“Iya, Ayah dengar dari Kakek?” Ayah langsung bertanya tentang acara kemarin malam, begitu aku mengangkat teleponnya.
“Banyak ya, Day? Gimana? Ada yang ganteng? Masuk kriteria?” berondong Ayah. Inilah kalau Ayah mengintrogasi anak gadisnya.
“Ayah, coba tanya Kakek saja.”
“Ah, Kakekmu itu pelit sekali diajak buka percakapan soal rencana ini, Day.” Rencana? Mereka yang merencanakan?
“Apa? Ayah juga merencanakan ini?”
“Errr…. Ya bisa dibilang begitu, Day. Ayah juga Ibumu ikut ambil bagian dari rencana ini,” Yaampun, seharusnya aku sudah bisa menebak semua ini.
“Apa motivasi Ayah?” tanyaku sok datar. Aslinya ga karuan rasanya.
“Apa? Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, Dayu… Ayah tahu, kamu tak ingin ikut Ayah ataupun Ibumu karena tak mau memihak salah satu dari kami. Ayah tahu, betapa besarnya sayangmu pada Kakek. Kami hanya memikirkan cara untuk membuatmu mengubah mindset. Tentang semua cowo itu berengsek, sayang. Percaya sama Ayah, Sayang. Pasti akan ada lelaki yang menyayangimu apa adanya. Saat dia memintamu dari Ayah, ayah yang akan pastikan sendiri, seberapa besar cintanya untukmu.”
Aku garuk-garuk rambut.
“Ayah, kenapa bicaranya melantur jauh begini?”
“Sayang, Ayah harus menyiapkan hati dari sekarang. Ayah tak mau kehilangan kamu, sayang. Hanya saja, kamu pun punya kebahagiaan sendiri. Ayah bahagia luar biasa kalau melihat kamu bahagia.”
“Ayah, aku ga akan nikah besok,”
“Besok atau setahun dua tahun lagi, tak ada bedanya dengan Ayah. Ayah harus siap kehilanganmu. Melepasmu dengan lelaki yang akan membahagiakanmu, kelak.” Suara Ayah terdengar serak. Apa semenyedihkan itu berpisah dariku karena aku menikah?
“Oke, oke. Dayu ngerti, Ayah. Tapi itu nanti, masih lama. Dayu masih harus selesaikan kuliah. Masih harus cari kerja.”
“Apa? Cari kerja? Buat apa? Kamu sudah punya pekerjaan, Dayu. Teruskan usaha Kakek. Buat Kakek bangga dengan terampilnya kamu dibidang bisnis. Ayah yakin kamu bisa, sayang.”
“Tapi, Ayah, aku sek-“
“Saat ini kamu sembunyi, tapi itu tak akan bertahan lama. Kelamaan orang akan tahu dengan sendirinya juga, sayang.”
DEG. Rasanya aku seperti membohongi orang lain. Tidak. Aku tak pernah bermaksud membohongi siapapun. Aku hanya… hanya… menghindar…
“Ayah, Dayu ngantuk, tidur dulu ya,”
“Lho? Bukannya disana pagi?” aku langsung mematikan sambungan. Dan matikan ponsel. Aku masih duduk di luar. Matahari mulai menghangatkan. Tapi hatiku masih dingin.
>.<
“Dayu,” suara panggilan Kakek, seperti menarikku dari lamunan. Aku menoleh. Wajah Kakek heran. “Kenapa, Nduk?”
Aku hanya menggeleng.
Kakek berdeham. Meletakkan sendok garpu diatas piring kosongnya. “Ada yang mengganjal hatimu? Apa soal semalam? Ada yang usil?”
Usil? Ha?
“Ga ada, Kek. Hanya mikir sesuatu aja,”
“Mikir apa?” Kakek menyerutup teh tawar panasnya.
“Apa Ayah dan Ibu juga ambil bagian dari rencana kemarin?”
Bibir Kakek melengkung. “Soal itu? Iya benar. Ada yang mengaku ya?”
“Ayah yang bilang, secara eksplisit.”
“Dasar engga sabaran dia.” Tangan Kakek meraih tisu dan mengelap mulutnya cepat. “Jangan dipikirkan. Kami hanya mau yang terbaik untukmu. Kami juga tak mengejar-ngejar kamu untuk memilih salah satu dari mereka. Hanya opsi saja. Tapi, kalau ada pilihan di kampus, semua terserah kamu. Kakek hanya membantu disini. Kakek jamin untuk mereka. Kalau ada yang macam-macam, Kakek bisa patahkan kaki mereka.”
“Engga ada apa-apa, Kek. Kami hanya kenalan biasa. Baru juga sekali bertemu.”
“Lho, dengan Tanuya, sudah dua kali, kan?”
“Iya, kecuali dia, kan kita ketemu di Tentrem.”
Kakek manggut. “Gimana dia?”
Aku kembali menjejalkan nasi berlauk ayam panggang di mulutku. Seharusnya nikmat sekali, tapi mood makan ku sudah melayang sedari tadi.
“Biasa aja, ngobrol biasa.”
“Oke, kalau ada perkembangan, bilang Kakek ya,” Kakek bangkit, ngeloyor ke depan plasma TV besar. Menyalakannya.
Sungguh, aku tak ingin membicarakan siapapun saat ini.
>.<
“Terus?” tanyaku tak sabar. Tika mendegus disambungan telepon sana.
“Kenapa tanya sih, Day? Tentu aja aku melengos dari dia.” Barusan ia bercerita bertemu mantan pacarnya jaman SMA dulu.
“Lha kenapa? Siapa tahu bisa balikan lagi kan?” tanyaku lagi. Aku masih selalu merasa Tika masih sayang mantannya itu.
“Yang bener aja deh, Dayyyy… dia udah punya gandengan baru.”
“Wah? Beneran?”
“Beneranlah. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka gandengan tangan.”
“Aduh,” membayangkan bagaimana perasaan Tika, aku malah mengaduh.
“Kenapa?”
“Sakit ya, Tik?”
Kudengar tawa renyah Tika, “Ah, udahan bahas dia, Day. Udah lama juga kita putus. Wajar dia punya gandengan baru. Aku aja yang kudet.”
“Hush, ga boleh begitu.”
Terdengar suara orang dibelakang Tika. “Bapak?! Ya Allah, iya Tika kesana. Day, aku putus dulu ya, Bapakku kecelakaan kerja.”
Aku masih melongo saat Tika mengatakannya. Bapak Tika? Kecelakaan? Kalau tak salah, Bapaknya kerja bangunan. Aku langsung mengontak Ina dan Risa. Kami sepakat ke Kebumen saat ini juga. Aku berkemas cepat.
“Kek, aku mau ke Kebumen.” Pamitku pada Kakek. Kakek yang tengah membaca Koran paginya menaikkan dahi.
“Lho? Ada apa?”
“Bapak teman Dayu kecelakaan kerja, Kek.”
“Pergilah sama Pak Yanto.” Cetus Kakek. Lho?
“Tap-“
“Atau ga ada ijin?”
“Oke,” aku langsung bergegas keruang depan. Menghampiri Pak Yanto yang masih sibuk membersihkan Innova.
>.<
Tiga jam lebih jalan dan masih belum sampai juga. Antara pegal dan cemas juga. Tika mengabarin kami, kaki kiri Bapaknya kena tusuk besi, kemungkinan di amputasi, tapi ia masih pusing mikir biaya. Pihak kontraktor lepas tangan. Soalnya hanya proyek rumah biasa. Aku tambah cemas.
Risa yang dari Wonogiri tentu lebih pegal di bis, dibandingkan aku.
Kami menepi di daerah purworejo, untuk makan sholat.
“Non,”
“Ya, Pak?” aku menoleh dari es kepala muda yang kuputar-putar terus.
“Itu kelapa mudanya bisa tumpah kalo diputar terus,” Pak Yanto meringis. Pasti tampak sekali aku yang tengah stress.
“Iya sih, Pak. Saya ga perhatikan.”
“Ada perkembangan informasi?”
Aku menggeleng. “Ga ada, Pak. Teman saya itu cukup histeris. Jadi bikin makin kepikiran,”
“Di RSUD ya, Non?” Pak Yanto tengah membuka map di ponselnya.
“Iya, Dr. Soedirman Kebumen.”
“Oh sudah lumayan, Non. Kita jalan lagi?” Pak Yanto bangkit sembari mengantongi ponselnya kemudian. Aku mengangguk juga.
>.<
Tepat jam satu siang, kami sampai di Rumah Sakit Dr. Soedirman. Aku buru-buru masuk IGD. Pak Yanto memarkirkan mobil. Sudah janji, akan menunggu di mobil saja. Aku sampai memutar kepala, mencari sosok Tika.
Akhirnya aku menemukannya tengah duduk lemas di ujung lorong.
“Tika!”
Tika mendongak kaget. Ia buru-buru menubrukku. Ia menangis keras. Agaknya sedari tadi ia mencegah diri untuk menangis.
Aku memberinya air mineral saat ia sudah bisa mengatur isak tangisnya.
“Maaf ya Day, kamu jadi jauh-jauh sampai sini,” lirihnya, disela isak.
“Sudah, ga apa. Gimana keadaan bapak?” tanyaku.
“Kaki kirinya kena besi, Day. Harus segera di operasi. Kata dokter juga, ada bagian yang patah, harus pasang pen. Tapi kami bingung. Kami ga ada BPJS. Bosnya bapak juga ga bisa bantu banyak.” Tika menangis lagi lirih. “Ibu sama Masku lagi cari pinjam saudara, Day. Semoga dapat.”
Ya Allah…
Tak lama, Ina datang ditemani Papanya. Risa juga datang, diantar kakak sepupunya. Aku menyingkir perlahan ke bagian administrasi.
“Permisi, untuk pasien bernama pak Kusnadi, perlu operasi ya?” aku bertanya dengan perawat yang bertugas disana.
“Oh, sebentar, saya cek dulu, Mba.” Ia mulai sibuk klik-klik computer dihadapannya. “Oh iya, beliau mengalami patah tulang kaki kanan, dan tertusuk besi di kaki kiri.”
“Boleh tahu, untuk biayanya berapa ya?”
“Mohon tunggu sebentar,” semoga aku masih bisa membantu. “Totalnya empat puluh dua juta, Mba.”
Aku mengeluarkan kartu debit dari dalam dompet. “Tolong, Mba.”
Perawat itu menerima kartu dengan bingung. “Ini dengan Mba siapa ya?”
Aku menggeleng. “Tolong dirahasiakan saja. Saya mohon. Yang penting pasien segera ditangani.”
“Oh, baik.”
Saat itulah aku merasa ada yang memandangiku. Aku terkesiap. Dia. Alde. Aku tak asing benar dengan raut dinginnya itu. Berbalut jas dokter, dengan kemeja garis merah didalamnya.
Waduh. Apa dia menyadari sesuatu?
Ia berjalan mendekat kearah perawat, berbicara sesuatu, lalu mendapat kertas dari perawat disana. Ia membacanya singkat, lalu menyerahkan pada perawat lagi.
Ya ampun, ini kenapa lama banget proses bayar aja..
“Sedang apa disini?” aku langsung menyadari, ia hanya beberapa meter didepanku. Ia masih memandangiku. Aku memang tak pernah bicara dengannya. Tapi sudah barang tentu ia tahu benar siapa aku.
“A-,“
“Mba, ini sudah selesai. Akan segera diambil tindakan. Ini kuitansinya.” Perawat tadi mengulurkan kartu debitku dan secarik kertas.
“Te, terima kasih,” buru-buru aku masukkan dalam tasku.
Alde masih ditempat yang sama, masih menungguku bicara.
“Ada teman disini,” jawabku.
“Teman?”
“Teman kampus,”
“Bukan, maksudku, kamu sedang apa di tempat administrasi,” ia menatapku dingin.
DEG. Aduh, apa ketahuan?
“Ti, tidak apa-apa, a, aku permisi dulu,” buru-buru aku berbalik pergi. Aku tak kuat juga lama-lama dipelototin Alde.
>.<