Hutan belantara Arkha tidak seperti hutan biasa. Dedaunan mengambang, tanah menyala saat diinjak, dan burung-burung bersenandung dengan aksen British. Freya dan Raka menyusuri jalan setapak yang hanya terlihat dari sudut pandang tertentu. Itu pun hanya jika kita sedang cukup patah hati untuk melihatnya.
"Ini gila," gumam Raka sambil menepis ranting bercahaya. "Kita mengejar bayangan, di hutan yang jelas-jelas punya mood swing."
Freya tertawa pelan. "Kalau kamu menyerah, aku bisa terus sendiri. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kamu diserang tanaman yang punya trust issue."
"Please. Aku udah dilatih bertahun-tahun menghadapi Freya versi PMS. Tanaman sensitif bukan masalah."
Langkah mereka terhenti di depan sebuah reruntuhan bundar. Pilar-pilar setengah runtuh, dan di tengahnya, sebuah cermin besar berdiri tegak. Cermin itu tak memantulkan wajah mereka, melainkan kilasan masa lalu.
"Cermin Memorium," bisik Freya. "Konon hanya bisa diakses oleh darah keturunan Callindra."
Raka mengangkat alis. "Tapi kenapa kita bisa sampai sini?"
"Karena aku bukan siapa-siapa, dan tak punya jejak sejarah masa lalu. Namun, itu mungkin justru kuncinya."
Freya menyentuh cermin. Permukaannya beriak, dan cahaya biru menyelimuti mereka. Freya dan Raka tersedot ke dalam dimensi pecahan, ke ruang penuh pantulan, seperti berada di dalam prisma raksasa. Namun, setiap pantulan bukan sekadar bayangan, melainkan fragmen waktu. Sebuah fragmen menunjukkan Raka kecil sedang dilatih oleh neneknya.
"Rasakan jalinan itu, Raka. Jangan takut padanya. Cinta itu bukan kelemahan. Itu kekuatan paling purba."
Fragmen lain menunjukkan Lyra muda, berseteru dengan Raja Vergana.
"Kau tak bisa menyamaratakan cinta sebagai ancaman. Sistem Breaker ini akan menghancurkan keseimbangan dunia manusia!"
Raja Vergana, saat itu masih tampak seperti remaja idealis, menatap dengan sorot mata yang tajam. "Cinta yang membuatku hancur. Aku hanya menghapusnya sebelum menghancurkan orang lain."
Fragmen berganti. Kali ini Freya melihat dirinya sendiri. Namun, lebih tua. Lebih kuat. Dengan tatapan yang menyiratkan beban yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Jangan percaya semuanya, Freya muda. Bahkan dirimu bisa berbohong. Bahkan hatimu bisa dikendalikan."
Freya terhuyung. Raka menangkapnya sebelum ia jatuh ke lantai prisma.
"Kau melihat apa?"
"Kupikir, aku tak akan punya kenangan masa lampau. Ternyata, aku ..., baru saja aku melihat diriku yang lain. Entah dari masa depan, atau dari dimensi lain. Dia seperti sedang memperingatkanku."
"Tentang apa?"
"Tentang diriku sendiri. Tentang ..., kebohongan yang belum kuketahui."
Raka membantunya berdiri. "Mungkin kita harus berhenti mencari jawaban, dan mulai menciptakannya."
Freya mengangguk pelan. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, cermin di depan mereka terbelah. Sosok Lyra muncul, tetapi bukan Lyra yang mereka kenal. Ini adalah Lyra dari dimensi lain. Lebih muda, lebih hidup, dan dengan energi yang berbeda.
"Kalian datang lebih cepat dari yang kukira," katanya ringan, dengan senyum penuh teka-teki. "Kita tidak punya banyak waktu. Dunia kalian sedang tak stabil, bukan karena cinta, tapi karena ketakutan."
"Lyra? Kau ..., siapa sebenarnya?" tanya Freya dengan nada bergetar dan agak terbata-bata.
"Aku versi yang gagal. Tapi juga versi yang bebas. Di sini, cinta tak pernah diputuskan. Tapi karena itu, kita kehilangan kontrol. Dunia ini tercerai-berai. Namun, masih ada harapan, jika kalian bisa menggabungkan dua versi sistem, yaitu pengendalian dan kebebasan."
"Apa hubungannya dengan Raja Vergana?"
Lyra menghela napas. "Vergana Armushu yang selama ini kalian kenal berasal dari dunia ini, awalnya. Namun, ia kabur ke dimensi kalian setelah dikhianati. Cinta pertamanya memilih orang lain. Ia mencuri teknologi pengikat benang dari kami dan menciptakan Callindra. Sistem itu bukan lahir dari kebijaksanaan, melainkan dari luka."
Freya terdiam. Semua retakan mulai menyatu. Benang merah dari masa lalu, cinta yang ditolak, ketakutan terhadap kekacauan ....
"Jadi kami ini ..., eksperimen dari cinta yang gagal?" ucap Freya dengan nada bergetar seraya bergidik ngeri.
"Atau peluang kedua untuk cinta yang baru. Terserah bagaimana kalian ingin menciptakannya."
Sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut, suara retakan terdengar. Prisma dimensi mulai runtuh.
"Cepat!" seru Lyra. "Pilih satu fragmen untuk dibawa keluar! Hanya satu. Sisanya akan hilang!"
Freya dan Raka saling pandang. Di antara fragmen, terlihat satu kenangan masa depan, mereka berdiri di hadapan Raja Vergana, bukan sebagai lawan, tapi sebagai cermin dirinya. Membawa harapan.
"Itu," bisik Raka. "Kita ambil itu."
Freya menyentuh fragmen. lalu, cahaya yang menyilaukan mata pun meledak. Mereka terlempar kembali ke hutan Arkha dengan napas yang memburu.
Raka tertawa kecil. "Ya ampun. Rasanya kayak ditarik keluar dari episode drama tanpa iklan."
Freya mengangguk. "Tapi sekarang kita tahu. Kita mulai menemukan sedikit titik terang, siapa musuh sebenarnya. Dan siapa yang harus kita selamatkan."
Di langit, awan hitam bergumul, menutupi seluruh lapisan langit biru cerah. Cahaya dari Sungai Fluvia Sentis mulai naik ke atmosfer, membentuk pusaran. Tanda-tanda Heartstorm telah dimulai.
Tanpa mereka sadari, dari balik pohon, sepasang mata mengamati gerak-gerik Freya dan Raka. Bukan Vergana. Bukan pula Liora atau Lyra. Namun, sesosok Freya versi lain yang tengah tersenyum miring. Sosok "Freya masa depan" ternyata masih hidup dan berada di dimensi utama. Namun, tujuannya belum jelas. Apakah dia ingin menyelamatkan Freya atau justru sepenuhnya menggantikan posisi Freya yang sekarang?
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan