Ada pelukan yang tak pernah sampai. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak sempat. Bukan karena tak cinta, tapi karena waktu tak memberi ruang. Pagi itu, aku duduk di beranda rumah, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Angin semilir membawa aroma kopi dari dapur, mengingatkanku pada pagi-pagi bersama Ayah. Ayah bukan tipe pria romantis. Ia jarang mengucapkan kata sayang, apalagi memeluk. Tapi ia selalu memastikan aku sarapan sebelum berangkat sekolah, menjemputku saat hujan turun, dan diam-diam menyelipkan uang jajan tambahan di tasku.
Suatu hari, saat aku masih kecil, aku bertanya, "Ayah, kenapa Ayah nggak pernah peluk aku?"
Ayah terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena Ayah takut, kalau Ayah peluk kamu, Ayah nggak bisa melepaskan."
Aku tidak mengerti saat itu. Tapi kini, setelah dewasa, aku paham. Ayah mencintai dengan caranya sendiri.
Kini, Ayah sudah tiada. Dan aku merindukan pelukan yang tak pernah aku rasakan. Setiap kali aku merasa lelah, aku membayangkan pelukan Ayah. Hangat, kuat, dan penuh kasih. Pelukan yang tak pernah sampai, tapi selalu ada di hatiku. Aku belajar, bahwa cinta tidak selalu harus ditunjukkan dengan pelukan atau kata-kata. Kadang, cinta hadir dalam tindakan kecil yang sering kali kita abaikan.
Dan meski pelukan Ayah tak pernah sampai, cintanya selalu aku rasakan.
Setelah kepergian Ayah, ada satu hal yang paling sering kurasakan: kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Bukan kesedihan yang meledak-ledak seperti di film-film, tapi sejenis sepi yang menetap diam-diam, seperti kursi kosong di meja makan yang tak pernah lagi ditarik. Aku sering duduk sendiri, mengingat hal-hal kecil yang dulu rasanya biasa saja, tapi kini terasa seperti potongan kenangan yang tak ternilai. Cara Ayah membuka bungkus rokok dengan hati-hati, meskipun aku dan Ibu selalu ngomel karena kebiasaannya itu. Suara batuknya yang khas, yang dulu terasa mengganggu saat aku sedang nonton TV, kini malah kurindukan. Bahkan cara dia memanggil namaku dengan nada datar—bukan penuh kasih, tapi... cukup untuk membuatku tahu bahwa aku ada.
Yang paling lucu, aku ingat Ayah pernah mencoba memelukku sekali. Waktu itu aku habis jatuh dari sepeda dan lututku berdarah. Ibu panik dan menggendongku masuk ke dalam rumah, sementara Ayah—entah karena panik juga atau karena bingung harus berbuat apa—berdiri kikuk di dekat pintu. Setelah Ibu selesai membersihkan lukaku, Ayah mencoba mendekat. Tangannya terangkat pelan, ingin menyentuh bahuku, tapi berhenti di udara. Lalu, dia menepuk kepala ku pelan. Itu saja.
Dan jujur, waktu itu aku merasa seperti baru saja dipeluk oleh seluruh semesta. Aneh, ya?
Tapi itulah Ayahku. Bukan tipe peluk-pelukan, bukan yang manis dan penuh pujian. Tapi setiap kali ban sepedaku kempes, dia yang langsung memperbaikinya. Kalau aku sakit, dia yang bangun malam buat memastikan demamku turun. Kalau aku sedih karena nilai jelek, dia yang diam-diam beli mie ayam favoritku dan pura-pura nggak tahu apa-apa. Aku sempat marah pada diriku sendiri. Kenapa aku nggak pernah bilang “terima kasih” waktu dia masih ada? Kenapa aku malu bilang “aku sayang Ayah”? Kenapa aku menunggu terlalu lama untuk pelukan yang mungkin... bisa aku mulai duluan?
Kadang kita begitu sibuk menunggu orang lain berubah, sampai lupa bahwa kita juga bisa menjadi yang memulai. Setelah Ayah tiada, aku pernah bermimpi. Dalam mimpi itu, aku berada di halte yang sepi, malam hari. Hujan rintik-rintik. Lalu Ayah datang, pakai jaket lamanya, wajahnya seperti biasa: datar, tapi menenangkan. Ia duduk di sebelahku, tidak bicara apa-apa. Tapi dalam mimpi itu, aku bersandar ke bahunya. Dan untuk pertama kalinya, dia memelukku. Lama. Diam. Tapi hangatnya nyata. Aku terbangun dengan mata basah. Dan entah kenapa, setelah mimpi itu, aku merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah pelukan yang tak pernah sampai di dunia nyata, akhirnya sempat singgah di alam mimpi. Dan itu cukup untuk sekarang.
Aku belajar satu hal besar dari semua ini: tidak semua hal dalam hidup harus selesai dengan sempurna. Kadang ada pelukan yang tak pernah tiba, kata maaf yang tak sempat diucapkan, atau pertemuan yang tertunda sampai tak jadi sama sekali. Tapi bukan berarti cinta di dalamnya hilang. Cinta yang tulus tidak selalu membutuhkan panggung. Ia bisa hidup dalam diam, bertahan dalam ingatan, dan tumbuh dalam kenangan.
Suatu sore, saat aku duduk di taman dekat rumah, aku melihat seorang bapak tua sedang mengajari cucunya naik sepeda. Si kecil itu jatuh dua kali, dan si bapak tertawa, lalu memeluk cucunya erat sambil bilang, “Wajar jatuh, namanya juga belajar.” Aku nggak tahu siapa mereka. Tapi pemandangan itu membuat dadaku hangat. Aku membayangkan, kalau saja waktu bisa mundur, mungkin Ayah juga akan mengajarkanku seperti itu—dengan tertawa, dengan pelukan yang tidak terbendung karena cinta yang tak disimpan rapat.
Tapi, waktu tidak bisa mundur.
Dan aku tidak bisa terus menunggu pelukan dari seseorang yang sudah tenang dalam damai.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah memeluk diriku sendiri. Memberi ruang bagi kenangan, bukan untuk menyakitiku, tapi untuk mengingatkan bahwa aku pernah dicintai. Dengan cara yang mungkin tidak biasa, tidak seperti di film atau buku, tapi cukup untuk membuatku bertahan hari ini. Aku pun mulai menulis surat. Surat untuk Ayah. Bukan untuk dikirim, tentu saja, tapi untuk diriku sendiri. Surat itu kubaca saat hari ulang tahunku, atau saat aku merasa lelah dan rindu rumah.
Isinya macam-macam. Kadang aku bercerita soal pekerjaanku, kadang soal teman-temanku yang konyol, kadang cuma bilang, “Aku capek, Yah, tapi aku baik-baik saja.” Dan surat-surat itu, entah bagaimana, menjadi pelukan-pelukan kecil yang akhirnya sampai.
Mungkin kamu juga punya seseorang seperti itu. Seseorang yang tidak sempat memelukmu, atau tak sempat kau peluk. Tak apa. Itu bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa. Dunia ini terlalu cepat, dan manusia sering tak sempat berhenti. Tapi cinta yang pernah ada, tidak hilang begitu saja. Ia mengendap di sudut-sudut hidup, di lagu favorit, di tempat duduk yang biasa diduduki, di tawa yang familiar, di bau jaket yang masih tergantung di lemari.
Dan saat kamu merasa sendiri, ingatlah: ada pelukan yang tak pernah sampai, tapi selalu hadir.