Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Malam itu, hujan turun deras. Bukan gerimis romantis seperti di film-film, tapi hujan yang menghantam bumi seperti dendam lama yang belum terselesaikan. Aku duduk di tepi jendela, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Di luar sana, dunia tampak kabur, seperti lukisan yang dilukis dengan air mata.

Di dalam dada, ada hujan yang tak kunjung reda.

Kenangan yang Mengendap        

Hujan selalu membawa kenangan. Tentang tawa yang pernah ada, tentang pelukan yang pernah hangat, dan tentang janji yang akhirnya menguap bersama angin. Aku teringat saat kecil, bermain hujan bersama teman-teman. Kami tertawa, berlari, dan melompat di genangan air tanpa peduli basah atau kotor. Saat itu, hujan adalah sahabat. Tapi kini, hujan menjadi pengingat akan kehilangan.

Percakapan dengan Diri Sendiri

"Kenapa kamu masih menyimpan semua ini?" tanya suara dalam hatiku.

"Karena aku belum siap melepaskan," jawabku pelan.

"Tapi kamu tahu, menyimpan luka hanya membuatnya semakin dalam."

Aku terdiam.

"Mungkin aku harus belajar melepaskan, bukan melupakan."

Pelukan dari Masa Lalu

Aku membuka album foto lama. Setiap lembar membawa cerita. Ada senyum, ada tawa, ada air mata. Semua bercampur menjadi satu. Salah satu foto menampilkan aku dan sahabatku, Rina, saat kami masih kuliah. Kami tertawa lepas, tanpa beban. Rina sudah pergi, meninggalkan dunia ini beberapa tahun lalu. Tapi kenangannya tetap hidup dalam setiap hujan yang turun. Aku tersenyum, meski air mata menetes.

"Terima kasih, Rina, sudah menjadi bagian dari hidupku."

 

Menemukan Ketenangan

Aku menyalakan lilin aromaterapi dan memutar lagu-lagu lama. Suara lembut dari penyanyi favoritku mengisi ruangan, membawa ketenangan. Aku menulis di jurnal, mencurahkan semua perasaan yang selama ini terpendam.

"Hari ini, aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih. Tidak apa-apa untuk menangis. Karena dengan begitu, aku memberi ruang bagi diriku untuk sembuh."

Hujan yang Menyembuhkan

Hujan di luar masih turun, tapi di dalam dada, hujan mulai mereda. Aku menyadari bahwa setiap tetes hujan membawa pesan. Bahwa setelah hujan, akan ada pelangi. Bahwa setiap luka, jika dirawat dengan kasih sayang, akan sembuh. Aku menutup jurnal, meniup lilin, dan tersenyum.

"Terima kasih, hujan, telah mengajarkanku tentang melepaskan dan menerima."

Langit Tak Selalu Cerah, dan Itu Baik-Baik Saja

Ada masa-masa di mana langit dalam diriku mendung terus, bahkan saat cuaca di luar sedang cerah. Orang-orang sering bilang, "Kamu harus tetap semangat!" atau "Ayo, pikir positif saja!"—dan aku tahu mereka bermaksud baik. Tapi kadang, yang aku butuhkan bukan semangat yang dipaksa, melainkan pelukan diam dan pengakuan bahwa, iya, rasanya memang berat hari ini. Aku pernah mencoba pura-pura ceria saat hatiku koyak. Pernah juga mencoba tertawa keras saat kepalaku rasanya sesak oleh pikiran yang saling bertabrakan. Tapi semakin aku pura-pura, semakin hujan di dalam dadaku deras, tak punya saluran untuk keluar. Sampai akhirnya, aku duduk sendiri suatu malam, hujan turun deras seperti malam ini. Lalu aku menangis. Bukan karena sedih semata, tapi karena aku merasa akhirnya jujur pada diri sendiri.

Menangis Itu Tidak Sama Dengan Lemah

Pernah satu masa, aku mengira bahwa menangis adalah tanda kekalahan. Bahwa aku lemah jika air mataku jatuh, apalagi kalau dilihat orang lain. Tapi ternyata, yang salah bukan air matanya. Yang salah adalah ekspektasi bahwa aku harus tegar setiap saat. Di titik paling rentan dalam hidupku, aku justru bertemu dengan kekuatanku. Bukan karena aku bisa menyelesaikan semua masalah, tapi karena aku belajar berkata, "Aku tidak kuat hari ini, dan itu nggak apa-apa." Hari itu aku menulis satu kalimat di catatan kecil di meja kerja: Air mata tidak membuatku lemah. Mereka membuatku manusia.

Dan lucunya, sejak aku mulai mengizinkan diriku menangis, dadaku terasa lebih lega. Ternyata, selama ini yang membuatku sesak bukan hanya kesedihan itu sendiri, tapi karena aku menahannya terlalu keras.

Kopi Pahit dan Percakapan Jujur

Beberapa minggu setelah malam hujan itu, aku menghubungi seorang teman lama—Fara. Kami dulu dekat, tapi sempat menjauh karena kesibukan dan hidup yang kadang tak bisa dikejar dengan kecepatan yang sama. Kami bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang penuh tanaman gantung. Aku datang dengan mata sembap, dia datang dengan pelukan.

"Kalau kamu butuh nangis lagi, nggak usah tunggu hujan," katanya sambil menyodorkan tissue. Kami tertawa. Aku menceritakan semuanya. Tentang beban yang tak terlihat, tentang rasa gagal yang terus menghantui, tentang malam-malam yang sunyi meski lampu kamar menyala terang. Fara mendengarkan. Tidak menyela. Tidak menghakimi. Dan tidak mencoba memberi solusi instan.

"Kadang, kita cuma butuh ruang untuk didengar, ya?" katanya sambil menyeruput kopinya yang pahit. Aku mengangguk. Hari itu, aku sadar: bukan hanya hujan di luar yang bisa reda, tapi juga hujan di dalam dada—kalau kita berani membuka payung berupa kejujuran dan pelukan hangat.

Kebaikan-Kebaikan Kecil yang Membasuh Luka

Sejak saat itu, aku mulai belajar mengapresiasi hal-hal kecil. Sapaan dari satpam kantor yang selalu berkata, "Semangat, ya, Mbak!" dengan tulus. Senyum dari penjual nasi goreng langganan yang ingat pesananku tanpa harus aku ulang. Aku mulai menulis ulang definisi "bahagia." Dulu, bahagia adalah ketika semua target tercapai. Sekarang, bahagia adalah bisa membuka mata tanpa rasa berat di dada. Bahagia adalah punya satu orang yang mau mendengarkanmu tanpa menginterupsi. Lucunya, hidup mulai terasa lebih ringan, bukan karena beban berkurang, tapi karena aku tidak lagi berjalan sambil berpura-pura tidak memikul apa pun.

 

Merawat Hujan, Bukan Menyalahkannya

Dulu aku sering bertanya, "Kenapa aku harus merasa seperti ini? Kenapa aku nggak bisa seperti orang lain yang selalu ceria?" Tapi sekarang aku paham—hujan tidak datang untuk menyalahkan, tapi untuk merawat. Untuk membersihkan sisa-sisa luka yang selama ini aku kubur dalam-dalam. Sejak aku berdamai dengan hujan dalam dada, aku tak lagi takut dengan hari-hari sepi. Aku tahu bahwa kadang kesendirian adalah kesempatan terbaik untuk mengenal diri sendiri, untuk bertanya: "Apa kabar hatimu hari ini?"

Dan ketika jawabannya adalah "sedih," aku tak lagi panik. Aku menyeduh teh hangat, menyalakan lilin wangi, dan memberi ruang bagi air mata. Karena sekarang aku tahu, setiap hujan akan berhenti. Dan setelahnya, langit akan lebih jernih.

Menutup Bab dengan Pelan-Pelan

Bab ini mungkin tidak berisi kisah penuh tawa atau akhir yang meledak-ledak. Tapi ia berisi satu hal penting: kejujuran. Tentang betapa pentingnya kita mengakui perasaan yang sering kita abaikan. Tentang betapa manusiawinya menangis saat hati terlalu sesak. Dan betapa hebatnya seseorang yang tetap bangun esok hari, meski malam sebelumnya ia tenggelam dalam hujan emosinya sendiri.

Jadi, jika hari ini dadamu terasa berat, jika kamu merasa sepi di tengah keramaian, izinkan dirimu untuk tidak baik-baik saja. Peluk dirimu sendiri. Ambil napas pelan-pelan. Dan ucapkan, "Aku masih di sini. Aku masih berjuang. Dan itu sudah luar biasa." Karena pada akhirnya, kita tidak dituntut untuk selalu kuat. Kita hanya perlu jujur. Dan dari kejujuran itu, akan lahir kekuatan yang tak terlihat—kekuatan untuk bertahan, meski dunia sedang hujan. Tidak apa-apa untuk merasa sedih dan menangis. Hujan di dalam dada adalah bagian dari proses penyembuhan. Dengan menerima dan merangkul perasaan kita, kita memberi diri kita kesempatan untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaan kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sweet Like Bubble Gum
1078      769     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Loveless
5849      2996     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Tumbuh Layu
382      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Sweet Seventeen
984      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
No Life, No Love
1032      792     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Langit-Langit Patah
25      23     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
629      284     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Singkirkan Peluh Samar
481      350     0     
Short Story
Menceritakan tentang seorang gadis yang dengan tabah dan jiwa bersemangat mencapai apa yang ia harapkan diantara kekurangan dan banyak orang yang tidak mendukung kerja kerasnya. Namun, itu tak bertahan lama, jati diri sang gadis pun akhirnya terungkap.
Kertas Remuk
110      91     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...