“Pesta ulang tahun Kakek?” itu jawaban yang kudapat, setelah aku menanyai Mbok Jum di dapur. “Kok aku ga dikasi tahu, Mbok?”
Bukannya masih minggu depan ya? Kenapa mendadak maju?
“Lha Mbok kira Non sudah tahu dari Kakek Non,” Mbok Jum tampak masih sibuk menguleni adonan didalam baskom sedang.
“Bukannya ulang tahun Kakek masih minggu depan, Mbok?”
“Mungkin sekalian Non Dayu di Villa,” yah, itu jawaban yang lumayan logis.
“Kakek masih di kamar ya, Mbok?” Kakek memang paling anti diganggu saat dikamar. Tentu untuk istirahat.
“Iya, tidur sepertinya,”
“Itu mau buat apa, Mbok?” dapur ditangan Mbok Jum, jadi benar-benar besih. Semua tertata rapi ditempatnya. Yang berantakan paling bagian meja tengah. Karena memang sedang membuat adonan.
“Bakso, Non. Bakso ikan.”
“Wah enak banget,” terbayang sop bakso ikan masakan Mbok Jum. Lezat mantap. Liurku sepertinya mau menetes lagi, padahal aku baru saja makan udang goreng mentega laziz Mbok Jum.
“Sabar ya, Non. Ini buat acara besok.”
“Lho? Ga pake catering?” seperti yang sudah-sudah, tiap Kakek bikin acara pasti pakai catering.
“Pakai dong, Non. Ini request Kakek. Katanya buat Non,”
Ah Kakek memang paling tahu aku. Selalu memanjakanku.
“Besok yang cantik ya Non,” aku menoleh aneh mendengar celetukkan Mbok Jum. Ga biasanya begitu. Mbok Jum masih mesam-mesem sendiri, saat aku mendekatinya.
“Kenapa, Mbok? Mbok pasti tahu sesuatu,” tanyaku penuh selidik. Karena apapun yang akan dilakukan Kakek pasti sudah Mbok Jum dengar. Istilahnya dinding yang bisa mendengar.
“Lho? Non belum dikasitahu juga?”
“Lhooo pesta aja baru dengar dari Mbok Jum kok,” aku membalik omongan Mbok Jum.
“Oiya ya, em.. Mbok gatau pas apa engga bilang ini sama Non,”
“Udah, dipas-pasin ajalah, Mbok. Ada apan?” tanyaku mulai tak sabar.
“Mbok dengar, Kakek mau kenalkan anak-anak kenalan Kakek, untuk dijodohkan dengan Non,”
Aku melongo.
>.<
“Mba Dayu,” aku mengangkat wajahku dari halaman buku, mendengar suara familier itu. Aku tengah duduk dihalaman belakang sore ini. Sosok yang lama tak kulihat, berjalan kearahku dengan senyum diwajahnya. Itu Hanum. Anak sulung Pak Yanto. Masih kelas dua SMA, kalau tak salah. Rambutnya cepak sebahu, dengan lesung pipi di wajah ovalnya.
“Baru pulang sekolah?” aku bertanya, karena ia masih pakai seragam pramuka. Ia menyalamiku.
“Iya, Mba. Apa kabar? Sudah lama engga pulang ya?” ia duduk di bangku sampingku. Aku meletakkan buku. Aku sudah punya teman bicara. Buku nomer sekian.
“Baik, alhamdulilah. Iya, ini baru sempat pulang, karena ada libur lumayan. Kamu gimana kabarnya?” hubungan kami memang sudah seperti kakak adik, karena aku tak punya adik, dia pun tak punya kakak. Sesimpel itu. Aku selalu memberinya bajuku yang masih layak pakai sekali padanya. Bahkan gaun pemberian Mama sering kuberikan padanya.
“Baik, alhamdulilah juga. Bapak Ibu sehat semua.”
Kalau sudah begini, kami bisa ngobrol kesana kemari tanpa jeda. Aku merasa klop sekali dengannya. Kadang aku memaksanya menginap di Villa. Tapi lebih sering tak diperbolehkan Pak Yanto. Menurutnya, aku ini Nona, tak sepantasnya bermalam dengan Hanum. Itu pikiran kolot Pak Yanto. Nyatanya aku tak suka merasakan menjadi Nona. Itu hanya melukaiku dulu.
Hanum pamit pulang saat adzan maghrib berkumandang. Aku malah masih memandang diarah kejauhan. Kelap kelip lampu. Walau kabut mulai turun, tapi mereka masih tampak.
“Non! Sudah gelap, masuk yuk,” Mbok Jum berteriak dari dekat pintu. Aku merapatkan sweaterku. Mengemas buku dan bangkit masuk Villa.
>.<
“Hahaha, ide Kakek luar biasa kan?” Kakek tertawa terbahak, saat aku menanyai Kakek soal perjodohan. Kami sudah selesai makan malam. Kini duduk santai didepan Televisi ditemani pisang goreng dan teh panas. Kakek menyesap teh tawar panasnya.
“Ide apa itu, Kek?” sungutku. Aku jelas tak menyukai itu.
“Kakek mau kamu dapatkan yang terbaik, Nduk.”
“Apa yang terbaik, Kek. Mereka hanya berlomba karena aku ini cucu Kakek. Bukan karena Dayu adalah Dayu.”
“Tak ada yang boleh melukai cucu Kakek,”
Aku menghela nafasku. “Kek, masa lupa yang dulu?”
Kakek terdiam sesaat. Lalu seperti memantapkan hati berkata, “Nduk, itu sudah lalu. Kamu pun pakai identitas baru di kampus. Kakek tak masalah, selama kamu merasakan aman. Kalau disini, Kakek yang atur. Semua dalam jangkauan Kakek. Ga akan sampai seperti dulu.”
“Apa benar begitu, Kek?”
“Tentu saja. Kakek yang tentukan dengan siapa kamu berkenalan. Hanya kenalan, Nduk. Dia berani macam-macam. Urusannya sama Kakek.” Terang Kakek cepat. Kadang aku merasakan luar biasa lega, aku memutuskan untuk hidup menemani Kakek. Disini. “Bagaimana?”
Aku melihat mata penuh harap Kakek. Aku tak sampai hati menyakitinya. Aku sudah pernah melihatnya menderita saat Nenek berpulang lima tahun lalu. Aku tak ingin menyakitinya lagi.
Aku mengangguk. “Iya, Kek. Tapi jangan banyak-banyak ya Kek,”
Kakek tertawa lepas. “Tak akan, Nduk. Kakek pun tak suka banyak serangga didekatmu.” Seseram itu tanggapan Kakek soal cowo yang mendekatiku.
>.<
Ina
Apa kabar wahai para jomblowers?
Tika
Duh, ngina semua yg disini dong, na
Ina
Kan emang kita para kaum jomblo, Tik.
Gimana kabar Kebumen?
Tika
Hujan terus, na
Gimana magelang?
Ina
Sama aja, disini pun hujan
Mana ini dayu sama Risa?
Risa
Laporan. Wonogiri cerah ceria.
Dayu
Laporan lagi. Ungaran berawan.
Ina
Kangen kalian deh
Tika
Gausah lebay, na
Baru sehari kita pergi.
Aku tersenyum membaca chat panjang grup kami. Grup yang dinamai Ina dengan grup Jomblowers. Karena memang tak ada salah satu pun dari kami yang punya pacar selama kami kenal. Mengenaskan memang. Tapi itu yang terjadi. Saat masuk kampus, Tika sudah punya pacar, hanya putus tak lama kemudian. Pun Risa pernah di PHP teman SMA nya, tapi tak pernah jadi pacar juga. Ina paling minim bicara cinta. Aku tak punya pengalaman tentang cinta. Rony hanya bumbu saja, bukan menunya. Hanya cinta monyet jaman SMP yang kutahu. Dan itu saja sudah menyakitkan.
>.<