Langit di atas kepala Freya tampak berkilau ungu dan biru elektrik saat ia menapakkan kakinya di dimensi pecahan. Udara di sana tipis, seolah menyaring rasa takut dan menggantinya dengan ketegangan murni. Setiap langkahnya terasa seperti berjalan di atas kaca yang bisa pecah kapan saja.
"Ini... seperti dunia kita, tapi... hancur," gumam Freya.
Bangunan sekolah berdiri miring. Langit-langitnya penuh retakan cahaya, seperti langit yang memecah. Jalanan tempat ia biasa pulang sekolah kini dipenuhi bayangan-bayangan transparan yang hanya berdiri, mengamati. Tidak bergerak. Tidak bernapas.
Lalu suara itu terdengar.
"Akhirnya kamu datang juga."
Freya menoleh cepat. Sosok gadis itu muncul dari balik reruntuhan gedung. Wajahnya, sangat serupa dengan dia, seperti kembar identik, dengan mata yang sama. Bibir yang sama. Namun, tatapannya tajam seperti pisau.
"Apakah kamu adalah aku?"
Freya versi lainnya tersenyum miring. "Kau menyebut dirimu asli, tapi sesunnguhnya siapa yang benar-benar orisinil? Aku adalah Freya yang ditinggalkan oleh dunia yang hancur ini. Aku yang belajar bertahan di tengah kehancuran. Dan kau ..., kau adalah Freya yang pecundang. Alih-alih menghadapi semuanya, kamu malah memilih untuk kabur," gerutu sosok itu, lalu tertawa meremehkan.
Tubuh Freya menegang. "Aku tidak kabur. Aku hanya mencoba menyelamatkan dunia kami."
"Dan kau pikir dunia ini tidak layak diselamatkan?!" bentak Freya dimensi pecahan. "Kami juga punya rasa, punya harapan. Namun, kau dan teman-temanmu mengunci kekuatan yang bisa menyelamatkan dua dunia ini hanya untuk mempertahankan satu dunia. Sungguh tak adil!"
Dari balik puing-puing, sosok lain tiba-tiba saja muncul. Seorang Yara versi lainnya, bukan Yara versi di dunia nyata, salah satu teman sekelas Freya. Rambutnya lebih pendek, dengan pakaian berlapis besi ringan, dan luka yang membentuk bekas petir di pipinya.
"Freya, hati-hati," bisik sosok tiruan Freya. "Dia salah satu komandan di sini. Dia terlalu terobsesi terhadap penggabungan dimensi."
Yara versi dunia ini menyipitkan mata. "Terlalu terobsesi? Tidak. Aku hanya punya mata yang melihat jelas siapa yang harus bertahan. Dunia kalian rapuh. Kalian terlalu banyak ragu. Kami ..., kami sudah kehilangan keraguan sejak lama."
Freya merasa perutnya mual. Dunia ini tidak hanya hancur secara fisik. Para penghuninya pun kehilangan hati. Sosok Raja Vergana juga entah menghilang ke mana, tak tentu rimbanya. Meninggalkan dua dunia dalam kekacauan, tanpa kata-kata, pesan, dan tak juga memberikan solusi.
Ponsel ajaib yang selama ini menjadi perantara Freya berkomunikasi dengan sang raja pun sudah lama tak menyala. Merasa penasaran, Freya merogoh saku jubahnya, mengeluarkan benda pipih itu dari dalam sana. Dalam hatinya timbul setitik asa, berharap Raja Vergana memberinya sebuah pesan petunjuk, seperti yang kerap isang raja lakukan ketika awal-awal Freya menjalankan misi.
Namun, meski pun Freya sedari tadi menekan tombol on dengan keras, ponsel itu tak menunjukkan tanda-tanda menyala. Dalam genggamannya, benda itu terasa dingin, seolah-olah membeku, seperti pertanda lenyapnya Raja Vergana tanpa kabar. Lantas, seperti dalam adegan klip video Fake Love dari BTS yang menunjukkan scene ponsel dalam genggaman Kim Taehyung berubah menjadi debu, lalu lenyap, ponsel ajaib di tangan Freya pun hilang dalam sekejap. Benda itu perlahan-lahan berubah menjadi abu, lalu sepenuhnya lenyap dalam genggaman Freya. Abu itu beterbangan tak tentu arah tertiup angin.
Sementara itu, di dunia nyata, Raka dengan konsentrasi penuh, memusatkan perhatian ke layar hologram yang menampilkan energi dimensi pecahan yang mulai meningkat. Di sebelahnya, Zayn dan Neo sedang menyusun alat pelacak frekuensi jiwa Freya.
"Kita hanya punya waktu kurang dari 48 jam sebelum batas antara dua dimensi benar-benar lenyap," terang Zayn.
"Dan setelah itu?" tanya Neo.
"Kita tak tahu pasti. Mungkin semua akan menyatu. Mungkin justru keduanya akan runtuh bersamaan."
Raka mengepalkan tangan. "Aku harus ke sana."
Zayn menoleh tajam. "Itu namanya bunuh diri, Bro."
"Freya pergi sendirian di dunia yang membingungkan itu. Aku nggak akan biarkan dia menghadapi semuanya sendiri."
****
Sementara itu, di dimensi pecahan, Freya berjalan di samping dirinya sendiri versi dunia ini. Mereka melintasi koridor sekolah yang penuh bayangan tak bergerak. Mural-mural di dinding berisi potongan kenangan. Freya tertawa bersama Raka, Freya bermain di taman, lalu Freya menangis di atap sekolah. Ada juga bayangan Freya yang mengerjakan tugas bersama teman-temannya, Freya yang berkenalan dengan Sasmita, serta beberapa pasangan remaja yang semula menjadi targetnya. Awalnya baynagan-bayangan itu diam. Namun, saat Freya melewatinya, semua kilasan memori itu, bergerak seperti film tanpa suara.
"Kenangan ini ..., kenapa masih ada?"
Freya versi dimensi pecahan pun menjawab, "karena di sini, semua kemungkinan tetap hidup. Termasuk rasa sakit yang tidak sempat kau rasakan. Aku hidup dalam patahan waktu di mana kau memilih untuk menyerah."
Langkah mereka berhenti di sebuah aula besar. Di tengahnya, terdapat altar energi berbentuk bola berkilau merah-biru.
"Ini pusat kekuatan dimensi pecahan," ujar Freya versi dimensi pecahan. "Jika kita ingin menyatukan dua dunia, di sinilah kuncinya. Namun, jika kau ingin menyelamatkan duniamu ..., kau harus menghancurkannya."
Freya menelan saliva. Dalam benaknya bermunculan beberapa kemungkinan yang akan terjadi tergantung pilihan yang akan ia ambil. "Kalau aku hancurkan, kalian semua penghuni dunia ini akan ....?"
"Kami akan lenyap. Dan kau akan tetap menjadi pahlawan di dunia nyatamu."
Dada Freya terasa sesak. Bulir bening mulai menggenang di pelupuk matanya. Bukan hanya karena pilihan yang harus ia ambil, melainkan karena rasa sakit yang ia lihat di mata dirinya sendiri.
"Aku tak ingin kalian lenyap. Tapi aku juga tak bisa mengorbankan dunia kami."
"Maka bersatulah denganku," bujuk Freya versi dunia pecahan. "Bila kita menggabungkan kekuatan, kita bisa membuat dunia baru. Tanpa batas. Tanpa penderitaan."
Freya terdiam. Pikiran dan perasaannya benar-benar kalut. Gadis itu tak menyangka, akan dihadapkan dengan dua pilihan yang sangat berat. Keselamatan dan eksistensi dua dunia, kini ada ditangannya.
Sementara di dunia nyata, Neo akhirnya berhasil membuka portal tipis untuk mengintip keadaan Freya.
"Dia... sedang berdiri di depan pusat energi. Dan dia tampak ragu," lapornya.
Raka pun maju untuk melihat dengan lebih jelas. "Buka portalnya lebih besar. Aku akan masuk."
"Kamu akan terjebak di sana, Raka!" ujar Zayn mengingatkan
"Kalau itu satu-satunya cara untuk membawa dia pulang, aku rela." Raka melangkah menuju portal tanpa bisa dicegah, meninggalkan Zayn dan Neo yang semakin merasa khawatir.
****
Freya mengangkat tangan, bola energi mulai bergetar. Freya versi dimensi pecahan juga mengangkat tangan. Cahaya biru dan merah menyatu.
"Kita bisa membuat dunia yang tak pernah gagal mencintai kita," ujar Freya pecahan. "Bayangkan, Raka tidak akan pernah meninggalkanmu. Teman-temanmu tidak akan pernah mati. Kamu akan selalu merasa damai, tanpa ada luka juga rasa kehilangan."
Namun, sebelum mereka bersatu, cahaya oranye menerobos dari arah atas, menjeda sejenak penyatuan kekuatan di atara mereka berdua yang energinya hampir terbentuk sempurna.
"Freya!!"
Raka jatuh dari langit, tubuhnya menghantam lantai. Hidungnya sedikit mengeluarkan darah. Namun, matanya menatap lurus ke arah Freya.
"Jangan percaya janji dari rasa takutmu sendiri," katanya lemah. "Bersama kami, kamu akan selalu merasa damai. Selalu dicintai."
Freya terisak. Pelan-pelan, ia menurunkan tangannya. Bola energi pun mulai retak.
"Kenapa kamu selalu datang saat aku ingin menyerah?" tanyanya putus asa.
"Karena aku tahu kamu nggak pernah benar-benar ingin menyerah. Kamu cuma butuh seseorang untuk percaya."
Freya versi dimensi pecahan menjerit. Di sekelilingnya, energi mulai terasa naik. Dimensi pecahan merespons dengan bergetar. Tiba-tiba saja, dari altar energi, muncul potongan-potongan bayangan lain—versi lain dari semua teman mereka, termasuk Sasmita, Neo, Zayn, Yara, Raja Vergana, Ratu Olivia, serta guru-guru mereka.
"Apa ini?!" seru Freya.
Freya versi dimensi pecahan tertawa gila. "Ini bukan hanya tentangmu. Dimensi ini hidup. Dan sekarang... dia ingin hidup di dunia kalian."
Saat Freya berusaha menghentikan penggabungan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Bayangan Raka muncul di tengah altar, tapi kali ini bukan dari dimensi pecahan.
"Kamu... siapa?" tanya Raka.
Bayangan itu tersenyum. "Aku adalah bagian dari dirimu yang kamu kubur saat kamu memutuskan mencintai Freya. Aku adalah pengkhianatan yang kamu takuti. Dan sekarang... aku akan memimpin penyatuan ini."
Freya membeku. Raka pun sama. Karena mereka menyadari satu hal. Pusat dari dimensi pecahan ..., bukanlah Freya.
Melainkan ..., Raka.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan