Birunya hamparan langit dan hijaunya hutan Ungaran, tak bisa memulihkan begitu saja rasa tak asing yang tadi menyapaku. Bunga warna-warni yang kujumpai pun rasanya tak membuatku membaik.
“Mba Dayu kenapa?” Hanum duduk disampingku, setelah memesankan mendoan dan coklat panas untukku. Kami tengah duduk di kafe, berlatarkan pemandangan bunga warna warni.
“Ga papa, Hanum.”
“Jangan bohong ya, dari tadi diam dan murung. Gimana bapaknya teman Mba Dayu?”
“Alhamdulilah, sudah ditangani, operasi berhasil, tinggal pemulihan saja, katanya.” Jadi teringat telepon Tika tadi pagi. Ia terisak melihat keadaan Bapaknya.
“Mau bagaimana lagi, Dayu… Kaki kiri Bapak harus amputasi. Karena besinya sudah berkarat… huhuhu…“ aku hanya bisa menenangkannya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Aku yakin pasti ada jalan nantinya.
“Syukur alhamdulilah, semoga lekas sembuh ya,“
Entahlah, setelah itu aku tidak bisa mencerna semua pembicaraan kami. Aku kebanyakan hanya mendengarkan ceritanya.
>,<
Aku melamunkan banyak hal didalam bis, yang membawaku kembali ke Jogja. Sebenarnya Kakek bersikeras menyuruh Pak Yanto mengantar, tapi aku hanya mau diantar sampai Bawen. Terkadang, rasanya lebih nyaman dengan berjejalan di dalam bus. Terang saja, ini minggu sore.
Ina : Dayu uda otw?
Dayu : Uda, Na. Ina?
Ina : Aku besok pagi diantar Papa
Tika : Aku uda ijin sampai minggu dpan.
Dayu : Semangat, Tik.
Ina : Iya, gapapa
Risa : Aku baru mau jln, diantar sepupu.
Dayu : Hati-hati, Ris.
Pada akhirnya, lebih menentramkan berinteraksi dengan mereka, ketimbang dengan relasi Kakek.
+6281228xx : Halo, Dayu
Aku Tanuya, aku dapat nomermu dari Mba Rara.
Dayu : Halo, Tanuya
Tanuya : Panggil Uya atau Tanu boleh aja
Dayu : Kalo panggil Anu?
Tanuya : Hahaha, khusus kamu boleh
Dayu : Makasi lho J
Tanuya : Iya, sama-sama,
Lgi apa ini?
Dayu : Otw Jogja
Tanuya : Oke, take care,
Dayu : Thnks.
Lumayan, teman lagi. Yang penting masih nyaman diajak ngobrol. Anggep aja kayak teman di kampus.
>.<
Selesai beberes kos dan makan masakan cumi cabe ijo Mbok Jum, aku dikagetkan dengan ketukan pintu. Aku menoleh ke jam dinding diatas nakas. Jam delapan. Apa Risa udah sampai?
“Ini, oleh-oleh dari Wonogiri,” Risa menyodoriku sebesek sesuatu. Ia bahkan masih pakai jaket.
Aku mengambil besek itu. “Makasi, baru sampai?” dan bahkan ranselnya diletakkan di samping kakinya.
“Iya nih, aku selonjoran dulu di kamarmu boleh ya?” aku tahu, ia terlalu lelah buat beberes kamarnya sendiri.
“Ayo masuk,” Risa duduk di karpet, tidak, bahkan terlentang begitu saja. Tampak sekali ia lelah luar biasa. “Sepupumu nginep dimana?” ia biasa bareng Kakak sepupunya, bahkan kemana-mana diantar, contoh diantar sampai Kebumen.
“Hmm temen SMA nya,” nampaknya Risa sedikit enggan bicara. “Em, Day, aku sebenernya mau mengaku sama kamu.”
“Iya?” aku duduk tenang mendengarkan.
Risa terduduk, menghembuskan nafasnya pelan-pelan, “Dia pacarku, bukan sepupuku.”
“Serius?”
Risa mengangguk-angguk. “Aku bilang sepupu, biar kita tetap jadi jomblowers.”
“Ris, gapapa kok kamu punya pacar, kenapa harus malu? Ini siapa? Teman SMA itu?”
Kali ini Risa menggeleng keras. “Bukannnn, tetangga kok. Teman kecil sebenarnya. Dia ga lanjutin kuliah, tapi langsung kerja di bengkel dekat rumah.”
“Oh, begitu,”
“Ina sama Tika gimana?” raut muka Risa nampak gelisah.
“Nanti kita bicarakan lagi, Ris. Uda makan? Aku punya cumi cabe ijo, mau?”
>.<
“Ya, Kek?”
“Dimana ini?”
“Di kampus, Kek. Ada apa?” jarang-jarang Kakek telepon siang begini.
“Kakek cuma mau tanya, ada transaksi besar di kartumu,”
Aduh, aku sampai lupa kasih tau Kakek. “Eh, maaf, Kek, Dayu lupa kasih tau, itu untuk pembayaran operasi Bapak Tika kemarin di Kebumen. Akan Dayu ganti saat sudah kerja ya?”
Terdengar Kakek tertawa keras. “Hahaha, buat apa diganti, itu uangmu. Nanti Kakek top up lagi. Ambillah buat kebutuhanmu di Jogja, sesukamu. “
“Makasih, Kek. “
“Oke, hati-hati disana ya,” sambungan terputus.
Kartu itu memang Kakek isi dalam jumlah besar. Aku hanya pakai untuk bayar semesteran dan kos. Untuk makan sehari-hari, biasa dari gajiku jaga di koperasi fakultas. Tak banyak, tapi cukup untuk makan sehari dua kali. Membuatku benar-benar mengerti betapa beratnya menghasilkan uang. Tak boleh sia-siakan sehelai uang pun.
“Siapa, Day?” Ina mengangsurkan es teh pesananku. Kemudian duduk dibangku sampingku.
“Makasi. Kakekku.” Aku mulai menyerutup.
“Kakek?” tentu saja aneh, tak ada bahasan soal Kakek pada mereka.
“Iya, nanya kabar aja, kemarin ga sempat ketemu.” Elesku.
Ina manggut-manggut. “Oalah, kirain apaan, Risa kemana sih? Tadi langsung ngibrit aja habis kelas.”
Aku hanya menggeleng. Tanda tak tahu. Padahal aku yakin, Risa tengah bersama pacarnya, disuatu tempat.
“Kelas kita masih dua jam lagi nih, Day. Mau nongkrong disini aja?” memang benar, kelas kedua masih jam dua belas nanti.
“Iya, Na. sambil ngemil boleh lah.”
Dengan gembira, Ina mengeluarkan bolu pandan buatannya yang di pan tadi pagi di kos. Harum sekali. “Ayo makan, Day,”
Dengan senang hati, “Makasi, Na.”
>.<