Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Call(er)
MENU
About Us  

Cinta itu seperti api, bisa menghangatkan atau malah menghancurkan. Namun, mengapa seseorang yang tak pernah pacaran sekali pun, selalu percaya bahwa semua cinta, meski pun berbahaya, pantas diselamatkan?

Sudah tiga hari berlalu, Freya masih juga belum berhasil menemukan cara yang tepat dan pas untuk mendekati target pertamanya. Lily tipikal gadis yang tertutup dan pendiam, sehingga susah baginya untuk bisa akrab dengan mudah. Salahnya, tempo hari, saat ada kesempatan mengobrol dengan Lily, Freya malah langsung membahas hal yang sangat pribadi, hingga saat berpapasan dengannya, Lily terlihat tak nyaman dan selalu menghindar. Hari demi hari yang dijalani Freya terasa monoton dan tak lagi menyenangkan. Usahanya belum juga membuahkan hasil.

Merasa bosan, Freya mengacak-acak rambut panjangnya sembari mengambil tempat duduk di bangku taman sekolah. Kedua matanya tengah fokus terpaku pada layar ponsel di tangan. Suara tawa ceria siswa-siswi yang berlalu-lalang di koridor, menjadi pengiring aktivitas Freya yang sedang berselancar di laman website. Dalam bilah pencarian, dia mulai mengetikkan kata-kata kunci, cara berteman dengan orang introvert. Layar ponselnya menampilkan beberapa buah judul artikel. Jemarinya dengan lincah berpindah dari satu judul artikel ke judul lainnya, lalu mulai serius membaca. Satu hal yang Freya garis bawahi, orang introvert cenderung tak suka keramaian. Untuk menghadapi seorang introvert, ia harus menghormati ruang personal orang tersebut, memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, serta menunjukkan minat terhadap orang tersebut. 

"Baiklah. Mulai saat ini telingaku harus terbiasa mendengar dulu curhatan Lily sebelum mencari tahu tentang kisahnya dengan Dito."

Pencarian Freya sejenak terjeda. Ponsel ajaibnya kini menampilkan daftar target yang terus bertambah. Namun, kehadiran sosok Raka Aditama yang sedang berbicara dengan beberapa siswa di seberang lapangan, membuat Freya tak sepenuhnya fokus menatap ke layar. Aura cowok itu tampak bak bintang di tengah kerumunan, menarik perhatian tanpa perlu bersusah payah bikin sensasi atau drama.

Mita yang tiba-tiba saja muncul dengan setumpuk buku di pelukannya, lalu duduk di samping Freya, membuyarkan konsentrasi gadis berambut panjang cokelat itu, hingga nyaris saja ponsel di tangannya jatuh.

"Kamu tahu, Raka itu bukan sekadar populer. Dia, tuh, kayak punya 'sentuhan ajaib'. Banyak, kok, pasangan yang sukses jadian di sekolah ini dan langggeng berkat dia," ujar Mita tersenyum kagum, menyadari tatapan gadis di sampingnya mengarah pada Raka. 

Freya menahan tawa sinisnya. "Sentuhan ajaib? Bukankah cinta seharusnya tumbuh secara alami, bukan karena campur tangan orang lain? Lalu, seiring berjalannya waktu, apakah hubungan-hubungan itu akan tetap berjalan bahagia?"

"Iya, sih." Mita menggigit bibir bawah. Dalam benaknya teringat beberapa hubungan yang semakin lama malah diwarnai pertengkaran. "Eh, tapi Raka beda. Dia seperti punya metode sendiri dalam urusan jodoh menjodohkan. Firasatnya setajam mata elang yang berburu mangsa dari langit. Dia selalu pandai mencocokkan dan paling tahu, misalnya cowok A serasi dengan cewek B. Cewek C cocoknya dengan cowok D, gitu."

"Gimana cara dia tahu, kalau pasangan-pasangan itu cocok?"

"Nah, itu dia yang aku nggak paham. Tapi hebatnya, entah kenapa semua yang dia jodohkan kebanyakan berakhir bahagia."

Freya mengalihkan pandangan ke layar ponsel yang masih menampilkan sejumlah targetnya. Lumayan banyak juga pasangan siswa-siswi yang tergolong sedang menjalani hubungan tak sehat. Saat ini perasaaanya campur aduk, antara penasaran bercampur kewaspadaan. Di balik pesona dan kepopulerannya, Raka mungkin saja dianugerahi kekuatan oleh Ratu Olivia. Entahlah, mata batin Freya tak dapat mendeteksinya. Ponsel ajaib pun, sama sekali tak memberinya petunjuk lebih tentang ini. Freya menghela napas berat. Kelihatannya, perjalanan ia dalam memecahkan misi kali ini tak akan mudah.

****

Lily tampak sedang berlari tergesa, membelah kerumunan siswi-siswi yang tengah bercengekrama di koridor. Gadis itu berusaha menghindar dari kejaran Dito. Adegan ini tak luput dari pengamatan Freya. Bergegas, ia bangkit dari bangku taman, berlari menyusul, diiringi tatapan heran Mita. Langkah Freya terhenti di dekat gedung aula. Di balik tembok aula, gadis itu mengintip, menyaksikan dengan mata kepala sendiri Dito terdengar membentak-bentak Lily.

"Elo udah mulai bertingkah, ya!" ucap Dito dengan mata memelotot. Di depan cowok itu, Lily tampak gemetaran.

"Ma ..., maaf, Dito." Nada bicara Lily terdengar terbata-bata. Wajah gadis mungil itu menunduk, menekuri tanah berumput di bawah pijakan sepatunya.

"Udah gue bilang, kan, kalau gue telepon, tuh, langsung angkat!"

"I ..., iya."

"Terus kenapa semalam nggak diangkat, hah!" Tangan Dito terangkat, hendak menampar gadis yang tersedu di depannya.

"Keterlaluan!" Dengan sigap, Freya menahan tangan cowok itu, lalu menghempaskannya dengan kasar. 

Tangis Lily pecah. Freya menatap iba wajah gadis pendiam itu. Kedua mata Lily tampak sembab. Freya mendekat seraya mengelus-elus lembut punggung Lily, berusaha meredakan tangis gadis itu. Namun, Lily menepis tangan Freya sembari menutupi wajahnya, lalu berlari meninggalkan tempat itu. Dito menatap Freya sinis, merasakan kehadiran gadis itu sangat mengganggu. Cowok jangkung itu melangkahkan kakinya ke arah yang berlawanan dengan Lily.

Saat hendak menyusul Lily, Raka tiba-tiba saja muncul, seperti bayangan yang tak terhindarkan. Freya mulai menyadari, ada sesuatu hal yang aneh. Setiap kali ia mencoba mendekati Lily, Raka selalu muncul di saat yang tak tepat. Entah bagaimana, cowok itu sepertinya selalu tahu di mana Freya berada dan apa yang hendak dilakukannya.

"Nah, Freya, gimana rasanya menjadi siswi baru?" Raka tersenyum menawan. Namun, tatapannya tamak tajam, seperti sedang menyelidik.

"A ..., aku suka di sini." jawab Freya gelagapan, seraya berbicara dengan singkat. Gadis itu berusaha menghindari percakapan serta tatapan Raka yang terlihat mengintimidasi.

"Sudah tiga hari sekolah di sini, aku perhatikan kamu jarang bergaul. Padahal, kita tinggal satu atap, tapi kamu nggak pernah bertegur sapa denganku. Kamu lebih suka mengamati, ya?" Raka menyandarkan tubuhnya ke tembok aula, tatapannya masih tajam, tetapi tak terlihat sedang menghakimi.

"Aku hanya mencoba memahami orang-orang di sekitar." Merasa tak nyaman, Freya tetap berusaha tenang, menjaga nada suaranya tetap datar, agar Raka tak menaruh curiga.

Cowok itu tersenyum kecil, seperti memahami sesuatu yang tidak diucapkan gadis di hadapannya. "Kamu tahu, aku juga suka mengamati. Kadang, aku bisa melihat lebih dari yang orang lain lihat, ya, istilahnya bisa menerawang."

Freya menegang. Kata-kata Raka seolah mengandung pesan tersembunyi. Apakah cowok itu mulai curiga? Gadis itu menelan ludah. Pikirannya berputar cepat, mencari jawaban yang masuk akal. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, apakah Raka akan menjadi ancaman atau sekutu? Jika ia berbohong, akankah Raka tetap mempercayainya?

"Aku nggak ngerti maksud kamu," jawab Freya akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. 

"Lily hanya butuh waktu. Sebentar lagi, dia pasti akan berbaikan dengan Dito. Kamu jangan coba-coba mengusik mereka." Raka berjalan mengitari Freya yang masih berdiri terpaku. 

"Dari mana dia tahu misi aku?" Wajah Freya tampak tegang.

"Cinta itu seperti tanaman. Kita harus bersabar agar akarnya tumbuh kuat."

Freya mendengkus kesal sembari menggerutu dalam hati. "Dasar cowok egois! Ini bukan soal kesabaran. Ini soal menyelamatkan seseorang dari kehancuran dan luka!"

Raka tampaknya tidak terpengaruh oleh sikap dingin Freya. Ia terus mendekat, seolah ingin menggali lebih dalam. Cowok itu tersenyum, tapi tidak seperti sebelumnya. Senyum itu terasa lebih dalam dan misterius, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. "Jangan meremehkan aku, Freya. Aku sudah melihat cukup banyak hal untuk tahu, bahwa kamu itu berbeda."

Freya tetap bergeming. Jantungnya berdegup kencang. Namun, ia tak boleh menunjukkan kelemahannya. Gadis itu mengambil langkah seribu, berusaha menghindari tatapan Raka yang seperti mengulitinya. Sementara itu, cowok berambut cokelat itu, menatap kepergian Freya dengan masih memasang senyuman misterius.

****

Freya merebahkan tubuhnya yang teramat lelah di kasur sambil menatap langit-langit kamar. Adegan di dekat aula tadi siang kembali berkelebatan. Benaknya sibuk menerka-nerka, misteri apa yang tersimpan di balik ucapan-ucapan dan sikap Raka? Apakah cowok itu juga sedang menjalankan misi? Apakah Raka sesungguhnya punya kekuatan dahsyat dan mungkin cowok itu sudah tahu tentang Freya?

Getaran ponsel di nakas, membuyarkan semua lamunan dan sejumlah tanya yang bermunculan dalam benak Freya. Dengan malas, ia bangkit dari Kasur dan meraih ponselnya. Layarnya menampilkan pesan yang tak seperti biasanya. Bukan informasi tentang target-target Freya, melainkan tentang Raka.

Hati-hati. Raka Aditama lebih dari sekadar mak comblang. Dia tahu rahasia yang seharusnya tidak diketahui.

Freya membaca pesan itu berulang kali, berusaha mencerna maksudnya. Rahasia apa yang dimaksud? Dan bagaimana Raka bisa mengetahuinya? Pesan itu benar-benar sukses membuat rasa penasarannya semakin besar. Sebagai akibatnya, Freya sampai-sampai terjaga sepanjang malam.

Keesokan harinya, Freya memutuskan untuk memantau Raka, mengesampingkan dulu upaya mengejar Lily dan Dito. Ia mengikuti cowok itu ke aula sekolah setelah jam pelajaran berakhir. Gadis itu berharap menemukan sesuatu yang mencurigakan. Bila beruntung, bisa saja dia menemukan petunjuk.

Namun, yang Freya temukan jauh lebih aneh dari yang ia duga. Di aula yang kosong, Raka tampak berdiri di tengah ruangan. Tangannya memegang sebuah buku tua dengan simbol-simbol yang tak Freya kenali.

"Aku tahu kamu ada di sana, Freya," ujar Raka tiba-tiba, tanpa menoleh sedikit pun dari buku di tangannya.

Freya menahan napas. Padahal, ia sama sekali tak bersuara. Anehnya, Raka bisa mengetahui begitu saja keberadaannya.

Raka berbalik, menatap Freya dengan senyum yang kali ini terasa berbeda. "Aku nggak tahu siapa kamu sebenarnya, dari mana kamu berasal, dan apa tujuanmu pindah ke SMA ini. Namun, satu hal yang kutahu, aura yang kamu pancarkan itu menandakan bahwa kamu bukanlah manusia biasa."

Freya merasakan darahnya berdesir. Untuk pertama kalinya sejak ia memulai misi, baru kali ini gadis itu merasa seperti target, bukan pelaku. Tatapan Raka seolah menembus semua lapisan penyamarannya. Ekspresi wajah cowok itu masih terlihat tenang. Ia terdengar menghela napas, lalu membuka buku di tangannya dan membalik halamannya. Di sana, tertera gambar yang langsung membuat Freya menegang. Sebuah simbol yang sama dengan yang muncul di ponselnya ketika ia menerima pesan peringatan tentang Raka tadi malam.

Cowok dengan pupil mata cokelat itu melangkah mendekat, menutup buku tua di tangannya dengan gerakan perlahan. "Aku penasaran, sebenarnya kamu dari mana? Atau ..., lebih tepatnya, kamu siapa?" 

Freya mundur selangkah. Setiap sel dalam tubuhnya bersiaga. Ia menatap buku yang dipegang Raka, sampulnya tua dan lusuh, dengan simbol yang sepertinya tidak berasal dari bahasa mana pun yang ia kenal. Ada sesuatu yang asing dan kuno tentang buku itu, sesuatu yang membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

"Jadi, maukah kamu memberitahuku siapa kamu sebenarnya? Dan apa tujuanmu berada di sini?" Suara cowok itu tenang, tapi penuh tekanan, membuat atmosfer di ruangan ini terasa semakin mencekam.

Freya diam terpaku, menyadari bahwa dalam menjalankan misinya kali ini, gadis itu menghadapi sebuah misteri yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. 

"Siapa sebenarnya Raka Aditama? Dan mengapa dia seolah tahu segalanya? Bukankah Raja juga bilang, Raka tak menyadari tentang kekuatannya?" gumamnya seraya bergidik ngeri.

"Freya ...."

Suara khas cowok di hadapannya, membuyarkan lamunan Freya. Gadis itu mengerjapkan mata. Setelah mulai bisa menguasai diri, ia pun kembali buka suara.

"Kamu nggak akan percaya walaupun aku memberitahumu," kata Freya akhirnya.

"Ya, we’ll see," balas Raka ringan sambil mengedipkan sebelah mata.

Freya ragu, tapi tatapan Raka tampak penuh keyakinan. Seolah cowok itu sudah tahu jawabannya dan kini Raka hanya  ingin mendengar penjelasan langsung dari mulut Freya sendiri.

"Aku..." Freya menarik napas dalam. "Aku bukan dari tempat ini. Aku punya misi. Kurasa itu bukan urusanmu karena tak ada hubungannya sama sekali denganmu."

Dahi Freya berkerut, merasa heran menyaksikan Raka yang tampak tak terkejut. Sebaliknya, cowok itu hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menduganya. Tapi kamu harus tahu satu hal, Freya. Apa pun yang kamu cari di sini, sesungguhnya kamu tak sendirian. Ada orang lain yang juga sedang mencari jawaban. Dan mungkin ..., mereka lebih cepat dari yang kamu kira."

Freya merasakan ketegangan dalam perutnya. "Maksudmu apa? Siapa 'mereka' yang kamu maksud?"

Raka menghela napas, lalu membuka buku di tangannya dan membalikkan halaman. Di sana, tertera gambar yang langsung membuat Freya menegang. Itu adalah simbol yang sama dengan yang ada di ponselnya ketika ia menerima pesan peringatan tentang Raka.

Freya menahan napas. Semua potongan teka-teki ini mulai terhubung, tetapi ia belum bisa melihat gambaran besarnya serta benang merah yang menjadi penghubungnya.

"Aku bisa membantumu," kata Raka akhirnya. "Tapi pertama-tama, kamu harus percaya padaku."

Freya tak segera menjawab. Hatinya mulai merasa ragu. Ini bisa saja hanya sebagai sebuah jebakan. Namun, ada sesuatu di mata Raka yang membuatnya sedikit yakin—bukan rasa ingin tahu biasa, tapi seolah ia juga bagian dari permainan atau sesuatu hal lain yang lebih besar.

"Baik," kata Freya akhirnya. "Tapi kalau kamu mengkhianatiku, aku tak akan ragu untuk menghentikan dan menghapus seluruh ingatanmu tentangku," ancam Freya seraya mengacungkan sebilah pisau dengan gagang besi berwarna keemasan berukiran simbol berbentuk lingkaran retak berdiameter sekitar 3 cm, terukir dalam dengan teknik aether-etching. Ukiran itu tampak sedikit menyala biru pucat saat terkena cahaya bulan atau saat digunakan Freya dalam ritual pemutusan.

Raka tertawa kecil. "Oke, deal." Raka mengulurkan tangan yang disambut Freya dengan ragu-ragu. "Sekarang, ayo kita cari tahu seberapa dalam rahasia ini sebenarnya," lanjutnya sembari menjabat tangan gadis di depannya semakin erat.

"Kami juga ikut!" 

Dari balik pintu, muncul tiga sahabat Raka yang tempo hari diceritakan oleh Sasmita, yaitu Neo, Yara, dan Zayn. Ketiganya serempak mengulurkan tangan pada Freya. Malahan, satu-satunya perempuan di lingkaran pertemanan Raka, telah menjabat tangan Freya dengan erat.

Gadis itu menelan saliva. Keraguan menyelimuti benaknya, apakah ia baru saja membuat keputusan terbaik atau terburuk dalam hidupnya. Namun, satu hal yang pasti—permainan ini baru saja dimulai dan Freya mulai merasa penasaran dengan hal besar apa yang menantinya di depan? Namun, entah mengapa, hati kecilnya mulai ragu dengan Raja Vergana Armushu.

Sementara itu, melalui layar-layar besar di dinding kerajaan, Raja Vergana tengah berdiri di tepi Fluvia Sentis, menyaksikan sungai emosi yang semakin terasa panas membara, tak mampu dikendalikan. Sejenak kedua matanya terpejam, seraya menghela napas berat. Tubuhnya berbalik dengan cepat, tak sanggup lagi menyaksikan ketidakseimbangan kondisi sungai emosi yang selama ribuan tahun ia jaga agar tetap stabil. Matanya terpaku pada layar besar di dinding. Tatapannya berubah nanar menyaksikan adegan yang membuat emosinya kian memuncak. Rahang sang raja mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat. 

"Bodoh! Betapa mudahnya kau tertipu, Freya! Kali ini, aku tak akan bermurah hati lagi! Mulai sekarang, aku tak akan memberimu banyak bantuan lagi! Dan kupastikan, kau tak akan bisa bersantai-santai di bumi sana!" Sang raja kemudian meraih ponsel yang ia gunakan selama ini untuk mengirimkan perintah pada Freya, lalu mulai mengetik.

Elen dan Ray: Segera eksekusi.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • baskarasoebrata

    Menarik sekali

    Comment on chapter World Building dan Penokohan
  • warna senja

    Sepertinya Freya sedang mengalami quarter life crisise

    Comment on chapter Prolog
  • azrilgg

    Wah, seru, nih

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Premium
Cheossarang (Complete)
22068      2000     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Bottle Up
3130      1282     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Memento Merapi
21544      2277     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Akhirnya Pacaran
612      431     5     
Short Story
Vella dan Aldi bersahabat dari kecil. Aldi sering gonta-ganti pacar, sedangkan Vella tetap setia menunggu Aldi mencintainya. \"Untuk apa pacaran kalau sahabat sudah serasa pacar?\" -Vella- \"Aku baru sadar kalau aku mencintainya.\" -Aldi-
The Bet
17393      2736     0     
Romance
Di cerita ini kalian akan bertemu dengan Aldrian Aram Calton, laki-laki yang biasa dipanggil Aram. Seperti cerita klise pada umumnya, Aram adalah laki-laki yang diidamkan satu sekolah. Tampan? Tidak perlu ditanya. Lalu kalau biasanya laki-laki yang tampan tidak pintar, berbeda dengan Aram, dia pintar. Kaya? Klise, Aram terlahir di keluarga yang kaya, bahkan tempatnya bersekolah saat ini adalah mi...
The Best I Could Think of
535      384     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
Evolvera Life
12910      3599     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
ADIKKU YANG BERNAMA EVE, JADIKAN AKU SEBAGAI MATA KE DUAMU
422      311     2     
Fantasy
Anne dan Eve terlahir prematur, dia dikutuk oleh sepupu nya. sepupu Anne tidak suka Anne dan Eve menjadi putri dan penerus Kerajaan. Begitu juga paman dan bibinya. akankah Anne dan Eve bisa mengalahkan pengkhianat kerajaan? Siapa yang menikahi Anne dan Eve?
In Her Place
1000      657     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
405      291     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...