Aku pernah marah banget sama diriku sendiri.
Bukan karena aku pernah gagal dalam sesuatu yang besar. Tapi karena aku merasa jadi orang yang terlalu mudah percaya, terlalu gampang jatuh hati, dan terlalu keras kepala mempertahankan sesuatu yang sudah jelas-jelas menyakitiku. Kalau diriku ini orang lain, mungkin udah kutampar bolak-balik sambil bilang, “Sadar, woy! Kamu tuh berharga!”
Tapi sayangnya, diriku ya... aku sendiri.
Dan semakin aku marah, semakin dalam aku terjebak di dalam labirin rasa bersalah. Rasa bersalah karena membiarkan diri ini disakiti. Rasa bersalah karena tidak cukup kuat untuk meninggalkan. Dan yang paling menyakitkan: rasa bersalah karena merasa gagal jadi versi terbaik dari diri sendiri. Waktu itu aku kira, memaafkan diri sendiri itu kayak drama Korea. Tinggal duduk di bangku taman, mata berkaca-kaca, lalu monolog, “Aku memaafkan diriku sendiri...” lalu angin bertiup pelan, dan hidup jadi indah lagi.
Ternyata tidak, bestie.
Memaafkan diri sendiri itu seperti membersihkan kamar yang sudah bertahun-tahun tidak dibersihkan. Banyak debu kenangan, tumpukan kekecewaan, dan sarang laba-laba rasa malu. Kadang, baru buka pintunya aja udah pengen nangis dan kabur.
Tapi aku tahu, kamar itu harus dibersihkan.
Suatu hari, aku duduk di warung kopi langganan, ngopi sambil bawa buku harian yang sudah lama nganggur. Niat awal mau nulis quotes-quotes healing biar terlihat produktif di story Instagram, tapi tiba-tiba tanganku malah nulis sesuatu yang bikin jantung berdebar:
"Aku maafin kamu, ya."
"Maaf karena selama ini aku terlalu keras sama kamu."
"Maaf karena aku selalu bilang kamu lemah, padahal kamu cuma lelah."
"Maaf karena aku selalu menyuruhmu tegar, padahal kamu cuma ingin dimengerti."
Dan setelah aku tulis itu, aku diem. Lama. Aku lihat tulisan itu sambil mengerutkan dahi. “Apaan sih ini, mellow banget,” pikirku.
Tapi ada bagian dari diriku yang merasa lega. Seolah-olah seseorang dari masa lalu mendengar kata-kata itu dan akhirnya bisa istirahat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku nggak merasa hancur. Aku merasa... utuh, meskipun masih berantakan. Lucunya, di saat-saat seperti itu, datang hal-hal kecil yang terasa seperti pelukan dari semesta. Seorang teman tiba-tiba ngajak ngopi dan bilang, “Eh, gue salut loh, lu masih bisa ketawa padahal kemarin sempet drop banget.” Atau tiba-tiba nemu foto lama waktu aku senyum tanpa beban, dan aku pikir, “Ternyata aku pernah sebahagia itu, ya.”
Dari situ aku mulai percaya bahwa memaafkan diri itu bukan soal melupakan masa lalu, tapi belajar hidup berdampingan dengannya. Kayak temenan sama mantan yang udah move on. Kita tahu dulu pernah nangis-nangisan, tapi sekarang bisa ketawa bareng sambil bilang, “Yah, namanya juga hidup.” Aku juga mulai bikin rutinitas kecil yang kelihatannya sepele, tapi ternyata sangat membantu. Seperti mulai menyapa diri sendiri di cermin pagi-pagi. Awalnya canggung, “Selamat pagi... eh... semangat, ya...” Tapi lama-lama jadi kebiasaan. Kayak punya sahabat yang selalu ada setiap pagi—walaupun kadang rambutnya acak-acakan dan mata masih bengkak.
Memaafkan diri sendiri juga berarti tidak memaksakan senyum kalau memang ingin menangis. Ada hari-hari di mana aku cuma ingin tidur dan tidak ingin ngobrol dengan siapa pun. Dulu aku merasa bersalah saat itu terjadi, tapi sekarang aku tahu: istirahat bukan berarti menyerah.
Aku mulai bisa berkata “tidak apa-apa” ke diriku sendiri.
Tidak apa-apa kalau kamu masih belum sepenuhnya sembuh.
Tidak apa-apa kalau kamu masih takut.
Tidak apa-apa kalau sesekali kamu merasa kecil, selama kamu tidak lupa bahwa kamu tetap berarti.
Suatu malam, aku iseng nulis surat buat diriku lima tahun lalu.
Hai kamu,
Aku tahu kamu sedang merasa semuanya kacau. Aku tahu kamu sering merasa bodoh karena terus berharap pada orang yang salah. Tapi aku mau bilang, kamu nggak bodoh. Kamu cuma manusia. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku bangga sama kamu, meski kamu sendiri mungkin belum bisa merasa bangga. Dan kamu tahu apa? Kita masih di sini. Kita belum jadi orang paling sukses di dunia, tapi kita mulai bisa tertawa lagi. Dan itu cukup.
Malam itu, aku tidur dengan senyum kecil. Bukan senyum karena semuanya sudah baik-baik saja, tapi karena akhirnya aku tidak lagi merasa harus sempurna. Memaafkan diri sendiri itu bukan keputusan yang selesai dalam semalam. Tapi aku percaya, setiap hari kita bisa memilih untuk lebih lembut pada diri sendiri. Lebih sabar. Lebih pemaaf. Dan kalau perlu, kita bisa ngetawain kegagalan kita sambil makan mie instan tengah malam, lalu bilang, “Yah, setidaknya kita masih hidup.” Karena hidup memang nggak selalu indah. Tapi hidup juga nggak harus disesali terus-menerus.
Dan kalau aku bisa memeluk diriku yang dulu—yang pernah hancur, menangis diam-diam di kamar mandi, atau pura-pura kuat di depan banyak orang—aku cuma ingin bilang, “Terima kasih, ya. Karena kamu, aku bisa sampai di titik ini.” Aku belajar, bahwa sebelum dunia menerima kita, kita harus dulu berdamai dengan diri sendiri. Karena satu-satunya pelukan yang selalu bisa kita andalkan adalah pelukan yang datang dari dalam hati kita sendiri.
Dan sekarang, aku sedang belajar memeluk diriku, perlahan-lahan. Kadang dengan tawa, kadang dengan air mata. Tapi selalu dengan cinta yang lebih besar dari kemarin.