“Maaf, Tik, aku keburu pergi,” teleponku, saat aku sudah keluar dari kota Kebumen. Aku memutuskan pulang, setelah ketemu Alde tadi, rasanya engga nyaman. Ternyata Alde ko-as di situ.
“Ga apa, Day. Alhamdulilah ada malaikat yang membantu biaya operasi bapak, huhuhu… “ Tika terisak lagi dan lagi.
“Oh, alhamdulilah… “
“Sayangnya mereka ga tahu siapa namanya, kalau tahu, aku mau berterima kasih padanya,”
“Sudah, Tik. Dia tahu Tika sedang susah, jadi berniat membantu. Semua berkat doa Tika.”
“Iya, Day. Makasih ya udah sampai sini. Eh ngomong-ngomong, kamu sampai Kebumen sama siapa?” mampus!
“A, aku bareng sama tetangga yang mau ke Purwokerto, makanya ga bisa lama, Tik.” Elesku.
“Oh begitu, salam buat tetanggamu ya, bilangkan, Tika sangat berterima kasih.”
“Oh, iya, Tik. Nanti aku sampaikan. Semangat ya, Tik.”
“Pasti, Day.” Telepon terputus.
“Wah, Pak Yanto ini tetangga Non Dayu ya? Ya memang benar sih kita bertetangga, Non. Tapi saya ga mau ke Purwokerto lho,” Pak Yanto terkekeh.
“Ah, Pak Yanto ini, kan cuma mengarang indah.”
“Tapi saya salut sama Non. Membantu tapi misterius ya.”
“Pak, tahu sendiri, yang mereka tahu, saya ini anak pemilik bengkel kecil di Ungaran.”
“Bener ya, Non. Tapi bengkelnya bengkel pesawat, di Jerman lagi,” Pak Yanto nyengir.
“Ah Pak Yanto, itu rahasia,”
Pak Yanto malah geleng kepala. “Biasanya orang-orang itu gemar pamer kekayaan, Non. Lha Non malah dirahasiakan.”
“Bukan maksud merahasiakan, Pak. Tapi Pak Yanto tahu sendiri gimana cerita dulu,”
“Yang dulu sudahan saja, Non. Jangan dipikir lagi. Toh sudah selesai kan.”
“Ya, iya sih, Pak. Cuma saya nyaman dengan posisi sekarang. Mereka memandang saya, karena saya Dayu. Bukan karena saya cucu Kakek.”
Pak Yanto manggut-manggut.
“Iya, saya ngerti, Non. Tapi selamanya juga ga bisa ditutupi begitu, Non. Pasti ada waktunya semua akan tahu juga.”
Bayangan tatapan datar Alde tadi tiba-tiba membuatku mulas.
>.<
Aku menatap langit-langit kamarku. Sudah sejam dua jam yang lalu aku masuk kamar, berpamitan untuk tidur, setelah perjalanan jauh dari Kebumen. Tadi terasa lelah sekali, sekarang rasa itu menguap entah kemana. Letih yang tadi nempel di punggungku, terasa menghilang tanpa bekas. Kemana mereka?
Semua tergantikan dengan bayangan Alde tadi. Membuat perut jungkir balik. Badan panas dingin seketika.
Aku harus mulai berpikir positif. Bisa saja dia berpikir aku hanya membayarkan, dengan uang orang lain. Bisa saja dia pikir, aku tak akan mampu membuka dompet untuk empat puluh dua juta itu.
Tapi dia dekat dengan Rony, sudah barang tentu Rony memberitahunya soal latar belakangku. Yang tentu saja aku karang indah.
Aduh, sudah, ga perlu diambil pusing. Biarkan saja si Alde itu. Toh dia juga jauh di Kebumen sana. Aku dengar Ko-as makan waktu lama. Semoga dia ga ingat apapun. Aminn.
>.<
Aku masih menggaruk-garuk rambutku, saat pintu kamar diketuk. Jam berapa ini?
“Non, Non Dayu,” suara Mbok Jum terdengar.
Aku berusaha memicingkan mata. Jam enam lewat lima. “Yaaa, Mbok,” jawabku. Berusaha menyingkirkan selimut dan bangkit dari tempat tidur. “Kenapa, Mbok?” akhirnya aku bisa membuka pintu juga.
Mbok Jum cepat mendekat dengan muka waspada. Kemudian, dengan menggunakan tangan seperti corong, Mbok Jum berbisik. “Ada tamu, Non.”
Tamu? “Siapa, Mbok? Aku ga punya tamu. Tamunya Kakek mungkin.” Silaunya matahari yang sudah masuk ke ruang tengah, membuatku mengejapkan mata.
“Bukan, tamunya Non Dayu. Kata Kakek, Mbok suruh bangunin Non,”
Alarm di otakku berdering. Kakek suruh bangunin?
Tak sampai sepuluh menit, aku sudah siap menerima tamu yang Kakek katakan. Siapa?
Aku termangu. Tepatnya bertatapan dengan sepasang mata. Mata yang sudah lama sekali aku lupa. Ia disana dengan seorang pria tambun setengah baya.
“Dayu, kemari,” Kakek melambai. Mau tak mau, aku melangkah juga mendekat. Duduk disamping Kakek. “Ini Pak Budiman, Bapak Alena. Beliau ingin bertemu dengan Dayu.”
“Saya, atas nama Alena, meminta maaf yang sebesar-besarnya untuk kesalahan yang diperbuat Alena. Lima tahun yang lalu. Mungkin sudah lama, tapi saya tetap kemari. Hanya ingin mendengar pengampunan dari Mbak Dayu.” Pipinya memerah, hidungnya kembang kempis mengutarakan kalimat panjang tadi. Peluh mengalir di dahinya. Aku sudah sering mendengar dari Kakek, bahwa mereka sering kemari, hanya untuk bertemu denganku. Tapi tak pernah bertemu. Baru kali ini berkesempatan bertatap muka.
Aku memandangi wajah angkuh Alena. Masih tetap sama, walau sekarang sudah beranjak dewasa. Aku yakin, kelakuannya tak banyak berubah.
Kulihat sikut Pak Budi bergerak kearah Alena berulang-ulang. Semacam kode. Dengan enggan, ia mulai membuka mulutnya.
“Aku… minta maaf, Dayu.” Matanya turun ke bawah, tak menatapku seperti tadi. Aku tahu, dia bukan orang yang tulus.
“Iya, Alena. Aku sudah maafkan.” Demi Kakek yang sudah terlalu banyak memikirkan aku, aku mengatakannya.
“Terima kasih sekali, Mbak Dayu.” Aku hampir melihat air mata diujung mata Pak Budi. Sedang Alena membuang muka.
Sesungguhnya, aku tak pernah bisa melupakan semua perlakuan Alena. Semua masih membayang sampai sekarang. Terasa sekali ingatan itu masih kemarin.
>.<
“Non ga apa-apa?” Mbok Jum mengangsurkan jahe hangat kesukaanku, dihadapanku.
Aku berusaha tersenyum, “Iya, gapapa, Mbok.”
KLEK. Pintu kamar Kakek terbuka. Kakek keluar dengan pakaian santai tapi rapi. “Kakek mau main golf dengan pak Lukas dari Sinar Grup. Mau ikut?” Kakek duduk didepanku.
Aku menggeleng. “Dayu di rumah aja. Main paling ke Celosia, nanti sama Hanum.”
“Naik apa?”
“Motor,”
Mata Kakek memicing, “Motornya siapa? Kakek ga pernah punya barang membahayakan seperti itu,” Kakek selalu menganggap motor itu sumber sangat membahayakan. Jadi aku pun tak pernah mengenal motor.
“Motor Hanum.”
Kakek menghela nafas. “Biar diantar Pak Yanto.”
“Kakekkkk, aku gapapa naik motor, di Jogja juga naik motor. Walau aku cuma bonceng.” Protesku.
“Itu di Jogja, Dayu. Kamu lupa, disini area Kakek.” Penekanan kalimat Kakek dalam.
Oke, fine. “Baik, Kek.”
“Bagus, nanti biar sopir Pak Lukas yang jemput Kakek.” Kakek mengangkat ponselnya, setelah mengetikkan sesuatu. Bangkit kearah ruang tamu untuk berbicara.
Mbok Jum memandangiku maklum.
“Kakek Non agak ketat ya, tapi semua demi Non.“
“Iya, Mbok. Aku tahu. Cuma, rasanya terlalu ketat. Kenapa pula dengan keselamatanku. Aku baik-baik saja.”
“Non, cuma Non Dayu satu-satunya keluarga Kakek Non, pasti Kakek memikirkan ini masak-masak. Mbok tahu, ini ga mudah buat Non.”
Tiba-tiba rasanya, aku kembali ke masa lima tahun yang lalu.
>.<