Menjadi manusia ternyata jauh lebih rumit daripada yang kubayangkan. Untunglah aku bukan salah satu dari mereka.
Baru saja Freya hendak melangkah dari tempatnya terjatuh dan berniat mencari rumah kos untuk tinggal sementara, tiba-tiba saja angin berembus kencang, membawa serta dedaunan yang gugur dari pepohonan hingga melayang-layang di udara, menciptakan tarian tak beraturan sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Debu-debu beterbangan, memudar dalam pusaran angin yang menderu di sepanjang jalan. Di tengah kekacauan itu, Freya berdiri dengan rambut panjang kecokelatannya yang berombak tergerai liar, menari-nari mengikuti arah angin. Rok yang dikenakannya berkibar tak terkendali, seolah-olah mencoba melawan tarikan bumi. Tatapan Freya tajam, sedikit menyipit menahan terpaan angin, namun ada keanggunan yang terpancar di antara kegaduhan alam di sekitarnya. Telapak tangan gadis itu berusaha menutupi wajah dari terpaan angin.
Mata Freya menyipit tertimpa cahaya menyilaukan di hadapannya, bersamaan dengan semakin pelan tiupan angin di sekitar situ. Gadis itu seketika saja terkejut mendapati di depannya tiba-tiba saja berdiri sesosok pria dengan setelan jas rapi memunggunginya. Entah muncul dari mana pria misterius itu.
"Permisi, Anda sengaja, ya, menghalangi jalan saya? Atau jangan-jangan Anda Sugar Daddy yang sudah lama mengincar para gadis remaja di sekitar sini?" tuduh Freya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.
Sang pria masih bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri, dan masih dengan posisi membelakangi Freya. Pria dengan postur tubuh seperti Kim Nam Gil ini membuat rasa penasaran Freya semakin menjadi-jadi.
"Anda belum pernah melihat cewek secantik saya, ya? Sebaiknya hentikan niat menculik saya, Anda nggak akan sanggup, biaya hidup saya mahal, terutama perawatan wajah. Belum mesti ke salon buat perawatan rambut plus meni pedi."
Merasa jengah dengan rentetan ocehan Freya yang sepanjang gerbong kereta, pria itu langsung berbalik. Kini posisi mereka saling berhadapan. Menyadari siapa sosok yang muncul di depannya, kedua mata Freya membelalak. Saking terkejutnya, gadis itu sampai jatuh terduduk di rerumputan.
"Ra ..., Raja?"
Tanpa mengubah wajah, Raja Vergana menjelma serupa sosok pria tampan yang memancarkan aura keagungan dan wibawa. Derap langkah kakinya yang bersahutan dengan degup jantung Freya, seakan membuat waktu berhenti sejenak. Ia mengenakan setelan jas hitam yang terjahit sempurna, mengikuti lekuk tubuhnya yang tegap dan atletis. Di balik jasnya, ia memakai kemeja putih bersih yang rapi tanpa satu pun lipatan. Dasi hitam ramping terikat sempurna di lehernya, memberikan kesan formal namun elegan. Sepatu kulitnya yang mengilap memantulkan bayangan setiap jejak kaki yang ia lalui, menambah kesan sempurna pada penampilannya.
Raut wajah sang raja adalah perpaduan sempurna antara kelembutan dan ketegasan. Rahangnya tegas dengan sedikit janggut tipis yang terawat, memberikan kesan dewasa dan bijaksana. Kulitnya bersinar dengan kehangatan keemasan, seperti matahari yang menyentuh permukaan dunia. Rambut hitam pekatnya tersisir rapi ke belakang, memberikan kilau alami yang menambah daya tarik.
Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Sepasang mata berwarna cokelat keemasan yang memancarkan kebijaksanaan dan rasa ingin tahu yang mendalam, seolah-olah mampu menatap langsung ke dalam jiwa orang-orang di sekitarnya. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis, mencerminkan sikap ramah yang tetap menjaga jarak.
Gerakannya halus, tapi penuh percaya diri, seakan setiap langkahnya memiliki tujuan yang pasti. Raja Vergana, dengan aura magis yang melekat pada sosoknya, tampak seperti perwujudan dari keindahan yang turun dari surga. Sejenak, Freya terpana dengan visual sosok di hadapannya yang memesona, yang biasanya ia saksikan di drama-drama Korea.
Raja Vergana membungkuk, hingga wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Freya. Mendadak gadis itu gemetar ketakutan. Sepasang manik mata Raja Vergana, menatap tajam menghunjam tepat ke bola mata Freya. Gadis itu semakin ketar-ketir.
"Sugar Daddy kau bilang?" ucapnya, tenang seraya tersenyum miring.
"Ma ..., maaf Raja. Aku kira ...." Freya tak sanggup melanjutkan bicara. Lidahnya terasa kelu untuk berkata-kata.
Raja Vergana kembali berdiri tegak seraya merapikan dasi yang sedikit miring, lalu kembali fokus memandangi Freya yang masih duduk terpaku, tak beranjak dari tempatnya jatuh.
"Berdiri!" perintah sang raja.
Refleks, Freya bangkit. Kedua tangannya membersihkan rok yang kotor terkena noda tanah basah. Kemudian ia berulang kali menepuk-nepuk kedua tangan, membersihkan kotoran yang menempel di telapak tangan.
"Raja, kenapa tiba-tiba ke mari? Apa ada tindakan aku yang salah?" tanya Freya seraya bergidik ngeri, teringat perbuatannya yang sempat mengagumi foto Raka.
Dia khawatir perbuatannya itu akan tertangkap basah oleh Raja melalui monitor di dunia iblis. Baru saja hendak bicara, Freya mulai menyadari kalau sang raja sudah menghilang dari sisinya. Gadis itu tampak celingukan, mencari keberadaan Raja Vergana yang ternyata secepat kilat sudah berjalan jauh di depannya. Ia lalu buru-buru berlari menyusul, berusaha menyejajarkan langkah dengan sang raja.
Raja Vergana mendelik seraya mendengkus kesal ketika mendapati Freya sudah berjalan di sampingnya. Tatapan pria itu masih tampak tak bersahabat, hingga membuat Freya semakin ciut. Tak berani menatap balik lawan bicaranya.
"Sudah bagus aku berbaik hati. Padahal aku sibuk, tapi mau bersusah payah turun ke bumi. Kau malah lancang menuduhku!" Telunjuk Raja Vergana menuding tepat ke hidung Freya.
"Maaf."
"Kau sudah memutuskan akan tinggal di mana?"
Freya menggeleng sembari memasang wajah polos. Raja Vergana menghela napas berat, semakin merasa kesal.
"Sudah kuduga. Menyelesaikan hal sepele seperti ini saja kau tak mampu. Harus selalu aku yang turun tangan."
"Aku baru tiba beberapa menit yang lalu di sini, Raja, masih jet lag. Masih berusaha membaca situasi." Freya cemberut, mencoba membela diri. Gadis itu melipat kedua tangan di dada, hal yang selalu dilakukannya jika ia sedang emosi.
Menyadari kekesalan yang dirasakan gadis di sampingnya, tawa sang raja pun pecah. Freya mengenyitkan dahi, tak mengerti. Padahal tak ada hal konyol yang terjadi, mengapa rajanya mendadak terbahak-bahak
"Apanya yang lucu, sih?" gerutu Freya semakin sebal.
"Ingat, kau ke sini bukan untuk piknik. Gercep-lah, jangan berleha-leha. Aku hanya memberimu waktu sebentar saja untuk menyelesaikan misi ini. Jangan kau buang sia-sia, waktumu yang sedikit itu, kalau kau tak mau gagal," cecar sang raja dengan nada mengancam, membuat Freya kembali waspada.
"Aku akan membawamu ke suatu tempat. Kurasa kau akan cocok tinggal sementara di sana."
"Jangan jauh-jauh dari SMA itu, Raja. Betisku bisa membesar kalau setiap hari harus berjalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan."
"Nggak usah banyak ngeluh. Kau itu beruntung. Kalau sampai kesabaranku habis, aku akan kembali ke mode paling kejam yang akan menghancurkan iblis rendah sepertimu!" Raja Vergana memelotot, membuat Freya bungkam, tak berani melancarkan protes lagi dan hanya menuruti saja ke mana pun sang raja membawanya pergi.
****
Raja Vergana berbelok ke gang sempit, lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah. Tak mengetahui kalau sang raja akan mendadak menghentikan langkah, tubuh Freya menubruk badan tegap pria itu, hingga nyaris saja terjengkang. Untung saja dengan sigap Raja Vergana menarik tangan Freya, sehingga gadis itu pun tak jatuh. Keduanya lalu memusatkan pandangan ke sebuah bangunan rumah yang terhampar di depan mereka.
Rumah kosan itu berdiri di ujung gang sempit yang hanya cukup untuk satu motor lewat. Bangunannya terdiri dari dua lantai dengan cat tembok berwarna putih pudar, yang mulai mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan lapisan semen di bawahnya. Atapnya terbuat dari genteng tanah liat yang berlumut di sudut-sudutnya, menunjukkan usianya yang sudah cukup tua.
Di depan rumah, terdapat pagar besi sederhana yang sedikit berkarat, mengelilingi halaman kecil dengan satu pohon mangga tua yang daunnya rimbun. Beberapa pot tanaman berjejer di tepi halaman, sebagian besar berisi bunga yang tampak jarang dirawat. Di sisi lain, ada jemuran yang menggantung pakaian penghuni kosan, menambah kesan hidup di tempat itu. Pintu utama rumah kosan terbuat dari kayu cokelat tua yang sudah agak kusam, tetapi masih tampak kokoh.
"Nah, untuk sementara kau bisa tinggal di sini." Kedua mata Raja Vergana terlihat berbinar bahagia. Namun, bagi Freya mata itu tampak berkilat-kilat menyeramkan.
Raja Vergana menekan bel yang berada di sebelah pintu utama kosan. Bunyinya terdengar cukup nyaring. Suara musik bagian pembuka lagu Fire milik BTS mendadak membahana memenuhi sekitar area rumah kosan.
Dari kejauhan terdengar suara derap langkah tergesa yang semakin mendekati pintu. Freya terlihat kaget ketika sosok wanita paruh baya yang sangat ia kenal berada tepat di hadapannya. Dengan sigap, wanita itu membuka kunci gembok, menyambut hangat dan ramah kedatangan Raja Vergana dan Freya. Setelah pintu utama terbuka lebar, dia mempersilakan keduanya masuk seraya tersenyum lembut.
Sementara itu, Freya melirik sang raja, menuntut penjelasan. Raja membalasnya dengan mengangkat bahu.
"Apa Anda sudah merencanakan semua ini?" bisik Freya pelan, khawatir terdengar oleh Olivia, sang mantan ratu iblis yang memutuskan pensiun dini dan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya, Raja Vergana.
Namun, Freya benar-benar baru detik ini mengetahui kalau Ratu Olivia tinggal di Bandung dan dekat dengan SMA Lazuardi Mandiri yang menjadi target misinya. Entah Freya harus bahagia atau sedih mendapati kenyataan ini. Gadis itu sangat memahami sifat sang raja. Raja Vergana tak akan begitu saja memberikan kemudahan pada Freya dalam menjalankan misinya. Freya yakin, sang raja pada awalnya membuat semuanya terlihat mudah dulu, untuk kemudian nantinya menjerumuskan Freya pada kesulitan yang sukar dipecahkan olehnya.
Begitu masuk ke dalam, ruang tamu kecil menyambut dengan perabotan sederhana: sofa berbahan vinil yang sudah mulai retak, meja kecil dengan alas kain, dan kalender besar bergambar tujuh member BTS tergantung di dinding.
Koridor sempit dengan lantai keramik usang membawa ke deretan kamar kos yang pintunya berjajar rapi. Setiap kamar memiliki nomor yang dicat di bagian atas pintunya. Sebagian besar pintu dihiasi dengan poster atau gantungan kecil. Sepertinya milik para penghuni kosan. Di belakang rumah, terdapat dapur bersama yang kecil, dilengkapi dengan kompor gas yang tampak sering dipakai bergantian, serta rak piring sederhana yang penuh dengan gelas dan piring campur aduk.
"Sudah lama saya menantikan kedatangan kalian," ujar Ratu Olivia yang muncul dari dapur membawa nampan berisi tiga gelas jus jeruk dan aneka camilan dalam stoples-stoples kecil, lalu menaruhnya di meja. Wanita itu mengambil tempat duduk di samping Freya, sementara Raja Vergana duduk di sofa single tepat di depan mereka.
"Mommy, aku bawa Freya ke sini, karena dia sedang menjalankan tugas dariku."
"Mommy? Sejak kapan panggilan Baginda Ratu yang disematkan Raja Vergana berubah?" Freya menahan tawa, geli mendengar sebutan itu meluncur dari mulut sang raja yang terkenal kejam, tegas, dan angkuh itu. Rasanya tak cocok di indera pendengaran Freya.
Keheningan tercipta di antara mereka. Hanya terdengar suara denting gelas yang beradu dengan meja saat Raja Vergana mengangkat gelas dan meneguk sedikit minumannya, lalu menaruh kembali gelas di tangannya ke tempat semula.
"Ngomong-ngomong tugas apa yang harus Freya kerjakan sampai dia harus turun ke bumi?" tanya Ratu Olivia memecah kesunyian.
"Bukan tugas yang berat, kok, Mommy. Ujian naik tingkat sebagai match breaker."
Ratu mengangguk-angguk, sementara kekesalan Freya semakin menumpuk saja. Dia melebarkan pandangan ke arah sang raja yang berbicara dengan nada santai, sementara baginya misi ini seperti beban ribuan ton yang mengimpit tubuh mungilnya, hingga sanggup menghancurkan seluruh sendi-sendi bila gagal.
"So, Mommy, bolehkah dia tinggal di sini untuk sementara?"
"Tentu saja boleh. Biar saya nggak kesepian. Selama ini, kan, saya hanya tinggal berdua saja di sini. Saya nggak mau diribetkan lagi dengan urusan menampung banyak penghuni kos dengan berbagai macam ulahnya sampai membuat kepala saya berkonde karena pusing." Ratu Olivia mengibas-ngibaskan tangan.
Raut wajah wanita itu berubah kesal. Teringat kembali kisah yang telah dilaluinya ketika menampung sembarangan orang untuk tinggal di sini. Mereka kebanyakan tak bertanggung jawab merawat rumah ini. Bahkan ada merusak atau menghilangkan properti miliknya.
"Berdua saja? Dengan siapa? Mommy, kok, tak pernah cerita?" berondong Raja Vergana penasaran. Begitu juga dengan Freya.
"Sebentar lagi biasanya dia pulang sekolah." Ratu Olivia melirik jam dinding, lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Nah, itu dia," lanjutnya.
Ratu Olivia tampak semringah ketika pintu terbuka. Wanita itu bangkit, lalu menyambut kedatangan sosok yang dimaksud dalam obrolan tadi. Dari ruang tamu, Freya dan Raja Vergana hanya dapat meangkap siluet gelap tubuh sosok yang tertimpa cahaya mentari sore yang menerobos celah-celah daun pintu.
"Anak ganteng Mommy. Jangan dulu ganti pakaian, ada yang mau kenalan."
"Siapa, Mom? Yang mau ngekos di sini? Bukannya Mommy udah kapok, ya, nerima penghuni baru?" tanya sosok itu sambil membuka sepatu dan kaos kaki.
"Yang ini mah dijamin nggak akan bikin kesal. Mereka kenalan lama Mommy, kok."
Percakapan hangat di dekat pintu masuk itu, mendadak membuat Raja Vergana kesal. Sebagai anak tunggal, tiba-tiba saja dia merasa ingin meluapkan amarah menyaksikan keakraban ibunya dengan sosok tersebut. Walau bagaimana pun, Raja tak pernah sekali pun bermimpi punya seorang adik. Sungguh menyebalkan menyaksikan ibunya memperlihatkan perasaan manusiawi seperti itu. Kasih sayang? Sungguh, perasaan itu tak ada dalam kamusnya. Toh, ketika Ratu Olivia masih tinggal di dunia sana, ia hanya sekadar menunjukkan bakti sebagai seorang anak yang berkewajiban untuk menghormati orang tuanya saja. Tak lebih.
Menyadari raut wajah di depannya berubah, Freya tersenyum jail seraya mendekat ke samping sang raja.
"Raja cemburu, ya? Baginda Ratu tak bercerita, tahu-tahu di bumi nambah anak. Cie, yang punya adik."
"Diam kau! Jangan buat aku kesal!" Tangan kanan Raja Vergana mengepal bersiap menjitak kepala Freya yang terkikik senang menyaksikan dirinya berkutat dengan perasaaan aneh seperti ini. Saking asyiknya berdebat, keduanya tak menyadari, Ratu Olivia dan sosok itu ternyata sudah berada di hadapan mereka.
"Halo, salam kenal."
Raja Vergana dan Freya serempak menoleh ke sumber suara. Sosok lelaki remaja berseragam SMA itu mengulurkan tangan sembari memasang senyum menawan. Mereka berdua sangat terkejut ketika mengetahui siapa sosok tersebut, terutama Freya. Wajahnya mendadak pias.
"Hai, saya Alex." Raja Vergana berdiri, lalu membalas uluran tangan sosok itu. Merasa heran, dia melayangkan pandangan ke arah Freya yang masih duduk terdiam dengan ekspresi wajah yang tak dapat dibaca. Sang Raja menarik tangan gadis itu menyuruhnya berdiri.
"Ini anak saya. Rencananya mau ngekos di sini." Raja Vergana melingkarkan sebelah tangannya di bahu Freya yang masih tak bersuara. Dia meremas bahu gadis itu, memerintahkannya untuk memperkenalkan diri.
"Ha ..., hai. Aku Freya Ameyth .... Maaf, Freya Amalia." Freya membalas uluran tangan sosok teersebut. Dingin, tangan Freya tiba-tiba terasa kebas.
"Nice to meet you, Freya. Aku Raka Aditama."
Mendengar nama itu, tubuh Freya serasa membeku. Benar saja, dugaannya kini terbukti, Raja memang tak benar-benar ingin mempermudah langkahnya.
"What a perfect scenario!" gerutunya. Sungguh sial nasib Freya kali ini.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan