Dulu aku pikir, hidup adalah lomba lari estafet tanpa garis finish. Setiap kali satu masalah selesai, tongkat berikutnya datang dan aku harus terus berlari. Tidak ada jeda. Tidak ada waktu untuk berhenti sebentar dan mengambil napas. Aku harus kuat. Harus sigap. Harus tangguh. Namun, tubuhku mengirimkan sinyal. Kepalaku berat, mataku perih, dan dadaku sesak seperti ditindih ransel penuh batu bata. Tapi tetap saja aku bilang pada diriku sendiri, "Sedikit lagi. Bertahan sedikit lagi." Sampai akhirnya, aku terbangun suatu pagi dengan tubuh yang enggan bangkit dari tempat tidur. Aku memandang langit-langit kamar dan merasa dunia berputar terlalu cepat, padahal aku belum siap berlari. Saat itulah, untuk pertama kalinya, aku bertanya, "Apa aku boleh beristirahat?"
Bukan karena aku malas. Tapi karena aku lelah. Lelah menjadi segalanya bagi semua orang, sementara aku sendiri merasa hampa. Lelah menahan tangis agar tidak jatuh saat sedang tersenyum di depan orang lain. Lelah berpura-pura kuat, padahal yang ingin aku lakukan hanya duduk di pojok ruangan dan diam. Aku mulai menyadari bahwa beristirahat bukan bentuk kelemahan. Justru, di situlah kekuatannya. Ketika seseorang tahu batasnya, tahu kapan harus berhenti sejenak, itu adalah keberanian yang sesungguhnya. Hari itu aku memutuskan untuk mengambil hari libur. Bukan ke pantai. Bukan ke gunung. Tapi ke dalam diriku sendiri.
Aku mematikan notifikasi. Mengabaikan grup yang penuh dengan pesan kerja. Aku membuat teh hangat, memeluk bantal, dan menyalakan playlist lagu yang menenangkan. Tak ada target. Tak ada rencana. Aku hanya ingin duduk, bernapas, dan merasa. Mungkin menangis sedikit. Mungkin tertawa tiba-tiba. Mungkin hanya menatap dinding dan mendengarkan suara hujan yang jatuh pelan-pelan di luar jendela. Hari itu aku tidak melakukan apa-apa. Tapi hatiku terasa penuh. Penuh dengan perasaan yang selama ini aku tekan. Kesedihan yang tidak sempat aku proses. Rasa takut yang aku bungkam. Dan harapan kecil yang ternyata masih menyala dalam gelap.
Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu sibuk menjadi versi terbaik dari diriku, sampai lupa menjadi versi yang paling jujur. Aku ingin tampil mengesankan, sampai lupa caranya menjadi manusia biasa. Aku terlalu takut dianggap gagal, sampai lupa bahwa gagal juga bagian dari perjalanan. Istirahat bukanlah tanda menyerah. Tapi cara untuk mengisi ulang. Layaknya baterai, tak peduli seberapa canggihnya, kalau tidak di-charge, ya habis juga. Dan aku bukan robot. Aku manusia. Dengan luka. Dengan cerita. Dengan air mata dan senyum yang kadang muncul di waktu yang sama. Saat aku duduk diam, aku mulai melihat dengan lebih jernih. Hal-hal kecil yang dulu terasa membebani, ternyata tidak terlalu penting. Ekspektasi orang lain yang dulu aku pikir harus aku penuhi, ternyata bisa aku abaikan. Dan suara hatiku yang selama ini tenggelam oleh bising dunia, akhirnya terdengar lagi—pelan, tapi jelas.
"Aku butuh waktu," kata hati kecilku.
Waktu untuk memeluk diri sendiri. Waktu untuk tidak melakukan apa-apa tanpa merasa bersalah. Waktu untuk memahami bahwa aku tidak harus terus kuat. Tidak harus selalu ada untuk semua orang. Tidak harus jadi pahlawan di setiap cerita. Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri bukan tentang memanjakan ego. Tapi tentang menghargai tubuh dan jiwa yang sudah berjuang sejauh ini. Tentang memberi ruang untuk merasa, bukan hanya berfungsi. Tentang memberi izin pada diri sendiri untuk berhenti sejenak, tanpa harus memberi penjelasan pada siapa pun.
Dan lucunya, ketika aku mulai memberi waktu untuk beristirahat, aku justru merasa lebih hidup. Aku mulai bisa tertawa tanpa beban. Mulai bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk. Mulai bisa melihat matahari pagi bukan sebagai ancaman, tapi sebagai awal baru yang penuh kemungkinan. Kadang, hidup memang tidak memberi kita pilihan selain terus berjalan. Tapi di sela-sela langkah panjang itu, kita selalu bisa memilih untuk duduk sebentar, memandang ke belakang, dan berkata, "Terima kasih sudah sejauh ini."
Kita berhak untuk lelah. Berhak untuk tidak tahu. Berhak untuk bingung dan takut. Dan yang paling penting, kita berhak untuk beristirahat. Untuk tidur lebih lama. Untuk membiarkan cucian menumpuk. Untuk tidak membalas chat. Untuk bilang, "Maaf, aku sedang ingin sendiri dulu." Karena tidak ada penghargaan khusus untuk orang yang memaksakan diri sampai jatuh. Tidak ada medali untuk yang terus tersenyum meski hatinya hancur. Tapi ada kedamaian yang luar biasa bagi mereka yang berani berkata, "Aku butuh waktu untuk sembuh."
Dan hari itu, aku memilih damai.
Sore itu langit mulai beranjak senja. Warna oranye keemasan menyelimuti langit seperti selimut tipis yang hangat. Di teras kecil rumah kontrakanku yang sederhana, aku duduk dengan secangkir teh hangat dan buku catatan yang sudah mulai penuh dengan coretan-coretan hati. Hari ini aku memutuskan untuk benar-benar berhenti. Bukan menyerah, tapi beristirahat. Satu hal yang baru kusadari belakangan ini adalah: hidup tak akan berhenti hanya karena aku memilih untuk duduk sejenak. Dunia akan tetap berjalan, bahkan tanpa aku terbirit-birit mengejarnya. Aku teringat beberapa bulan lalu, saat tubuhku menolak untuk bangun dari tempat tidur. Bukan karena malas, tapi karena terlalu lelah untuk menjelaskan pada dunia bahwa aku sebenarnya sudah mencoba sekuat mungkin. Ada luka yang tak terlihat, ada tangis yang tertahan di balik senyum, ada perjuangan yang tak sempat masuk feed Instagram.
Dan jujur saja, aku sempat marah pada diriku sendiri. Mengapa aku tidak seperti orang lain yang bisa terus bergerak? Mengapa aku tak sekuat mereka yang bisa tersenyum saat hatinya koyak?
Tapi sekarang aku tahu. Aku memang tidak seperti mereka. Aku tidak harus seperti mereka.
Aku menghela napas panjang, menatap langit, dan membiarkan udara masuk perlahan. Rasanya seperti pertama kalinya aku benar-benar bernapas untuk diriku sendiri. Bukan untuk memenuhi ekspektasi, bukan untuk membuktikan apa-apa—hanya untukku, sebagai manusia.
Di tengah diamku, aku menulis satu kalimat besar di buku catatanku:
"Aku berhak beristirahat, tanpa rasa bersalah."
Kata-kata itu seperti mantra yang menyembuhkan. Aku mengulanginya dalam hati. Lagi dan lagi. Karena dunia tak akan pernah memberi kita izin untuk berhenti. Kita sendiri yang harus berani mengambilnya. Beberapa hari terakhir aku sengaja offline. Grup WhatsApp kerja dibiarkan sepi, email tidak kubuka, dan semua notifikasi kupadamkan. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku sedang belajar peduli pada diriku sendiri lebih dulu. Anehnya, aku malah merasa hidup. Aku menemukan kembali rasa syukur dalam hal-hal sederhana. Suara burung pagi hari. Aroma nasi putih yang baru matang. Tawa anak kecil yang lewat di depan rumah. Semua terasa seperti hadiah kecil dari semesta, yang dulu luput kulihat karena terlalu sibuk mengejar hal-hal besar. Di waktu-waktu seperti ini, aku belajar bahwa menjadi produktif itu bukan berarti selalu menghasilkan sesuatu. Kadang, produktif berarti merawat diri sendiri. Tidur cukup. Makan dengan tenang. Tertawa tanpa alasan. Dan berani bilang, “Aku butuh istirahat.” Hari ini aku juga menolak ajakan nongkrong dari teman-teman. Bukan karena tak ingin bersosialisasi, tapi karena aku ingin memeluk sunyi dulu. Aku ingin menyapa diri sendiri dengan lembut. “Halo, kamu yang sudah melewati banyak hal. Terima kasih karena masih bertahan sejauh ini.”
Aku juga mulai mengubah cara bicaraku pada diri sendiri. Yang dulu sering menyalahkan, kini perlahan menjadi lebih memahami. Jika dulu aku berkata, “Kamu gagal lagi,” sekarang aku bilang, “Kamu sedang belajar.” Jika dulu aku berkata, “Kamu lemah,” sekarang aku berkata, “Kamu manusia.” Malam menjelang. Aku menutup buku catatanku dan menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Seolah semesta sedang berkata, “Istirahatlah, anakku. Esok kau bisa melangkah lagi.”
Aku percaya, tak ada yang salah dengan berhenti sejenak. Kita ini bukan mesin. Bahkan mesin pun perlu istirahat agar tidak rusak. Maka mengapa kita memaksa diri untuk terus bergerak tanpa jeda? Dulu aku berpikir bahwa kebahagiaan datang dari pencapaian. Semakin banyak hal yang kulakukan, semakin layak aku merasa bangga. Tapi sekarang, aku tahu bahwa kebahagiaan juga bisa datang dari hal-hal yang sederhana: menerima, memaafkan, dan memberi waktu untuk pulih.
Hari ini, aku belajar bahwa diam bukan berarti lemah. Hening bukan berarti tidak berjuang. Justru di tengah diam, kita bisa mendengar suara hati paling jujur. Dan di tengah hening, kita bisa bertemu dengan diri sendiri yang selama ini terabaikan. Jika esok aku siap melangkah lagi, itu bukan karena aku memaksakan diri. Tapi karena aku telah memberiku waktu untuk sembuh. Karena aku telah mengizinkan diriku untuk berhenti, dan itu bukan kelemahan—itu keberanian.