Hidup menjelma serupa manusia ternyata lebih sulit daripada menghancurkan jiwa-jiwa yang sesat.
Usai Freya bisa menguasai diri dari keterkejutannya, dia mengantar Raja Vergana menuju pintu gerbang. Gadis itu mengedarkan pandangan, menyapu seluruh area kos-kosan. Sesungguhnya ia masih sangat kesal dengan Raja Vergana yang sepertinya sengaja menempatkan dia pada situasi sulit seperti ini. Namun, bukannya berjalan ke arah pintu gerbang, Raja Vergana malah berbelok ke lantai dua. Freya mendengkus sebal, namun terlalu malas untuk bertanya. Akhirnya, Freya hanya mengekori sang raja di belakang.
Di lantai dua, terdapat balkon kecil dengan pagar setinggi pinggang. Sepertinya dulu, ketika masih banyak penghuni tempat ini menjadi spot favorit para penghuni kos untuk mengobrol, menikmati angin sore, atau sekadar melamun. Tiupan angin malam membuat poni Freya berantakan, namun ia abaikan saja. Gadis itu tengah merasa takjub dengan pemandangan yang terhampar di depan mata dari atas sini. Pemandangan gang dan rumah-rumah sekitarnya terlihat jelas. Lampu-lampu kuning dalam gang menciptakan suasana hangat meskipun sederhana.
Freya bersyukur Raja Vergana menitipkannya di sini. Rumah kosan ini memang tidak megah, tetapi asri, nyaman, hangat, serta terasa hidup adalah kesan pertama yang dirasakan gadis itu. Ya, meski pun keberadaan Raka yang satu atap dengannya membuat gusar, tetapi masih ada Baginda ratu yang Freya yakini akan memberi warna dalam petualangannya kali ini.
"Kau kenapa? Sudah mulai betah tinggal di bumi? Kalau begitu tinggal gagalkan saja misinya," ujar Raja Vergana menyaksikan kedua mata gadis di sampingnya tampak berbinar kala memandangi langit malam bertabur bintang.
"Jangan asal menuduh, Raja! Aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk meraih kembali gelar The Best Match Breaker seantero dunia iblis sana," ujar Freya dengan nada berapi-api, sembari mengacungkan kedua tangan yang terkepal ke udara.
"Lantas, kenapa kau senyum-senyum?" Raja Vergana tersenyum sinis. Terlihat jelas pria itu meremehkan Freya dari tatapan matanya.
"Anda sengaja, kan, membuat misi aku gagal? Sampai-sampai mendekatkan penghambat aku hingga tak berjarak begini?"
"Kau ini bicara apa, Freya? Bukan aku yang mengatur ini. Toh, aku juga baru tahu hari ini, kalau si Raka itu anak angkat Mommy. Pantas, tadi kau diam saja. Biasanya kau genit kalau lihat pemuda tampan seperti aku."
"Dih, kepedean, nih, Raja. Nggak inget, apa umurnya udah ribuan tahun?" Freya mendelik sebal.
"Hati-hati, jangan sampai kau tertarik padanya dan jatuh lagi ke dalam kesalahan yang sama. Dia itu musuhmu," pesan Raja membuat Freya kembali tersadar akan rintangan yang mengadang dan lumayan berat juga menemukan solusinya.
"Lalu, aku harus bagaimana?" tanya Freya polos.
Raja Vergana memutar bola matanya, kesal. "Dasar manja! Kau putar otaklah, temukan strategi yang tepat. Best match breaker, kok, lemah begitu?"
Freya menjentikkan jari ketika terlintas sebuah ide brilian dalam benaknya. Kesempatan untuk berhasil sepertinya akan terbuka lebar untuk dia.
"Raja, nggak ada larangan, kan, aku minta bantuan Baginda ratu?"
"Kau jangan mencari-cari kesempatan dan berharap Mommy akan membantumu. Karena beliau sudah kuamanatkan untuk tak memberimu sedikit pun pertolongan. Lagi pula, kau tak dengar tadi, aku bilang kau itu menjalankan tugas, bukan hukuman. Eh, tapi sama saja, sih, kalau kubilang hukuman pun, beliau tak akan membantu."
Freya semakin cemberut. Dia sangat hafal tabiat Ratu Olivia yang super disiplin. Selama menjabat menjadi Ratu, tugas yang dibebankan kepada bawahan harus dijalankan tanpa bantuan pejabat tingkat tinggi kerajaan. Begitu pula hukuman karena sebuah kesalahan, beliau tak akan pernah memberi bantuan apalagi ampunan. Freya menghela napas berat. Belum saja dimulai, ia sudah merasa lemas.
Saat hendak buka suara, lagi-lagi Raja Vergana sudah lenyap dari samping Freya. Pria itu terlihat sudah menuruni anak tangga menuju pintu utama kosan.
"Kebiasaan, deh!" gerutu Freya kesal seraya melipat kedua tangan di dada. Di bawah sana, tampak Raja Vergana sedang membuka gerbang pintu utama.
"Raja, tunggu!" Teringat satu hal yang ingin ditanyakan sejak tadi, gadis itu bergegas turun dari balkon melalui tangga, berusaha mengejar sebelum sang raja kembali ke alamnya.
"Apa lagi, Freya? Aku harus segera pulang. Bisa kacau keadaan di sana kalau kutinggalkan terlalu lama," tunjuk Raja Vergana ke atas langit gelap.
"Boleh aku bertanya?" pinta Freya dengan napas terengah-engah.
"Kenapa nggak dari tadi, sih?" Tangan Raja Vergana terkepal dan menjitak kepala Freya.
"Maaf, lupa." Freya meringis sembari mengelus-elus kepalanya. Ia lalu menyengir melihat rajanya memelotot. Bukannya seram, ekspresi Raja Vergana malah terlihat lucu.
"Sebenarnya aku malas masuk ke dunia remaja. Kenapa Raja malah menugaskan aku di SMA?"
"Umur kau sekarang berapa?" Sang raja malah balik bertanya, membuat dahi Freya berkerut.
"117 tahun, Raja. Kenapa, sih, kayak mau bikin KTP aja?" tutur Freya.
Saat menjalankan tugas sebagai match breaker di bumi, dia sempat mengantar seorang target ke kantor Kelurahan membuat KTP dan menyaksikan prosesnya. Freya menghirup dan mengembuskan napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak saat bayangan wajah Zack menari-nari di pelupuk mata. Walau bagaimana pun, kebersamaannya yang indah dengan lelaki itu tak akan pernah lekang, tetap tersimpan dalam ingatan.
"Kau ingat, kan, setiap iblis yang melakukan kesalahan dan dihukum akan berkurang usianya sebanyak 100 tahun?"
Freya mengangguk, memang begitu siklus hidup para iblis di dunianya. Apabila berhasil dan lolos menjalani hukuman, maka usia iblis tersebut akan bertambah sebanyak jumlah yang diambil. Iblis yang tak pernah melanggar aturan akan berumur panjang, sementara iblis yang sering melakukan kesalahan, lam-lama akan berkurang umurnya, lalu lenyap, dan digantikan dengan iblis baru.
"Semakin sering melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, perlahan-lahan iblis itu akan habis masa usianya, hingga hilang selama-lamanya. Namanya tak akan pernah tercatat dalam buku sejarah dunia iblis."
Freya sejenak termenung sambil mulai menghitung usianya. "Berarti sisa umurku sekarang 17 tahun, kan?"
"Kau ini kenapa, sih, jadi lemot sejak sering turun ke bumi? Masa aturan di dunia kita, sampai lupa!"
"Maaf, Raja." Freya terkekeh, malu.
"Penempatan tugas menjalankan misi, disesuaikan dengan sisa usia. Bila masih di atas 100, kau bisa berada di antara para manusia dewasa. Itulah makanya sekarang aku menargetkan para remaja padamu sebagai buruan. Sekarang kau paham, kan?"
Freya mengangguk-angguk, mulai mengerti dan menerima alasan yang cukup masuk akal di balik misinya kali ini. Sungguh dunia ini sangat baru baginya. Dia butuh melakukan pendekatan yang berbeda dengan yang selama ini pernah dilakukannya, sebab dunia remaja saat ini, tak sesederhana zaman dulu.
“Sudah, tak usah banyak tanya! Kerahkan saja seluruh kemampuan yang kau punya agar berhasil. Karena, jika kau gagal, kau punya utang padaku sebanyak minus 83, sisa usiamu, 17 dikurangi 100. Sebagai bayarannya, kau tinggal pilih, mau aku lenyapkan atau selamanya tinggal di bumi dengan menjalani hidup yang menyedihkan?”
Freya menelan saliva. Raja memberinya dua pilihan yang cukup kejam. Tak ada cara lain, ia harus bekerja keras agar kali ini tak gagal lagi. Baru saja hendak buka suara, Raja Vergana telah benar-benar menghilang begitu saja dalam senyap.
"Tumben, pulangnya nggak pake tiupan angin, nggak kayak pas datang tadi siang." Freya tertawa. Raja Vergana memang sosok yang sulit ditebak.
****
Freya menginjakkan kaki di pelataran parkir SMA Lazuardi Mandiri untuk pertama kalinya. Sekilas, sekolah itu seperti bangunan biasa saja. Namun, Freya dapat merasakan, ada kekuatan tersembunyi di balik ruangan-ruangan dalam gedung sekolah itu. Dia sengaja berangkat lebih pagi untuk mempelajari sekitar serta menghindar dari Raka. Di sepanjang koridor, tampak siswa-siswi yang berjalan bergegas, tertawa, dan bercakap-cakap dengan penuh semangat. Gadis itu merasa seperti seekor kucing di tengah kawanan burung. Sungguh atmosfer di sini terasa sangat asing. Bukan karena takut, ia sadar diri, dirinya tidak benar-benar bagian dari mereka.
Langkahnya melambat saat ia melewati papan nama sekolah yang menjulang megah. Pandangannya melayang ke arah segerombolan siswi yang berdiri di dekat tangga masuk. Sekilas, para gadis remaja itu tampak seperti manusia biasa dan terlihat bahagia. Namun, mata batin gadis itu meyakini, di antara mereka pasti ada targetnya, remaja yang terjebak dalam toxic relationship alias hubungan tak sehat serta berusaha mati-matian menyembunyikan luka.
Mengenakan seragam putih abu-abu dengan rambut cokelat panjang yang tertata rapi, Freya menyesuaikan tas ransel di bahunya. Dia telah berlatih sepanjang malam mempersiapkan penyamarannya, bahkan mempelajari cara tersenyum ramah tanpa terkesan mencurigakan. Namun baginya, menyusup ke dalam dunia remaja tetaplah tantangan besar.
Gadis itu menatap ponsel ajaib di tangannya yang kini hanya menampilkan layar kosong. Baru saja beberapa menit di sini, Freya sudah merasa jenuh.
"Cepatlah beri aku petunjuk, sebelum aku bosan!" gerutunya.
Ponsel itu tetap bergeming. Tak ada tanda-tanda pesan masuk atau petunjuk dari Raja Vergana.
"Masa iya Raja masih tidur? Kelelahan kali, ya, kemarin turun ke bumi?" Lagi-lagi Freya mengomel seraya memandangi layar ponselnya yang masih gelap.
Sebuah suara riuh mengalihkan perhatian Freya. Seorang gadis bertubuh kecil dengan rambut yang dicat pirang terang berlari mendekatinya, tersenyum lebar seolah-olah sudah berteman lama dengannya.
"Kamu siswi baru, ya?" tanyanya dengan antusias. "Kebetulan tadi pas masuk ke ruang guru, aku sempat mencuri dengar Bu Agnes ngobrol dengan Oom-Oom tampan." Gadis itu menjelaskan melihat Freya tampak kebingungan.
"Siapa, ya, tadi nama Oom-Oomnya?" Gadis itu meletakkan telunjuk di bibir, berusaha mengingat-ingat. Tak lama kemudian, dia tampak menjentikkan jari. "Ah, iya, aku ingat, namanya Pak Alex."
Freya sedikit kaget, ternyata Raja Vergana tadi malam belum benar-benar pulang dan menyempatkan mampir ke sini. Pantas saja, sang raja belum mengiriminya petunjuk.
"Kenalin aku Sasmita, panggil aja Mita. Kita berada di kelas yang sama, XI-I. Bu Agnes, nama yang tadi aku sebut, itu wali kelas kita."
Freya menatap gadis itu sejenak sebelum menjawab. Dengan ragu-ragu, ia membalas uluran tangan gadis itu seraya menyebutkan namanya. "Freya Amalia."
"Freya? Nama yang unik. Kamu pindahan dari mana?"
Freya tampak berpikir sejenak. Dia belum mempersiapkan jawaban atas pertanyaan ini. Seharusnya ia berdiskusi dulu dengan Raja Vergana perihal kota asal, khawatir jawaban mereka berbeda.
"Dari ..., Yogyakarta," jawabnya asal, saat tiba-tiba saja muncul di benaknya nama band ternama, Sheila On 7. Freya menghela napas berat. Sebuah kenangan menyesakkan kembali menyapa. Zack dan dirinya sangat menyukai lagu-lagu dari band tersebut.
"Kalau butuh bantuan, bilang saja, ya. Aku tahu semua seluk-beluk sekolah ini!" tawar Mita dengan nada ceria.
Freya tersenyum kecil, merasa sedikit lega. Tadinya dia berniat akan banyak mempelajari tentang kota gudeg, sebagai persiapan kalau-kalau nanti banyak yang bertanya. Untung saja kenalan barunya ini tak banyak melemparkan pertanyaan seputar Yogyakarta. Bisa gawat kalau sampai hal ini terjadi. Masa first impression sebagai siswi baru, dia harus menunjukkan kelemotannya? Malu, kan? Namun, setidaknya, Freya telah membuat satu koneksi dan ia tak terlalu merasa sendiri.
Saat jam istirahat, Freya memutuskan untuk berkeliling mengitari setiap sudut SMA Lazuardi Mandiri. Hal ini ia lakukan, agar lebih mengenal lingkungan sekolah. Saat menyusuri koridor, Freya menyaksikan sekumpulan siswa yang tengah bercengkerama di dekat lapangan olahraga. Beberapa siswa juga tampak sedang asyik bermain basket. Salah satu yang tampak paling mencolok di antara para pemain basket lainnya adalah seorang siswa tampan dengan rambut hitam berantakan dan senyum percaya diri, tampak tengah mendribble bola dengan penuh semangat. Siswa yang kemarin baru saja bertemu dengan Freya. Untungnya, dia tak sekelas dengan cowok menyebalkan itu, sehingga Freya tak harus mati-matian menghindar.
Satu yang pasti, agar siswa-siswi di sini tak menaruh curiga, ia harus berpura-pura tak kenal dengan remaja cowok itu. Dengan cara seperti ini, dia bisa sekalian mencari tahu tentang siswa itu. Mulai saat ini, dia harus lebih mengakrabkan diri dengan Mita. Sebab, menurutnya, gadis ceria itu paling mudah memberikan informasi akurat dan lengkap. Tanpa diminta pun, dia akan menjelaskan segala hal dengan panjang lebar sampai ke akar-akarnya.
"Siapa itu?" tanya Freya pada Mita yang kebetulan lewat hendak menuju kantin.
"Oh, itu Raka Aditama. Dua cowok yang akrab dengannya itu, yang rambut lurus belah tengah, namanya Neo. Yang agak ikal, namanya Zayn. Terus, cewek berambut bob itu namanya Yara. Mereka sahabatan, deket banget. Ke mana-mana selalu barengan, kecuali ke toilet." Mita terkekeh, lalu menjeda sejenak ucapannya.
Kedua mata gadis itu masih terpaku pada keempat sahabat karib yang tadi diceritakannya dengan rinci. Freya pun turut mengamati keakraban Raka dengan ketiga sahabatnya yang penuh canda tawa. Sungguh suasana yang menghangatkan perasaan siapa pun yang menyaksikannya.
"Kalau kamu niat cari gebetan atau jodoh di sekolah ini, kamu bisa minta bantuan Raka. Dia terkenal banget di sini. Dia itu Mak comblang sekolah. Semua orang yang dijodohin sama dia pasti awet," lanjut Mita, memecah kesunyian yang sempat tercipta beberapa detik yang lalu.
Kemudian, ia mendekatkan mulutnya ke telinga Freya serta menutupinya dengan sebelah tangan, persis seperti pose orang-orang yang senang bergosip.
"Tapi, nih, walau banyak cewek yang suka, termasuk Yara itu, sampai detik ini belum ada satu pun yang berhasil meluluhkan hati Raka," bisik gadis itu, khawatir ucapannya terdengar oleh siswa-siswi lain yang berlalu-lalang melewati tempat mereka berdiri sekarang.
Freya mengernyit sembari mengamati Raka yang bergerak lincah mengejar bola. Sebuah pertanyaan besar muncul dalam benaknya. Setampan itu dan punya banyak fans, mengapa Raka tak tertarik punya pacar?
"Aku ke kantin dulu, ya, lapar," pamit Mita seraya memegangi perutnya. Lalu, ia berlalu meninggalkan Freya yang masih fokus memperhatikan Raka.
Saat Raka menyadari tatapan Freya, dia melangkah mendekat. "Hei, kamu yang ngekos di Mommy Oliv, kan?" tanyanya dengan nada ramah. "Tahu satu sekolah, kita berangkat bareng, ya, tadi."
Bagi kebanyakan cewek, disapa sambil disenyumin seperti itu akan membuat hati berbunga-bunga. Namun, tidak demikian reaksi yang ditunjukkan Freya. Gadis itu mendelik tak suka, lantas berjalan tergesa dengan langkah lebar, meninggalkan Raka yang termangu. Benak cowok itu dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang kian berkecamuk. Mengapa Freya bersikap demikian padanya?
****
Esok harinya, ketika mendapat tugas meresensi buku di perpustakaan, ponsel yang Freya taruh di meja pun bergetar. Freya menerima petunjuk pertama dari ponsel ajaibnya. Sebuah petunjuk pertama berisi pesan informasi detail tentang target perdana Freya muncul, disertai foto seorang gadis dengan mata sembab. Dia teringat nama gadis dalam foto itu yang dikirimkan Raja ketika hari pertama Freya dikirim ke sini sebagai gadis remaja. Lily Pratiwi, seorang siswi kelas XI-2. Freya sempat mendengar desas-desus yang santer beredar di kalangan siswi-siswi kelas XI-1 dan salah satunya dari Mita. Gadis itu memberitahukan bahwa Lily sudah lama berhubungan dengan Dito Pramudia, siswa kelas XII.
Setelah menyelesaikan tugas meresensi buku Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer, Freya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru perpustakaan, mencari keberadaan Mita. Gadis itu ingin mengorek lebih banyak informasi tentang Lily dan Dito. Freya beranjak dan melakukan gerakan kecil untuk mengusir pegal, lalu mulai mencari Mita. Ternyata, gadis itu berada di rak novel paling ujung perpustakaan dan terlihat sedang fokus membaca novel Helen dan Sukanta. Dengan langkah lebar, bergegas Freya menghampiri.
"Sudah selesai?" tanya Freya menyaksikan gadis di depannya tampak kebingungan.
Mita menggeleng. "Masih belum ketemu buku yang pas," tuturnya dengan nada lemah.
"Gampang, nanti aku bantu, tapi aku pengen kenal deket dengan Lily, butuh info tentang Dito juga."
"Beneran? Asyiik!" Mita tampak semringah. Tanpa menaruh curiga ia dengan cepat menyetujui permintaan Freya. Hal terpenting bagi Mita saat ini adalah tugasnya selesai dengan cepat sebelum bel istirahat.
Usai duduk di tempat Freya mengerjakan tugas resensi, sejumlah informasi mulai meluncur deras dari bibir Mita. Gadis itu menjelaskan bahwa Lily terkenal pendiam dan jarang bergaul. Dia menambahkan, betapa posesifnya Dito terhadap Lily. Dito sering memaksa Lily untuk menghabiskan waktu bersamanya, tanpa mencari tahu kondisi Lily apakah sedang sibuk atau tengah ada urusan. Dito bahkan melarang Lily berteman dengan orang lain selain dirinya.
Mendengar penuturan Mita, Freya merasa sangat geram. Ingin rasanya meninju wajah cowok itu hingga babak belur dan berdarah-darah. Tangan gadis itu terkepal di atas meja perpustakaan. Freya bertekad, harus segera menyelamatkan Lily dari hubungan tak sehat ini.
"Eh, tuh, Lily." Mita menyikut lengan Freya dan menunjuk dengan dagu, sosok yang baru saja masuk dan tengah mengisi buku kunjungan perpustakaan.
Mata Freya dan Mita mengikuti ke mana Lily melangkah. Freya bangkit dan memutuskan untuk langsung menemui Lily. Sementara itu, Mita sibuk menyalin draft resensi buku yang ditulis Freya ke dalam buku tugasnya.
Melihat Lily sedang duduk di perpustakaan dengan wajah ditekuk, Freya merasa iba, seolah-olah ikut menanggung beban yang sedang menimpa Lily. Padahal, sesungguhnya, Raja Vergana tak mengizinkan para iblis bawahannya menyimpan perasaan seperti ini. Apalagi terhadap target.
Saking fokus membaca, Lily tak menyadari, Freya sudah duduk dihadapannya dan sedang mengamati intens wajah lelah dan kantung mata gadis itu. Padahal masih belia, tetapi karena beban berat dari pikiran, usia Lily tampak seperti dewasa.
"Kamu Lily, kan?" Freya mulai buka suara, memecah kesunyian yang tercipta.
Lily mengangkat kepala, terlihat sedikit terkejut. "Iya. Kamu siapa?"
"Aku Freya, baru hari ini pindah ke mari. Aku cuma ingin kenalan. Kamu nggak keberatan, kan, kalau aku duduk di sini? Nggak ganggu, kan?"
Lily mengggeleng ragu. "Tentu."
Freya mulai mengobrol dengan santai, mencoba membuat Lily merasa nyaman. Namun, saat Freya mulai menyinggung tentang Dito, ekspresi Lily langsung berubah.
"Aku nggak mau bicara tentang dia!" ujarnya dengan nada tegas, lalu berdiri meninggalkan Freya. Gadis itu menggigit bibir bawah, menyadari bahwa ini tidak akan mudah. Namun, teringat dua pilihan yang ditawarkan Raja, Freya kembali tersadar, bahwa ia tak boleh menyerah. Freya mengarahkan pandangan ke luar melalui jendela perpustakaan. Gadis itu tak menyadari, dari sudut lain, sepasang mata tajam tengah mengawasi gerak-geriknya sejak tadi.
Suara bel tanda jam istirahat tiba, menbuyarkan lamunan Freya. Melalui ponsel ajaibnya, Freya mendapat perintah untuk memantau Dito lengkap dengan informasi keberadaaan siswa itu. Cowok berperawakan lebih tinggi dari Raka itu, terlihat sedang berdebat dengan Lily di sudut lapangan. Saat hendak menghampiri, Raka tiba-tiba muncul di belakang Freya.
"Kamu mencari sesuatu?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada seraya memandangi Freya dengan tatapan menyelidik.
Freya terkejut dan berbalik cepat menghadap ke arah sumber suara. Gadis berambut panjang itu merasakan hawa panas ketika dirinya beradu tatap dengan Raka.
"Nggak, kok. Cuma kebetulan lewat." Freya pura-pura beranjak dari situ dan berjalan tergesa menuju kelas. Di belakang Freya, Raka mengikuti dan berusaha menyejajarkan langkah.
"Kamu tahu, aku punya insting yang cukup tajam dan selalu tepat. Firasatku berkata, kalau kamu itu bukan siswi biasa," ujar Raka setelah dirinya berada tepat di sisi Freya.Cowok itu tersenyum misterius.
Freya membeku. Tatapan tajam Raka yang menintimidasi, membuatnya merasa seperti maling yang ketahuan mencuri.
"Kalau aku berhasil menemukan sesuatu yang menarik tentang kamu, boleh, kan, aku mengenalmu lebih dekat?" Raka tersenyum menggoda, lalu pergi meninggalkan Freya yang masih terpaku di tempat.
Freya seketika merasakan bulu kuduknya meremang. Siapa sebenarnya Raka Aditama? Mengapa ia merasa seperti sedang menghadapi musuh yang jauh lebih hebat dari yang ia bayangkan? Bahkan mata batin Raja Vergana pun, tak mampu mendeteksi kekuatan tersembunyi yang dimiliki pemuda itu.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan