Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Kau tahu apa yang paling lucu dari hidup ini? Ia tetap berjalan, bahkan saat kita ingin berhenti. Saat kau menangis di kamar mandi, dunia tetap berputar. Ketika kau merasa hancur berkeping-keping, jalanan masih macet seperti biasa, dan warung nasi goreng langganan tetap buka seperti tak ada apa-apa. Ada masa-masa di mana aku berpura-pura. Seperti aktor yang memainkan peran utama dalam drama kehidupan yang tak pernah aku pilih. Tersenyum saat hati rasanya robek. Tertawa agar orang lain tidak bertanya. Mengangguk sambil dalam hati ingin berteriak, “Aku lelah!”

Dan dari semua sandiwara itu, satu kalimat yang terus menggangguku adalah: “Kamu harus kuat.”

Sederhana, terdengar penuh motivasi. Tapi juga bisa terasa seperti beban. Seolah-olah jika aku tidak kuat, maka aku gagal. Seolah-olah menjadi rapuh adalah sebuah dosa besar yang tak terampuni. Suatu malam, aku duduk di teras rumah, memandang langit yang malas menunjukkan bintangnya. Gelas teh hangat yang sudah tak terlalu hangat ada di tanganku, dan ponsel tergeletak dengan notifikasi tak terbuka.

“Aku nggak kuat,” gumamku pelan. Kali ini tak ada yang mendengar. Dan mungkin memang tak perlu ada yang mendengar.

Rasanya seperti mengakui kelemahan pada diriku sendiri saja sudah cukup melegakan. Seperti melepaskan satu beban dari punggung yang sudah lama pegal. Aku menatap langit dan berpikir, “Kalau bintang saja bisa redup, kenapa aku nggak boleh lelah sebentar?” Ternyata, menjadi manusia memang semestinya tidak selalu kuat. Kita boleh menangis, marah, bingung, takut. Semua itu bukan tanda kita lemah. Itu tanda kita hidup. Kita merasa. Dan perasaan itu valid, tidak perlu disangkal.

Suatu hari, seorang teman bertanya, “Kenapa kamu jarang curhat?” Aku nyengir, “Karena aku takut dianggap drama.”

Padahal diam-diam aku ingin didengarkan. Tapi aku juga takut membebani. Jadi aku memilih jadi orang yang selalu bilang, “Nggak apa-apa, aku bisa.” Meski sebenarnya tidak baik-baik saja. Tapi manusia mana yang bisa terus kuat setiap hari?

Temanku itu tertawa pelan lalu berkata, “Kalau kamu kuat terus, nanti temanmu merasa nggak berguna loh.” Ucapan itu sederhana, tapi menghentakku. Aku terlalu sibuk menjadi kuat sendirian, sampai lupa bahwa pertemanan itu bukan cuma tempat berbagi tawa, tapi juga tempat bersandar saat lelah.

Malam itu aku menulis di jurnal kecilku:

“Mulai besok, aku akan belajar meminta tolong. Aku akan belajar jujur, bahwa aku lelah. Bahwa aku butuh dipeluk. Bahwa aku ingin seseorang berkata, ‘Kamu nggak sendiri.’”

Ada hari-hari di mana aku tetap merasa kosong. Bahkan setelah tertawa, nonton film lucu, atau makan makanan favorit. Dan itu tidak apa-apa. Aku belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk tertawa. Kadang, ia datang dalam bentuk diam yang tenang, atau napas yang lebih lega karena tidak memaksa diri menjadi hebat terus-menerus. Seseorang pernah berkata padaku, “Kamu nggak harus menyelesaikan semuanya hari ini.” Aku mengangguk, tapi dalam hati masih merasa dikejar banyak hal. Sampai akhirnya aku benar-benar jatuh sakit. Tubuhku memprotes. Seakan berkata, “Kalau kamu terus memaksa, aku yang akan menyerah lebih dulu.” Sejak itu, aku mulai merangkul perlambatan. Aku tidak harus produktif setiap waktu. Aku tidak harus kuat setiap hari. Aku hanya harus jujur pada diriku sendiri: apa yang sedang aku rasakan? Apa yang benar-benar aku butuhkan?

Dan seringkali jawabannya bukan motivasi, tapi istirahat.

Aku ingat saat menulis surat untuk diriku sendiri. Iseng, tapi ternyata cukup menyembuhkan. Isinya begini:

“Hai kamu, Aku tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Aku tahu kamu ingin semua baik-baik saja. Tapi ingat, kamu boleh berhenti sejenak. Kamu boleh nangis tanpa alasan. Kamu boleh nggak menjawab pesan orang dulu. Kamu nggak harus sempurna. Kamu tidak harus kuat setiap hari. Tapi kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Dunia tidak akan runtuh kalau kamu rehat. Dunia akan tetap berputar, dan kamu boleh menikmati satu hari dengan tenang tanpa beban. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku bangga padamu. Peluk dari aku, untuk kamu.”

Aku menangis waktu membacanya kembali. Tapi kali ini, bukan karena sedih. Tapi karena merasa diterima. Oleh diriku sendiri.

Beberapa bulan kemudian, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan karena bebanku hilang, tapi karena aku tidak lagi menumpuknya sendiri. Aku mulai cerita ke teman, mulai bilang, “Aku capek,” tanpa rasa bersalah. Dan tahu apa yang terjadi? Mereka nggak marah. Mereka nggak pergi. Malah mereka bilang, “Akhirnya kamu jujur juga.” Ternyata, banyak orang yang ingin jadi tempat bersandar, tapi aku sendiri yang terlalu sibuk berpura-pura tegar.

---

Di akhir pekan, aku pergi ke taman kota. Duduk di bangku yang sama yang dulu sering aku kunjungi saat patah hati. Tapi kali ini aku tersenyum. Bukan karena semua sudah sempurna, tapi karena aku tidak lagi merasa perlu pura-pura kuat. Ada anak kecil bermain balon sabun, mengejar gelembung yang mengambang di udara. Aku tertawa kecil. Hidup memang seperti itu. Tak selalu bisa digenggam, tapi tetap indah untuk dipandang. Kadang kita cuma perlu melepaskan. Dan membiarkan segalanya berjalan pelan-pelan.

Jika kamu sampai di halaman ini, dan kamu sedang lelah hari ini, aku ingin kau tahu: tidak apa-apa. Tidak apa-apa kalau kamu menangis semalam. Tidak apa-apa kalau kamu belum semangat hari ini. Tidak apa-apa kalau kamu belum bisa tersenyum lebar. Kamu tidak sendiri. Kamu tidak harus kuat setiap hari. Kamu hanya perlu menjadi manusia.

Yang belajar, tumbuh, istirahat, lalu mencoba lagi esok hari. Dengan langkah kecil. Dengan niat sederhana: untuk tetap hidup, satu hari lagi. Karena bertahan bukan berarti menang. Kadang, bertahan artinya cukup. Dan kamu sudah cukup hari ini.

Sore itu, hujan turun pelan-pelan seperti tahu caranya menenangkan. Aku duduk di balik jendela kamar, memeluk bantal, melihat butir-butir air mengalir seperti kenangan yang minta dibersihkan. Hujan memang punya semacam sihir aneh. Ia bisa mengingatkanmu pada mantan, tapi juga bisa menyembuhkan luka yang bahkan tak punya nama. Dan di sinilah aku, tidak melakukan apa-apa selain diam. Dulu, aku pasti merasa bersalah. Diam terlalu lama rasanya seperti dosa besar, seolah aku harus terus sibuk, produktif, atau paling tidak terlihat berfaedah. Tapi hari itu aku tidak merasa berdosa. Aku merasa... bebas.

Aku tahu, banyak orang seperti aku. Yang bangun pagi dengan daftar hal yang harus dilakukan dan tidur malam dengan rasa bersalah karena tak semua berhasil diselesaikan. Kita sibuk mengejar versi terbaik diri sendiri, sampai lupa bahwa diri kita hari ini juga butuh dihargai. Kenapa kita selalu terburu-buru untuk sembuh, untuk sukses, untuk "baik-baik saja"? Seolah hidup ini lomba lari, dan kita akan kalah kalau berhenti sebentar. Padahal, mungkin kita hanya perlu duduk, tarik napas, dan bertanya: sebenarnya aku lari ke mana?

Aku pernah bertemu seseorang yang bilang, “Kalau kamu terus-terusan berpura-pura kuat, nanti kamu kehilangan kemampuan untuk merasa.” Waktu itu aku tertawa, menyangka itu kalimat sok bijak biasa. Tapi malamnya aku kepikiran. Benar juga. Mungkin aku sudah terlalu sering menutupi rasa sedih, sampai lupa rasanya betul-betul bahagia. Kita tidak diajari bagaimana mengizinkan diri sendiri merasa lemah. Sejak kecil, kita terbiasa mendengar: “Jangan cengeng, jangan malas, jangan lemah.” Tapi siapa yang mengajarkan kita cara menangis dengan benar? Siapa yang bilang bahwa lelah bukan aib?

Semakin dewasa, aku belajar bahwa rasa rapuh bukan lawan dari kekuatan. Justru mereka saling melengkapi. Seperti malam dan pagi, seperti kopi dan gula. Rapuh membuat kita tahu rasanya butuh orang lain. Dan kuat membuat kita tetap melangkah meski tertatih. Beberapa minggu lalu, aku mengirim pesan ke sahabat lamaku. Isinya cuma dua kata: “Aku capek.” Dan kamu tahu? Dia nggak tanya apa-apa. Dia langsung balas: “Datang aja ke rumah, kita makan mie instan bareng.”

Dan itu cukup.

Nggak butuh ceramah. Nggak butuh solusi. Kadang yang kita butuhkan hanya teman yang tahu cara diam bersamamu, sambil mengaduk mie kuah dan menawari cabe rawit dengan tatapan sayang.

Itulah seni menjadi manusia. Tidak saling memperbaiki, tapi saling menemani. Aku juga belajar satu hal penting: jangan meremehkan istirahat.

Aku tahu, dunia bilang kita harus hustle, kerja keras, bangun pagi, tidur larut, sukses muda, kaya raya, bla bla bla. Tapi kadang yang benar-benar kita butuhkan cuma tidur siang yang tenang, playlist lagu lama, dan bantal yang empuk. Aku pernah memaksakan diri bekerja terus menerus demi mengejar deadline yang bahkan tidak menyelamatkan hidup siapa-siapa. Akhirnya tubuhku menyerah, dan pikiranku ngambek. Hari itu aku sadar, tubuh ini bukan mesin. Ia bukan robot. Ia butuh dipeluk, bukan cuma diperintah.

Jadi sekarang, kalau aku capek, aku tidur. Kalau aku pusing, aku berhenti sebentar. Karena hidup yang terlalu keras hanya akan membuat kita patah sebelum waktunya. Ada satu malam yang kuingat jelas. Aku berdiri di depan cermin, menatap wajah sendiri yang lusuh, mataku sembab, rambutku berantakan. Tapi untuk pertama kalinya, aku tersenyum. Bukan karena aku terlihat baik. Tapi karena aku menerima diriku. Apa adanya.

“Aku sayang kamu,” kataku pada bayangan sendiri di cermin. Rasanya aneh. Janggal. Tapi juga menyenangkan.

Kita sering terlalu sibuk mencintai orang lain, sampai lupa bahwa diri sendiri juga butuh disayangi. Bukan hanya disayangi kalau sudah sukses. Tapi juga saat gagal. Saat tak berguna. Saat cuma bisa tiduran sambil makan keripik dan nonton drama Korea. Karena diri kita layak dicintai. Sekarang juga. Dan begitulah, perlahan aku mulai membangun rumah di dalam diriku sendiri.

Bukan rumah yang sempurna. Kadang bocor, kadang berantakan. Tapi di sana ada ruang untuk menangis. Ada dapur untuk membuat teh hangat. Ada jendela untuk melihat hari-hari yang tetap indah, bahkan saat hatiku tidak. Kamu juga boleh membangun rumah itu. Rumah di dalam dirimu. Tempat kamu bisa pulang kapan saja. Tempat kamu tidak harus berpura-pura kuat. Tempat kamu bisa bilang, “Aku lelah,” dan tidak dihakimi. Hari ini aku masih sering lelah. Masih ada hari di mana aku ingin menyerah. Tapi sekarang aku tahu, aku tidak sendiri.

Dan aku ingin kamu tahu satu hal yang sangat penting:

Kamu juga tidak harus kuat setiap hari.

Kamu boleh berhenti sebentar. Kamu boleh istirahat. Kamu boleh menunda. Kamu boleh tidak hebat. Karena yang paling penting, kamu tetap hidup. Kamu tetap mencoba. Dan itu sudah luar biasa. Hidup ini bukan soal menang terus. Tapi soal tetap berjalan, meski perlahan. Tetap bangun, meski pernah jatuh. Tetap mencintai hidup, meski pernah kecewa berkali-kali. Dan kamu sedang melakukannya dengan sangat baik. Terima kasih, ya, sudah bertahan sejauh ini. Aku bangga padamu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Heaven's Song
320      210     0     
Short Story
Kisah ini dideikasikan untuk : Orang-orang yang tanpa pamrih mendoakan dan mengharapkan yang terbaik. Memberi dukungan dengan ikhlas dan tulus. Terimakasih. Terimakasih karena kalian bersedia menunjukkan bahwa kasih tidak mengenal rentang waktu dan dimensi, Terimakasih juga karena kalian menunjukkan doa yang penuh kerendahan hati dan keikhlasan adalah hal yang terindah bagiNya.
Epic Battle
484      377     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Sebab Pria Tidak Berduka
112      93     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Catatan Takdirku
1024      659     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
CELOTEH KUTU KATA
37437      5930     16     
Fantasy
Kita adalah sekumpulan kutu yang banyak menghabiskan kata tanpa peduli ada atau tidaknya makna. Sebagai kutu kadang kita lupa bahwa hidup bukan sekedar berkata-kata, tapi lebih dari itu, kita harus berkarya. Berkaryalah walau hanya sepatah kata sebelum jiwa dan ragamu jadi mangsa kutu penghuni tanah.
Metafora Dunia Djemima
86      71     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
HABLUR
673      344     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...