Ada satu masa dalam hidupku di mana semua terasa... sunyi. Tapi bukan sunyi yang menyenangkan seperti sore dengan kopi dan hujan tipis-tipis. Ini semacam sunyi yang seperti menggigit hati pelan-pelan, seperti ruang kelas kosong yang dulu pernah penuh tawa, sekarang hanya menyisakan bangku berderit dan papan tulis penuh debu. Waktu itu, aku tidak merasa sedih secara dramatik. Tidak juga marah atau kecewa yang meledak-ledak. Aku hanya... diam. Diam yang aneh. Diam yang bahkan tidak tahu kenapa harus bicara. Semua hal yang biasanya menyenangkan terasa hambar. Aku menyukai hal-hal yang lucu, tapi waktu itu, bahkan meme kucing pun gagal membuatku tersenyum. Tapi, dari diam itu, aku belajar satu hal yang tidak pernah aku kira akan kupelajari: aku ternyata sedang bertumbuh.
Bertumbuh dalam diam itu bukan proses yang terlihat cantik. Tidak seindah bunga mekar atau kupu-kupu keluar dari kepompong. Ini lebih seperti benih yang tertanam dalam tanah gelap, jauh dari cahaya, dan tak ada yang melihat bahwa ia mulai bertunas perlahan. Tak ada tepuk tangan. Tak ada pelukan semangat. Hanya aku, diriku sendiri, dan kesunyian. Di masa itu, aku mulai banyak merenung. Bukan merenung seperti filsuf modern yang penuh kebijaksanaan, ya. Tapi merenung ala aku yang masih bingung kenapa hidup terasa capek banget. Aku menanyakan banyak hal kepada diriku sendiri.
“Kenapa aku harus terus jadi orang yang kuat di mata orang lain?"
"Apakah salah kalau aku nggak selalu bahagia?"
"Kalau aku istirahat dari semuanya, apa aku akan ditinggalkan?"
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti mainan spinner di kepala. Muter terus. Sampai kadang aku ketiduran karena capek mikir, tapi tetap bangun dalam keadaan yang sama: kosong. Di fase inilah aku mulai belajar menikmati diam. Aku mulai menulis, walau cuma di notes handphone. Aku menuliskan semua yang nggak bisa aku ucapkan. Tentang rasa takut, rasa lelah, rasa ingin menyerah, dan juga harapan kecil yang masih aku pegang.
"Aku tahu, aku belum selesai. Tapi aku juga tahu, aku belum kalah."
Kalimat itu entah kenapa muncul begitu saja di salah satu malam aku nggak bisa tidur. Mungkin itu suara kecil dalam diriku yang masih ingin berjuang, walau pelan-pelan. Diamku juga membuatku lebih peka. Aku mulai sadar betapa banyak orang di sekitarku yang juga sedang bertumbuh dalam diam mereka. Teman yang tiba-tiba jarang ngobrol, bukan karena sombong, tapi karena sedang berusaha memahami dirinya. Saudara yang tampak cuek, padahal sedang menahan tangis agar tak terlihat lemah. Atau ibu, yang tetap tersenyum setiap pagi, padahal mungkin semalam tidak bisa tidur karena memikirkan biaya hidup yang tak kunjung cukup. Bertumbuh dalam diam itu ternyata bukan aku saja. Kita semua pernah, atau sedang, atau akan melalui fase itu.
Lalu, datanglah satu pagi yang berbeda.
Aku bangun, dan entah kenapa merasa... lebih ringan. Tidak sepenuhnya bahagia, tapi ada sesuatu yang membuat aku ingin bergerak. Aku bangkit dari tempat tidur, membuka jendela, dan membiarkan udara pagi masuk ke kamar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menyeduh teh bukan karena kebiasaan, tapi karena memang aku ingin. Aku ingin hidupku kembali terasa. Aku sadar, bertumbuh itu bukan soal selalu bergerak maju. Kadang bertumbuh itu soal diam sejenak untuk merawat luka. Kadang soal mundur sedikit agar bisa melihat jalan lebih luas. Dan kadang, soal menangis pelan-pelan di bawah selimut agar kita bisa kuat lagi tanpa pura-pura.
Aku pun menulis lagi pagi itu. Tapi kali ini bukan keluhan. Aku menulis harapan. Bukan yang besar-besar seperti ingin sukses atau terkenal. Tapi harapan kecil, yang cukup untuk membuatku tersenyum.
"Aku ingin bisa tidur nyenyak malam ini."
"Aku ingin bisa bilang ‘nggak apa-apa’ dengan sungguh-sungguh."
"Aku ingin memaafkan diriku, pelan-pelan."
Dan ternyata, harapan-harapan kecil itu membuat hariku lebih bermakna. Seiring waktu, aku juga belajar satu hal penting: tidak semua hal harus diucapkan agar dianggap nyata. Ada cinta yang tumbuh dalam diam. Ada perjuangan yang tidak terlihat, tapi luar biasa. Ada keberanian yang tidak berteriak, tapi tetap menggetarkan hati. Aku mulai membuka diri, bukan untuk semua orang, tapi untuk orang-orang yang memang layak untuk tahu siapa aku. Aku tidak lagi memaksa untuk dimengerti oleh semua orang. Aku cukup dimengerti oleh mereka yang benar-benar mau melihatku, tanpa topeng. Ternyata, diamku bukan kegagalan. Diamku adalah jeda. Jeda yang membuatku bisa bernapas lagi, berpikir jernih lagi, dan mencintai diriku lagi.
Lucunya, aku jadi lebih suka dengan diriku sekarang. Yang tidak selalu sibuk membahagiakan orang lain, tapi juga peduli pada kebahagiaan diri sendiri. Yang tidak lagi merasa bersalah saat harus bilang "tidak". Yang tidak takut untuk istirahat. Yang tahu bahwa diam bukan kelemahan, tapi pilihan untuk menjaga kewarasan. Aku mulai jalan-jalan lagi, kadang sendiri. Aku duduk di kafe kecil, bawa buku, dan menulis lagi. Tapi kali ini bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin hadir utuh.
Dan kamu tahu apa yang paling menyenangkan dari proses ini?
Aku bisa tertawa lagi. Bukan tawa basa-basi, tapi tawa yang muncul dari hati. Tawa karena hal-hal kecil yang dulu terlewat: suara anak kecil di taman, ibu-ibu gosipin tetangga sambil jemur baju, atau kucing jalanan yang merasa jadi raja di trotoar. Aku juga lebih mudah bersyukur. Bukan karena hidupku jadi sempurna, tapi karena aku tahu: aku masih di sini, dan itu cukup untuk hari ini. Kamu yang sedang diam, kamu yang mungkin sedang merasa tidak penting, kamu yang sedang bingung arah hidupnya — percayalah, kamu sedang bertumbuh. Mungkin tidak terlihat. Mungkin tidak cepat. Tapi kamu bertumbuh. Dan itu luar biasa. Bertumbuh itu tidak harus ramai. Tidak harus dirayakan dengan kembang api. Kadang cukup dengan satu senyuman kecil di depan cermin, lalu bilang:
"Terima kasih, ya. Kamu sudah sejauh ini." Dan itu, buatku, adalah keajaiban dalam diam.