Aku pernah merasa seperti puzzle yang tercecer di lantai.
Potongan-potongannya berserakan: ada yang terinjak, ada yang tercebur ke kolong kasur, dan ada juga yang—nggak tahu kenapa—malah nyangkut di dalam kotak bekas mie instan. Aku lihat potongan diriku yang dulu utuh, kini tercerai-berai. Dan rasanya, untuk menyusunnya kembali seperti sedia kala itu... kayak nyoba main Tetris sambil gemetar karena minum kopi tiga gelas. Tapi ya, hidup kadang memang suka begitu. Melempar kita ke lantai tanpa peringatan, lalu bilang, “Yuk, bangkit!” padahal lutut masih cenut-cenut.
Aku ingat suatu malam, ketika aku duduk di kamar sendirian. Lampu temaram, playlist mellow diputar, dan segelas teh manis yang sudah dingin karena lupa diminum. Aku buka catatan digital di ponsel, nulis satu kalimat, lalu diam lagi.
"Apa yang tersisa dari diriku sekarang?"
Aku coba jawab:
Sisa dari tawa yang dulu tulus.
Sisa dari percaya diri yang dulu penuh.
Sisa dari mimpi-mimpi yang belum selesai.
Sisa dari hati yang pernah utuh, lalu retak, lalu belajar menyatu lagi.
Lucunya, di saat aku merasa paling berantakan, justru aku mulai sadar sesuatu: mungkin aku nggak perlu balik jadi yang dulu. Mungkin, aku memang harus jadi versi baru—versi yang tahu rasanya pecah, tapi tetap mau utuh lagi.
Dan dari situ, aku mulai menyusun ulang diriku. Pelan-pelan.
Seperti membersihkan kamar yang penuh kenangan. Aku mulai dengan satu sudut: kebiasaan tidur terlalu larut sambil overthinking. Aku ubah, jadi tidur sambil dengerin podcast ringan atau nonton video kucing di YouTube. Nggak menyelesaikan masalah sih, tapi setidaknya bikin senyum sebelum tidur. Lalu aku lanjut ke sudut lain: rasa tidak percaya diri. Aku mulai kasih pujian kecil buat diri sendiri. “Hari ini kamu bangun tepat waktu, keren!” atau “Kamu berhasil nolak drama yang nggak perlu, salut!” Hal-hal kecil itu lama-lama jadi semacam pelukan harian untuk diriku sendiri.
Satu waktu, aku ngobrol sama sahabat lama. Obrolan random yang awalnya cuma tentang kucing tetangga yang selalu duduk di motor orang. Tapi akhirnya nyambung ke soal hidup, soal kegagalan, soal mimpi yang nggak jadi-jadi. Dia bilang, “Lo tahu nggak sih, kadang kita butuh dibongkar dulu supaya bisa dibentuk ulang jadi lebih kuat.”
Aku mikir.
Iya juga, ya.
Kadang, kita kayak gelas yang pecah, tapi masih pengen diisi air. Padahal gelas itu butuh direkatkan dulu, dijemur, diberi waktu, supaya bisa berfungsi lagi. Dan rekatannya mungkin nggak akan membuat gelas itu terlihat sempurna, tapi justru di sanalah keindahannya.
Ada filosofi Jepang, namanya kintsugi—memperbaiki keramik yang pecah dengan emas. Bukan untuk menyembunyikan retakannya, tapi justru menonjolkannya. Karena retakan itu bagian dari sejarah, bagian dari cerita. Aku mulai membayangkan: kalau hatiku ini semacam piring yang pernah jatuh, mungkin sekarang sudah ada garis-garis emas di sepanjang retaknya. Dan itu bukan sesuatu yang harus aku sembunyikan, tapi justru aku rayakan.
Dalam proses menyusun ulang ini, aku belajar untuk tidak buru-buru. Aku belajar bahwa hari buruk itu bukan kemunduran, tapi jeda. Aku juga belajar bahwa menyembuhkan diri itu bukan perlombaan, tapi perjalanan penuh detour dan tikungan tak terduga. Aku mulai menikmati kebiasaan-kebiasaan baru: berjalan sore sendirian sambil lihat langit, nulis jurnal tiga baris sebelum tidur, atau cuma duduk diam sambil mendengar suara angin. Aneh ya, hal-hal kecil itu justru bikin aku merasa lebih hidup.
Satu malam, aku iseng menulis daftar “Potongan Diriku yang Ingin Aku Pertahankan dan Tambahkan.”
Isinya:
1. Tawa yang tulus, bahkan di tengah kelelahan.
2. Semangat untuk terus belajar, meski sering merasa bodoh.
3. Keberanian untuk bilang “tidak” tanpa merasa jahat.
4. Kebaikan hati, tapi kali ini dengan batasan yang sehat.
5. Rasa ingin tahu yang liar, dan keberanian untuk mengikuti rasa penasaran itu.
6. Kebiasaan nyanyi di kamar mandi, walaupun suaranya... ya, gitu deh.
7. Ketulusan mencintai—orang lain, tapi terutama, diri sendiri.
Aku baca ulang daftar itu, dan aku senyum.
Menyusun ulang diriku bukan berarti menjadi orang yang sepenuhnya baru, tapi menjadi versi terbaik dari gabungan semua pengalaman: yang manis, yang pahit, yang kecut kayak lemon, dan yang absurd kayak sinetron jam 7 malam. Aku juga mulai berdamai dengan masa lalu yang gagal. Bukan menghapusnya, tapi mengakuinya. “Iya, aku pernah salah.” “Iya, aku pernah terlalu berharap.” “Iya, aku pernah jatuh dan nggak langsung bangkit.”
Tapi sekarang, aku tahu jalan ke depan. Bahkan kalau belum terlihat jelas, aku tahu aku melangkah ke arah yang benar. Karena langkah kecil pun, kalau dilakukan terus-menerus, lama-lama menjadi tarian. Dan mungkin, dari potongan-potongan yang pernah hancur itu, aku bisa membentuk sesuatu yang baru. Bukan hanya indah, tapi juga lebih kuat. Lebih tahu arah. Lebih tahu siapa yang pantas ditunggu, dan siapa yang sebaiknya cukup dikenang.
Sekarang, ketika aku bercermin, aku melihat seseorang yang sedang dalam proses. Bukan sempurna, bukan juga selesai. Tapi seseorang yang sedang menyusun ulang hidupnya—dengan senyum yang tulus, dengan langkah yang pelan, dan dengan hati yang tetap berani.
Karena pada akhirnya, bukan tentang kembali seperti semula.
Tapi tentang menjadi seseorang yang lebih mengenal dirinya, lebih memaafkan dirinya, dan lebih mencintai dirinya...
...meskipun dari potongan-potongan yang pernah berserakan.