Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Ada hari-hari ketika aku tidak butuh nasihat, solusi, atau motivasi. Aku hanya ingin bicara. Bercerita tentang betapa beratnya pagi itu, betapa kusut pikiranku, betapa aku bangun dengan dada sesak dan mata lelah. Tapi sering kali, ketika aku mulai membuka suara, yang datang justru adalah petuah—kalimat-kalimat panjang tentang bagaimana seharusnya aku merasa.

Padahal, aku cuma ingin didengar. Itu saja.

Sejak kecil, aku terbiasa memendam. Kalau aku sedih, aku diam. Kalau aku kecewa, aku senyum. Aku belajar bahwa mengeluh dianggap lemah, menangis dianggap kekanak-kanakan, dan mengungkapkan rasa lelah dianggap manja. Maka aku tumbuh dengan kepala penuh cerita yang tak pernah keluar, dan dada penuh sesak yang tak tahu cara keluar. Tapi ada satu malam yang mengubah semuanya. Malam itu aku duduk di beranda rumah, dengan hoodie lama dan teh yang sudah dingin. Angin berdesir pelan. Kota sudah sepi, hanya ada suara anjing tetangga menggonggong sesekali. Lalu tiba-tiba, dari deretan notifikasi yang biasanya penuh dengan promo belanja online dan grup alumni yang sunyi, satu pesan muncul. Dari Reza.

“Masih bangun?”

Aku tidak langsung jawab. Tapi beberapa menit kemudian, aku mengetik, “Iya. Lagi pengen diem aja.”

Dan balasan darinya sangat sederhana.

“Oke. Kalau pengen cerita, aku dengerin ya.”

Kalimat itu—ringkas dan hangat—seperti melepaskan banjir yang sudah terlalu lama tertahan di bendungan. Aku akhirnya membalas panjang. Tentang pekerjaanku yang makin melelahkan, tentang orang-orang yang terus menuntutku untuk kuat, dan tentang betapa kesepiannya aku di tengah keramaian. Reza tidak memotong. Tidak menyela dengan kalimat seperti, “Kamu harus bersyukur,” atau “Coba deh lihat sisi positifnya.” Dia hanya mengetik kalimat-kalimat pendek seperti:

“Hmmm…”

“Pasti capek banget, ya.”

“Terus?”

Setiap katanya seperti pelukan yang tidak menyentuh fisik, tapi menghangatkan hati. Aku merasa tidak sendirian lagi. Malam itu, aku menyadari satu hal penting: didengar adalah kebutuhan manusia. Sama pentingnya dengan makan atau tidur. Kita bisa kelaparan secara emosional jika terus-menerus bicara ke tembok. Kita bisa merasa hampa jika semua kata yang kita ucapkan hanya menguap ke udara tanpa pernah ditangkap oleh siapa pun. Dan lebih dari itu, aku belajar untuk jadi pendengar yang lebih baik.

Karena sering kali, kita tidak sadar telah menjadi orang yang membuat orang lain menutup mulutnya. Kita terlalu cepat menghakimi, terlalu semangat menyarankan, terlalu sibuk menyamakan cerita orang dengan pengalaman kita sendiri. Padahal kadang, satu-satunya yang dibutuhkan teman kita adalah kita yang diam dan hadir sepenuh hati. Aku ingat waktu Mira—sahabatku sejak kuliah—mengirim voice note sambil nangis. Dia cerita kalau ayahnya masuk rumah sakit, dan dia harus menunda rencana pindah kerja ke luar kota. Aku, yang dulu terlalu semangat jadi “penolong”, langsung nyerocos, “Mungkin emang belum jalannya, Mir. Semua pasti ada hikmahnya!”

Dan Mira hanya menjawab, “Aku tahu. Tapi aku cuma pengen cerita, bukan diceramahi.”

Sejak saat itu, aku belajar untuk diam lebih lama. Untuk tidak buru-buru memberikan solusi, karena tidak semua hal harus segera dibetulkan. Kadang luka itu hanya perlu dibiarkan terbuka agar bisa sembuh pelan-pelan, dengan ditemani. Aku tahu rasanya jadi orang yang hanya ingin didengar. Yang ingin cerita tanpa takut dipotong. Yang ingin menangis tanpa diberi label drama. Dan aku juga tahu betapa berharganya orang yang bisa menjadi telinga tanpa menghakimi. Sekarang, setiap kali ada teman yang datang padaku dengan beban, aku menahan diri untuk tidak langsung bicara. Aku biarkan mereka menyelesaikan kalimatnya. Aku peluk mereka dengan perhatian yang tidak terdengar, tapi terasa. Dan ketika mereka bilang, “Makasih ya udah dengerin,” aku merasa itulah bentuk cinta yang paling tulus.

Karena mendengar adalah bentuk cinta yang tidak banyak dibicarakan.

Banyak orang mengira cinta adalah memberi, melakukan, atau menyelamatkan. Tapi cinta juga bisa hadir dalam bentuk seseorang yang duduk di sebelahmu, tidak bicara apa-apa, tapi matanya berkata, “Aku ada di sini.” Aku pernah bertemu orang yang sangat cerewet, tapi hatinya dingin. Dan aku pernah bertemu orang yang jarang bicara, tapi kehadirannya menenangkan. Sekarang, aku memilih menjadi orang yang bisa menghadirkan rasa aman lewat keheningan. Karena tidak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata—tapi semua luka bisa merasa lebih ringan jika ada yang mendengar. Jika kamu membaca ini dan merasa lelah karena tak ada yang mau mendengarkanmu, aku ingin bilang satu hal:

Aku tahu rasanya.

Aku tahu rasanya ingin bercerita tapi tak tahu harus ke siapa. Aku tahu rasanya ketika kamu mengetik panjang di kolom chat, lalu menghapus semuanya karena merasa tidak akan ada yang benar-benar peduli. Aku tahu rasanya menangis di kamar sendiri, sambil berharap ada satu orang saja yang mau bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”

Dan karena aku tahu, aku akan jadi orang yang bisa mendengar. Untuk diriku sendiri. Untuk orang lain yang mungkin sedang butuh telinga. Karena mendengar bukan sekadar mendengar suara, tapi menangkap isi hati. Malam itu, setelah aku selesai bercerita ke Reza, aku merasa seperti habis mandi setelah kehujanan. Badanku masih lelah, tapi hatiku terasa bersih. Bukan karena masalahku selesai, tapi karena aku tidak merasa sendirian lagi. Dan mungkin, itu yang kita butuhkan di dunia ini: seseorang yang membuat kita merasa bahwa kita tidak sendirian.

Sejak malam itu, aku juga mulai membuat sebuah kebiasaan kecil: menyediakan waktu lima belas menit setiap malam untuk menulis apapun yang aku rasakan hari itu. Bukan karena aku ingin menjadi penulis hebat, tapi karena aku ingin menjadi teman yang mendengarkan diriku sendiri. Ternyata, itu penting juga—menjadi pendengar bagi diriku yang sering bicara dalam hati, tapi tak pernah aku dengarkan betul-betul.

Tiap malam, aku tulis kalimat-kalimat seperti:

“Hari ini aku nahan tangis di depan laptop, karena bos nyalahin aku atas hal yang bukan salahku. Aku senyum di meeting, tapi pas ke toilet, aku pengen mewek sambil jongkok.”

Atau...

“Tadi siang aku lihat anak kecil nangis karena ibunya tinggalin dia sebentar, dan entah kenapa aku juga ikut sedih. Apa karena aku juga pernah merasa ditinggal?”

Kadang lucu sih, aku jadi ngobrol sama diri sendiri seperti lagi curhat ke sahabat imajiner. Tapi ternyata, itu bikin aku merasa lebih dekat dengan diriku. Aku jadi paham, “Oh, ternyata aku sedang takut.” atau “Oh, ternyata aku cuma butuh pelukan, bukan solusi.” Dan sejak itu juga, aku lebih jujur pada orang lain.

Kalau aku lagi nggak baik-baik saja, aku bilang: “Aku lagi pengen diem dulu ya, tapi makasih udah nanyain.”

Kalau aku merasa kesepian, aku kirim pesan ke teman: “Malam ini bisa telpon sebentar nggak? Aku cuma pengen cerita.”

Kadang aku takut dianggap merepotkan. Tapi ternyata, ketika aku berani membuka diri, aku menemukan bahwa banyak orang yang diam-diam juga merasakan hal yang sama. Dan itu menciptakan ruang yang jujur dan hangat di antara kami. Ada malam ketika Naya—teman SMA-ku yang jarang ngobrol—mengirim pesan setelah aku unggah tulisan pendek tentang rasa lelah di Instagram Story. Dia bilang, “Makasih udah nulis itu. Aku juga ngerasa gitu, tapi selama ini aku kira aku cuma drama.”

Kami akhirnya telepon sampai jam dua pagi. Kami sama-sama tertawa, menangis, dan mengucapkan kalimat yang lama tertahan: “Aku capek.” Ternyata, banyak dari kita hanya menunggu satu orang yang cukup berani untuk jujur lebih dulu. Dan saat itu terjadi, pelan-pelan kita semua mulai saling membuka. Bukan untuk mencari solusi instan, tapi untuk menemukan bahwa kita tidak sendirian di dunia ini. Bahwa ada orang lain yang merasakan hal yang sama, dan tidak apa-apa untuk merasa begitu.

Satu waktu, aku pernah iseng bertanya ke beberapa teman: “Apa kamu punya seseorang yang bisa kamu ajak bicara tanpa takut dihakimi?”

Sebagian menjawab iya, tapi lebih banyak yang menjawab tidak yakin. Dan itu membuatku sedih. Karena seharusnya, dunia ini penuh dengan ruang aman. Ruang di mana orang bisa berkata, “Aku tidak kuat,” tanpa langsung disuruh kuat. Ruang di mana air mata tidak disuruh kering, tapi dibiarkan jatuh sampai reda. Ruang di mana kesedihan tidak dianggap aib, tapi dimengerti sebagai bagian dari menjadi manusia.

Aku ingin menjadi ruang itu. Untuk temanku. Untuk orang asing yang mungkin tanpa sengaja membaca tulisanku. Untuk diriku sendiri.

Dan tahu nggak? Ketika kita mulai bisa hadir untuk orang lain tanpa syarat, kita pun pelan-pelan sembuh. Karena ada kekuatan ajaib dalam mendengarkan: kita menyembuhkan orang lain, sekaligus menyembuhkan diri sendiri. Aku ingat, satu waktu aku duduk di kafe kecil sendirian. Di meja sebelah, ada dua orang yang kelihatan habis bertengkar. Yang satu menangis, yang satu lagi tampak bingung. Tapi si teman yang menangis terus bicara sambil sesenggukan, dan aku lihat, si teman satunya... tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. Menatap matanya, dan mengangguk pelan.

Itu cukup.

Itu lebih dari cukup.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukan kata-kata yang sempurna. Tapi kehadiran yang tulus. Tatapan yang berkata, “Aku tidak akan pergi meskipun kamu sedang berantakan.”

Dan hari itu aku tahu—aku ingin jadi orang seperti itu. Yang tidak buru-buru menilai. Yang tidak merasa harus jadi pahlawan. Tapi cukup jadi pelabuhan tempat seseorang bisa menambatkan lelahnya, meski hanya sebentar. Kita hidup di dunia yang terlalu bising. Di mana semua orang bicara, tapi sedikit yang benar-benar mendengarkan. Maka jika kamu bisa menjadi satu dari sedikit itu, kamu membawa perubahan yang nyata. Kadang, kebaikan tidak datang dari memberi nasihat, tapi dari memberi ruang. Kadang, cinta tidak terlihat dari pelukan, tapi dari telinga yang sabar menyimak. Dan kadang, jadi pendengar yang baik jauh lebih menyelamatkan daripada jadi penasihat yang pandai.

Jadi, kalau hari ini kamu merasa ingin cerita—ceritalah.

Kalau tidak ada orang yang bisa kamu ajak bicara, tulislah. Atau rekam suaramu sendiri. Atau menatap cermin dan katakan, “Aku tahu kamu lagi capek. Tapi kamu nggak sendirian.”

Karena kamu memang nggak sendirian.

Mungkin aku tidak mengenalmu. Tapi aku tahu rasa yang kamu simpan. Aku tahu bagaimana rasanya merasa kecil, sendirian, dan tidak didengar. Aku tahu rasanya menulis panjang di grup WhatsApp lalu tak ada satu pun yang membalas. Aku tahu rasanya ingin bicara, tapi tenggorokanmu terasa tersumbat rasa malu dan takut dianggap lemah. Tapi hari ini, di sini, aku mau bilang: kamu berhak bicara. Kamu berhak mengeluarkan isi hati. Kamu berhak tidak baik-baik saja dan ingin didengar.

Dan semoga, satu hari nanti, kamu akan bertemu orang yang membuatmu merasa cukup hanya dengan berkata, “Aku di sini, dengarkan aku.”

Dan dia menjawab, “Aku mendengarkan.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lihatlah Keluar
568      434     3     
Short Story
Mentari mulai menyentuhku , menembus jendela kamar dan membangunkanku perlahan. Ayam berkokok dengan lantang menandai pagi sudah datang. Akankah kita diam menyesali keadaan?
Help Me Help You
1725      1020     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Wabi Sabi
96      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Seharusnya Aku Yang Menyerah
116      99     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Sweet Seventeen
985      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
PETI PUSAKA
544      370     4     
Short Story
Impian bisa saja terpendam di relung seseorang. tapi tidak ada yang tahu jika sebuah keyakinan bisa mengangkat kembali impian itu, walaupun orang lain yang mewujudkannya.
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
277      238     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Can You Hear My Heart?
455      270     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1869      760     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...