Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Ada pelukan yang tak pernah sampai. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak sempat. Bukan karena tak cinta, tapi karena waktu tak memberi ruang. Pagi itu, aku duduk di beranda rumah, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Angin semilir membawa aroma kopi dari dapur, mengingatkanku pada pagi-pagi bersama Ayah. Ayah bukan tipe pria romantis. Ia jarang mengucapkan kata sayang, apalagi memeluk. Tapi ia selalu memastikan aku sarapan sebelum berangkat sekolah, menjemputku saat hujan turun, dan diam-diam menyelipkan uang jajan tambahan di tasku.

Suatu hari, saat aku masih kecil, aku bertanya, "Ayah, kenapa Ayah nggak pernah peluk aku?"

Ayah terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena Ayah takut, kalau Ayah peluk kamu, Ayah nggak bisa melepaskan."

Aku tidak mengerti saat itu. Tapi kini, setelah dewasa, aku paham. Ayah mencintai dengan caranya sendiri.

Kini, Ayah sudah tiada. Dan aku merindukan pelukan yang tak pernah aku rasakan. Setiap kali aku merasa lelah, aku membayangkan pelukan Ayah. Hangat, kuat, dan penuh kasih. Pelukan yang tak pernah sampai, tapi selalu ada di hatiku. Aku belajar, bahwa cinta tidak selalu harus ditunjukkan dengan pelukan atau kata-kata. Kadang, cinta hadir dalam tindakan kecil yang sering kali kita abaikan.

Dan meski pelukan Ayah tak pernah sampai, cintanya selalu aku rasakan.

Setelah kepergian Ayah, ada satu hal yang paling sering kurasakan: kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Bukan kesedihan yang meledak-ledak seperti di film-film, tapi sejenis sepi yang menetap diam-diam, seperti kursi kosong di meja makan yang tak pernah lagi ditarik. Aku sering duduk sendiri, mengingat hal-hal kecil yang dulu rasanya biasa saja, tapi kini terasa seperti potongan kenangan yang tak ternilai. Cara Ayah membuka bungkus rokok dengan hati-hati, meskipun aku dan Ibu selalu ngomel karena kebiasaannya itu. Suara batuknya yang khas, yang dulu terasa mengganggu saat aku sedang nonton TV, kini malah kurindukan. Bahkan cara dia memanggil namaku dengan nada datar—bukan penuh kasih, tapi... cukup untuk membuatku tahu bahwa aku ada.

Yang paling lucu, aku ingat Ayah pernah mencoba memelukku sekali. Waktu itu aku habis jatuh dari sepeda dan lututku berdarah. Ibu panik dan menggendongku masuk ke dalam rumah, sementara Ayah—entah karena panik juga atau karena bingung harus berbuat apa—berdiri kikuk di dekat pintu. Setelah Ibu selesai membersihkan lukaku, Ayah mencoba mendekat. Tangannya terangkat pelan, ingin menyentuh bahuku, tapi berhenti di udara. Lalu, dia menepuk kepala ku pelan. Itu saja.

Dan jujur, waktu itu aku merasa seperti baru saja dipeluk oleh seluruh semesta. Aneh, ya?

Tapi itulah Ayahku. Bukan tipe peluk-pelukan, bukan yang manis dan penuh pujian. Tapi setiap kali ban sepedaku kempes, dia yang langsung memperbaikinya. Kalau aku sakit, dia yang bangun malam buat memastikan demamku turun. Kalau aku sedih karena nilai jelek, dia yang diam-diam beli mie ayam favoritku dan pura-pura nggak tahu apa-apa. Aku sempat marah pada diriku sendiri. Kenapa aku nggak pernah bilang “terima kasih” waktu dia masih ada? Kenapa aku malu bilang “aku sayang Ayah”? Kenapa aku menunggu terlalu lama untuk pelukan yang mungkin... bisa aku mulai duluan?

Kadang kita begitu sibuk menunggu orang lain berubah, sampai lupa bahwa kita juga bisa menjadi yang memulai. Setelah Ayah tiada, aku pernah bermimpi. Dalam mimpi itu, aku berada di halte yang sepi, malam hari. Hujan rintik-rintik. Lalu Ayah datang, pakai jaket lamanya, wajahnya seperti biasa: datar, tapi menenangkan. Ia duduk di sebelahku, tidak bicara apa-apa. Tapi dalam mimpi itu, aku bersandar ke bahunya. Dan untuk pertama kalinya, dia memelukku. Lama. Diam. Tapi hangatnya nyata. Aku terbangun dengan mata basah. Dan entah kenapa, setelah mimpi itu, aku merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah pelukan yang tak pernah sampai di dunia nyata, akhirnya sempat singgah di alam mimpi. Dan itu cukup untuk sekarang.

Aku belajar satu hal besar dari semua ini: tidak semua hal dalam hidup harus selesai dengan sempurna. Kadang ada pelukan yang tak pernah tiba, kata maaf yang tak sempat diucapkan, atau pertemuan yang tertunda sampai tak jadi sama sekali. Tapi bukan berarti cinta di dalamnya hilang. Cinta yang tulus tidak selalu membutuhkan panggung. Ia bisa hidup dalam diam, bertahan dalam ingatan, dan tumbuh dalam kenangan.

Suatu sore, saat aku duduk di taman dekat rumah, aku melihat seorang bapak tua sedang mengajari cucunya naik sepeda. Si kecil itu jatuh dua kali, dan si bapak tertawa, lalu memeluk cucunya erat sambil bilang, “Wajar jatuh, namanya juga belajar.” Aku nggak tahu siapa mereka. Tapi pemandangan itu membuat dadaku hangat. Aku membayangkan, kalau saja waktu bisa mundur, mungkin Ayah juga akan mengajarkanku seperti itu—dengan tertawa, dengan pelukan yang tidak terbendung karena cinta yang tak disimpan rapat.

Tapi, waktu tidak bisa mundur.

Dan aku tidak bisa terus menunggu pelukan dari seseorang yang sudah tenang dalam damai.

Yang bisa kulakukan sekarang adalah memeluk diriku sendiri. Memberi ruang bagi kenangan, bukan untuk menyakitiku, tapi untuk mengingatkan bahwa aku pernah dicintai. Dengan cara yang mungkin tidak biasa, tidak seperti di film atau buku, tapi cukup untuk membuatku bertahan hari ini. Aku pun mulai menulis surat. Surat untuk Ayah. Bukan untuk dikirim, tentu saja, tapi untuk diriku sendiri. Surat itu kubaca saat hari ulang tahunku, atau saat aku merasa lelah dan rindu rumah.

Isinya macam-macam. Kadang aku bercerita soal pekerjaanku, kadang soal teman-temanku yang konyol, kadang cuma bilang, “Aku capek, Yah, tapi aku baik-baik saja.” Dan surat-surat itu, entah bagaimana, menjadi pelukan-pelukan kecil yang akhirnya sampai.

Mungkin kamu juga punya seseorang seperti itu. Seseorang yang tidak sempat memelukmu, atau tak sempat kau peluk. Tak apa. Itu bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa. Dunia ini terlalu cepat, dan manusia sering tak sempat berhenti. Tapi cinta yang pernah ada, tidak hilang begitu saja. Ia mengendap di sudut-sudut hidup, di lagu favorit, di tempat duduk yang biasa diduduki, di tawa yang familiar, di bau jaket yang masih tergantung di lemari.

Dan saat kamu merasa sendiri, ingatlah: ada pelukan yang tak pernah sampai, tapi selalu hadir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Mind Maintenance: Service Berkala untuk Isi Kepala
12      4     0     
Non Fiction
Mind Maintenance: Service Berkala untuk Isi Kepala Panduan Merawat Mental Seperti Merawat Mesin Mobil Pernah merasa kepalamu panas, emosimu meledak-ledak, atau hatimu tiba-tiba kosong tanpa sebab? Mungkin bukan karena hidupmu salah arah, tapi karena kamu lupa servis berkala isi kepalamu sendiri. Buku ini mengajakmu merawat mental dengan pendekatan yang sederhana namun penuh maknaibarat mer...
Pasal 17: Tentang Kita
123      45     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
FAYENA (Menentukan Takdir)
356      261     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Liontin Semanggi
1438      869     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Me vs Skripsi
1853      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Loveless
5849      2996     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Finding My Way
632      429     2     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Our Perfect Times
914      651     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
271      237     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...