," bisik Vergana dari belakangnya. Suaranya pelan, tapi mengandung beban berat yang menghantam dada.
Freya menoleh. Di sudut mata mantan rajanya itu, terdapat garis-garis kelelahan, tapi juga tekad yang menebal. "Berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum semuanya lenyap?"
Vergana menghela napas. "Tidak lebih dari satu hari. Dimensi utama sedang runtuh. Dan satu-satunya jalan untuk menstabilkannya... adalah dengan menghentikan pusat anomalinya."
Freya tidak perlu bertanya siapa yang dimaksud. Dirinya sendiri.
****
Pagi itu, langit seperti lapisan cermin. Pecahan-pecahan putih terlihat menggantung, merefleksikan potongan-potongan dunia yang tak lagi utuh. Di sekolah, koridor sudah tak lagi memantulkan cahaya mentari, meskipun sedang bersinar terik. Para remaja yang lewat, tubuhnya tampak setengah transparan. Sebagian dari mereka tak menyadarinya, sebagian lagi hanya diam, menerima nasib seperti kabut yang datang tanpa suara.
Freya masuk ke ruang kelas kosong. Meja-meja masih tersusun rapi, tapi tidak lagi terasa nyata. Ia mengusap papan tulis, dan coretan lama tangannya sendiri menghilang dalam gesekan. Ia merasa seperti sedang menghapus dirinya pelan-pelan.
"Aku bisa menghentikan ini semua." Suara Vergana kembali muncul, kali ini lebih dekat. Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel abu-abu. Mata peraknya bersinar seperti rembulan redup. "Tapi kau harus pergi, Freya. Seluruh semestamu harus diserap. Kita butuh keseimbangan dan kau adalah ketidakseimbangan itu."
Freya menatapnya tak percaya. "Kau ingin aku mati?"
"Tidak mati. Menyatu. Menjadi satu dengan versi dirimu yang lain, di dimensi yang seharusnya tidak pernah bercabang."
Petang menjelang, dan dunia mulai terdengar hening secara aneh. Burung-burung tak lagi berkicau. Tidak ada lagi derap langkah. Bahkan desir angin pun seolah ditelan kebisuan.
Freya duduk di tepi danau sekolah. Danau yang kini tampak seperti genangan tinta kelabu. Raka datang dari arah belakang, dengan langkah yang pelan.
"Vergana sudah bicara padamu?" tanyanya.
Freya mengangguk. "Dia ingin aku lenyap."
Raka duduk di sampingnya. Wajahnya lebih tirus. Tatapan matanya seperti menampung badai yang sudah lelah berkelana. Namun, kali ini, cowok berpupil mata cokelat itu, tak menyangkal atau menawarkan pengganti. Ia hanya ada di sana, sebagai Raka yang Freya kenal selama ini.
"Kau tahu," gumam Freya sambil memeluk lutut, "dulu aku pikir aku bisa menyelamatkan semuanya tanpa harus kehilangan apa pun. Tapi kenyataannya, setiap tindakan malah menyisakan retakan dan merusak kestabilan. Bahkan jika niat kita tulus, tetap saja akan ada yang tak seimbang."
Raka menunduk. "Kau bukan penyebab keretakan ini, Freya. Kau hanya jantungnya. Dan jantung tidak salah hanya karena berdetak terlalu keras."
Malam tiba dengan sangat cepat. Vergana membawa Freya ke Menara Salin, sebuah tempat yang hanya muncul ketika dunia berada di ambang kehancuran. Tangga-tangganya melingkar ke langit, menuju kegelapan yang tampak seperti pintu menuju takdir.
"Di atas sana," ucap Vergana, "ada Cermin Asal. Di sana, kau akan bertemu semua versi dirimu. Kau bisa memilih, mau melebur dan menjadi satu, atau tetap bertahan dan membiarkan dunia ini memudar."
Freya menatap anak tangga pertama. "Apa yang akan terjadi pada Raka?"
Vergana ragu sejenak. "Dia akan tetap ada. Tapi kau tidak akan pernah kembali untuknya."
Langkah Freya berat, tapi setiap langkahnya seperti menciptakan gema yang bergetar merasuk ke dalam dirinya. Di dalam cermin, ia melihat dirinya sebagai anak kecil, remaja pemarah, gadis yang penuh harapan, dan wanita dengan tatapan kosong. Semua versi itu berbaris, memandangnya.
Satu versi melangkah maju. Freya dalam balutan gaun hitam, dengan mata berwarna ungu. "Kau bukan versi terbaik, Freya. Tapi kau bisa menjadi versi yang menerima segalanya. Bahkan luka-luka kita."
Freya memejamkan mata. Ia merentangkan tangan. Cahaya menyilaukan meledak dari cermin, menelan semuanya.
Saat Freya membuka mata, ia berada di tengah-tengah ruangan bernuansa putih. Semua versi dia mengelilinginya. Mereka menunduk satu per satu, lalu menyatu ke dalam tubuhnya. Dalam satu denyutan, ia menjadi berpadu. Tidak sempurna. Tapi utuh.
Vergana berdiri jauh di ambang pintu dimensi. Tangannya tampak gemetar.
"Apa yang kau lakukan...?"
Freya tersenyum kecil. "Aku tidak menghilang. Aku memilih untuk menerima semua bagian diriku, termasuk yang kau anggap gangguan."
Vergana terlihat marah. Namun, sebelum bisa berkata-kata, tubuhnya mulai retak—seperti kaca yang kehilangan pantulan. Dalam suara yang parau, ia pun berujar pelan.
"Kau tidak seharusnya bisa... karena... kau bukan Freya sejati..."
Freya menatapnya dalam-dalam. "Aku bukan satu versi Freya. Aku adalah semua versi. Aku adalah hasil dari semua keputusan, baik dan buruk. Dan karena itu, aku yang paling nyata. Sekarang, tak akan ada yang mengganggu gugat."
Vergana menghilang dalam semburan cahaya. Dunia pun perlahan-lahan mendapatkan warnanya kembali. Udara kembali menghangat. Air di dalam danau, memantulkan cahaya matahari pagi lagi.
Raka berdiri di ujung taman sekolah, memandang ke arah Freya yang berjalan perlahan ke arahnya.
"Kau kembali," gumam Raka.
Freya mengangguk. "Bukan kembali. Aku memilih untuk tetap ada."
Raka menatapnya intens. Sejenak, manik mata keduanya saling beradu tatap.
"Itu artinya ...." Raka tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Freya mengangguk, seperti dapat memahami kalimat menggantung yang hendak Raka ucapkan.
"Apa rasanya menyatukan semua versi dari dirimu?"
Freya tersenyum, lelah tapi tersirat perasaan damai dalam raut wajahnya. "Rasanya... seperti akhirnya bisa bernapas dengan lega, karena akhirnya aku berani menerima segala hal tentang diriku seutuhnya."
Saat Freya dan Raka duduk di bawah pohon yang baru tumbuh kembali, siluet bayangan mereka tampak berbeda. Bayangan Raka memanjang, perlahan berubah bentuk. Freya menoleh, dan untuk sepersekian detik, bayangan itu terlihat bukan lagi seperti Raka, melainkan sosok Vergana, dengan mata ungu yang sama seperti Freya dari masa lalu.
Raka menyadarinya juga. Ia memejamkan mata. "Sepertinya, aku juga masih menyimpan sesuatu yang bukan milikku."
Freya menatapnya lama. Dunia telah kembali, tapi bayangan masa lalu belum sepenuhnya pergi. Dan mereka tahu pasti, perjalanan panjang ini, belum sepenuhnya benar-benar berakhir.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan