Langit di atas mereka tidak lagi memancarkan warna biru cerah. Awan hitam berputar seperti pusaran, dan di bawahnya, dunia perlahan-lahan mulai retak. Retakan itu tidak hanya terlihat di tanah, tapi juga di dalam hati Freya. Dan yang lebih menakutkan, sebagian dari dirinya mulai menginginkannya.
Freya duduk sendiri di atap sekolah yang sepi, tempat yang dulu ia dan Raka kunjungi saat ingin menjauh dari hiruk-pikuk dunia yang sedang berjalan dengan kacau. Kini, tempat itu menjadi cermin dari pikirannya—sunyi, dingin, dan dipenuhi bayangan yang tak jelas arahnya.
"Apa yang sedang terjadi padaku?" bisiknya, memeluk lutut dan menatap tangan yang mulai bergetar. Terkadang, ia melihat bayangannya di cermin bergerak lebih dulu daripada dirinya. Kadangkala pula, ia merasa pikirannya berisi suara-suara yang bukan miliknya.
Seseorang datang mendekat. Langkahnya pelan, tapi mantap.
"Freya."
"Raka," bisik Freya lirih.
Freya menoleh, mencoba tersenyum, tapi ekspresinya malah semakin sendu. “Aku takut, Raka.”
Ia duduk di sampingnya, berusaha untuk tak buka suara duluan. Hanya diam, membiarkan keheningan menyatu dengan ketakutan yang tengah menguasai Freya. Akhirnya, Raka meraih jemari Freya, menggenggamnya erat-erat.
“Ketakutanmu itu nyata. Tapi kamu nggak sendirian. Ada aku, Neo, Yara, dan juga Zayn yang berjuang di jalan yang sama denganmu.”
Freya menggeleng. “Bagaimana kalau aku berubah? Kalau aku bukan lagi diriku yang sekarang? Dan aku berubah drastis, sama sekali tak mengenal kalian?”
Raka menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu berubah, kita bakal tarik kamu dan mengembalikan ingatanmu. Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha melakukan yang terbaik, mencari jalan keluarnya, meski pun berat juga sulit.”
"Apa kamu yakin semudah itu? Bahkan mengembalikan Zayn saja kita tak mampu ...," ucap Freya lirih.
"Bukan tak mampu, tapi kita belum sepenuhnya mengerahkan upaya sekuat tenaga. Pikiran kita saat ini sedang kalut, itulah salah satu penyebab kita sukar menemukan titik terang."
Sementara itu, di ruang bawah tanah markas rahasia mereka, dengan bantuan petunjuk yang ditinggalkan Nenek Raka, Neo dan Yara sedang bekerja keras merancang alat yang sangat berbeda dari peralatan yang selama ini sempat mereka buat bersama. Bukan senjata. Bukan pelindung. Namun penyeimbang identitas. Mereka berharap, dengan alat ini, Zayn bisa tersadar dari pengaruh Freya dimensi pecahan dan kembali pada mereka.
"Kita sebut ini, Cermin Inti," ujar Yara sambil menunjukkan prototipe berbentuk bulat, seukuran tangan, dengan retakan cahaya di permukaannya. "Alat ini bisa memantulkan identitas terdalam seseorang. Dengan sinyal resonansi dari teman-teman terdekatnya, dia bisa dipulihkan."
"Tapi, menurut petunjuk di sini, benda itu hanya bisa digunakan satu kali," ujar Neo, ragu.
Yara mengangguk. “Dan risikonya besar. Kalau digunakan pada seseorang yang sudah terlalu dalam terikat bayangan… identitas aslinya bisa terhapus sepenuhnya.”
"Ya ..., kita tak akan pernah tahu, sebelum benar-benar mencobanya," timpal Neo dengan nada ragu-ragu. Ia sendiri merasa tak yakin dengan keputusan mereka kali ini.
Keheningan menyelimuti ruangan. Suasana pun tiba-tiba saja berubah menjadi sangat mencekam.
****
Keesokan harinya, tim kecil mereka berkumpul. Freya dan Raka fokus menyimak penjelasan Yara serta Neo tentang alat tersebut. Mereka memusatkan perhatian pada Cermin Inti yang kini tersimpan dalam kotak pelindung.
“Gunakan ini padaku saat aku mulai hilang kendali,” katanya tegas. “Jangan ragu. Bahkan kalau aku melawan. Pokoknya, kita harus berhasil menyelamatkan Zayn.”
“Freya—” Raka ingin membantah.
“Tidak, Raka. Ini bukan soal kepercayaan. Ini tentang menyelamatkan dunia dan juga teman kita. Aku tahu betul kekuatan besar apa yang akan aku hadapi.”
Semua saling beradu tatap. Ragu. Namun, kali ini, sungguh mereka tak punya pilihan lain.
Pertarungan besar tak menunggu lama. Dari retakan langit, makhluk-makhluk dari dimensi pecahan mulai masuk ke dunia nyata. Mereka tidak memiliki bentuk yang tetap—seperti asap yang bisa berubah jadi cakar, wajah, bahkan kenangan masa lalu yang menyakitkan.
Freya berdiri paling depan. Jubahnya berkibar tertiup angin retakan dimensi. Di matanya, diselimuti berbagai bayangan. Namun, ia tak gentar. Sebab, tekadnya sudah bulat untuk satu tujuan utama saat ini, yaitu menyelamatkan Zayn, mengembalikannya dalam keadaan utuh.
“Raka, simpan alat itu. Jangan keluarkan sebelum waktunya.”
Ia mengangguk, meski hatinya bergetar. Mereka berempat bertarung menghadapi medan masing-masing. Neo dan Yara menahan gerombolan makhluk di sisi timur, Raka memasang medan pelindung, dan Freya menembus ke pusat retakan di mana bayangannya—Freya dari dimensi pecahan—menunggu.
Freya pecahan tersenyum tipis. “Akhirnya datang juga, mau menyelamatkan salah satu temanmu yang aku tawan atau memutuskan untuk bergabung denganku? Bila pilihan pertama yang kau ambil, itu artinya kau udah siap kehilangan dirimu.”
Freya tak menjawab. Namun, langkahnya tampak tegas. Pertarungan terjadi tidak hanya secara fisik. Pikiran Freya pun mulai diserang. Kenangan demi kenangan muncul, serupa kilasan memori masa lalu yang pernah dilaluinya. Saat ia gagal, saat ia ditinggal, saat ia takut. Semua itu membentuk versi dirinya yang haus kekuatan. Semakin lama, Freya merasa lelah ..., juga mulai goyah.
“Aku bisa membuat semua itu berhenti,” bisik Freya dari dimensi pecahan. “Izinkan aku mengambil alih.”
Tangannya menyentuh dahi Freya, dan seketika dunia di sekitarnya berubah. Ia tidak lagi berada di medan perang, tetapi kini, tubuhnya berada di kamar lamanya. Suasana di sana terlihat damai dan tenang. Freya, Raka, Raja Vergana yang menjelma menjadi Oom Alex di dunia nyata, dan juga Ratu Olivia tengah duduk melingkar di meja makan sembari menyantap sarapan. Sesekali mereka terdengar bercakap-cakap, sembari tertawa ceria.
"Apakah ..., ini mimpi?”
“Bukan. Itu dunia yang bisa jadi milikmu. Tinggal biarkan aku mengambil alih.”
Freya mulai melangkah, pelan, dan juga meragu. Namun, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara yang dalam serta menahan kesakitan, memanggil-manggil namanya seraya meminta pertolongan. Suara milik Zayn.
****
Di dunia nyata, tubuh Freya mulai diselimuti cahaya gelap. Raka meraih Cermin Inti.
“Sekarang!” seru Neo.
Namun, rasa ragu tergambar nyata di wajah Raka.
“Aku tahu kamu takut kehilangan dia,” bisik Yara. “Tapi kamu lebih takut kalau dia kehilangan dirinya sendiri, kan?”
"Lagi pula, kita harus menyelamatkan Zayn juga," timpal Neo.
Dengan napas berat, Raka mendekat dan menempelkan cermin Inti ke dada Freya.
Cahaya meledak. Suara tawa, tangis, jeritan—semua berhamburan keluar dari dalam diri Freya. Dunia yang tadi tenang nan damai dalam pikirannya, kini runtuh. Ratu Olivia menghilang. Raka berubah menjadi asap. Raja Vergana lenyap tersapu kabut. Dan Freya berdiri sendiri di tengah kehampaan.
“TIDAAK!!” teriaknya sembari berlutut.
Dari bayang-bayang itu, terdengar bisikan suara yang pelan dengan volume yang kecil. Namun, masih dapat tertangkap jelas di telinga Freya.
"Freya ...."
Ia menoleh. Sosok kecil tiba-tiba saja muncul. Seorang anak—versi kecil dirinya. Matanya jernih. Sorotnya menyiratkan luka, tapi juga tertanam kekuatan tersembunyi dalam dirinya.
"Kamu bukan bayangan. Kamu cahaya. Tolong, ingatlah, siapa dirimu."
Tangis Freya pun pecah. Tiba-tiba saja semua rasa sakit, segala kebencian, pelan-pelan menghilang. Ia menggenggam tangan anak itu. Cahaya putih terang menyelimuti tubuhnya. Sementara di dunia nyata, energi gelap meledak keluar dari tubuh Freya, dan tubuhnya jatuh ke pelukan Raka.
Ia tersenyum lemah. “Terima kasih .... Kamu udah membawa aku pulang.”
Raka, Neo, juga Yara kompak menunjukkan ekspresi wajah lega. Bahkan, Yara langsung menghambur memeluk tubuh lemah Freya.
"Gaes, aku di sini!" terdengar teriakan dari arah seberang.
Mereka berempat serempak celingukan, mencari-cari sumber suara teriakan tadi. Semuanya kembali menghela napas lega, ketika menyaksikan Zayn tengah terbaring telentang di trotoar.
Neo dan Yara menghambur ke pelukan Zayn. Sementara, Raka menyusul sambil memapah tubuh Freya yang masih lemas.
"Syukurlah kamu selamat," ucap Neo dengan mata berkaca-kaca.
"Aku juga mengira kalau aku bakal jadi penghuni tetap dunia dimensi pecahan." Zayn bergidik ngeri. "Terima kasih sudah membawaku pulang. Sungguh, aku rindu makan nasi padang."
Semua serempak tertawa, ketika mendengar bunyi dari perut Zayn yang keroncongan.
"Oh, ya, ini pisaumu." Teringat sesuatu, Zayn merogoh saku celana jeansnya dan mengeluarkan sebilah pisau dari dalam sana yang sempat direbutnya dari tangan Yara, saat dia terkena pengaruh Freya versi dari dimensi cermin.
"Wah, makasih, kamu udah bawa senjataku kembali." Kedua mata Freya berbinar bahagia, lalu memasukkan senjata itu ke dalam saku jubahnya.
Saat semuanya seperti terasa kembali normal, Neo menyadari sesuatu. Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya. Cermin Inti ternyata tak hancur.
"Ini tidak mungkin. Menurut buku petunjuk, cermin inti seharusnya retak setelah digunakan!" terangnya dengan mata melebar.
Keempat temannya yang lain sontak menatap ke arah cermin dengan menunjukkan ekspresi was-was.
Di dalam pantulan cermin, bukan bayangan Freya yang terlihat. Namun sosok lain juga muncul. Raka.
Kelima pasang mata terpaku. Karena dalam pantulan cermin itu, bayangan wajah Raka tampak tersenyum licik.
Cermin Inti, tanpa mereka sadari, bukan hanya sebagai alat pemulih. Namun juga, sebagai alat pengungkap kebenaran. Ketika digunakan, cermin itu tidak hanya memulihkan Freya, tapi juga menarik kegelapan dari tubuhnya ke dalam wadah atau jiwa yang paling dekat dengan diri Freya, yaitu Raka.
Kini, tanpa disadari siapa pun, bagian terdalam dari bayangan Freya hidup dalam tubuh Raka.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan