Ada sebuah kalimat yang sering terdengar di sekeliling kita: "Kamu harus kuat." Kata-kata itu muncul dalam berbagai bentuk, terkadang diucapkan dengan penuh pengertian, terkadang dengan sedikit tekanan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa bahwa kata-kata itu, meskipun memiliki niat baik, malah menjadi beban yang semakin berat. "Kamu harus kuat," seolah memberi pesan bahwa tidak ada ruang bagi perasaan rapuh, tidak ada izin untuk merasa lemah. Tapi siapa yang bisa terus kuat tanpa memberi ruang untuk merasa tidak baik-baik saja?
Aku ingat betul, ada masa-masa di mana aku berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku mengemas segala rasa sakit, kekecewaan, dan kebingunganku ke dalam kotak-kotak tersembunyi di dalam diriku, berharap tak ada yang tahu. Aku berusaha tersenyum, berbicara seperti biasa, dan menjalani hidup seolah-olah aku baik-baik saja. Namun, semakin lama aku berpura-pura, semakin aku merasa ada bagian dalam diriku yang mulai rapuh. Aku tahu, meskipun tampak utuh di luar, aku sedang berjuang keras untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku.
Hingga suatu titik, aku merasa kelelahan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasa lelah ini bukan hanya fisik, tapi juga mental. Aku merasa seperti robot yang terus berfungsi tanpa tujuan, tanpa arti. Bahkan, dalam keramaian sekalipun, aku merasa sendirian. Semua orang tampaknya bergerak maju dengan hidup mereka, sementara aku terjebak dalam perasaan hampa dan kosong yang tak kunjung hilang. Aku mulai merasa bahwa aku telah kehilangan arah, dan yang lebih parah lagi, aku mulai meragukan siapa aku sebenarnya.
Puncaknya datang pada suatu malam yang dingin. Aku duduk sendirian di kamar, memandangi langit yang gelap melalui jendela. Malam itu, semua perasaan yang aku simpan begitu lama, yang aku coba untuk lupakan, akhirnya datang begitu saja. Aku tidak tahu apa yang memicunya, tetapi tiba-tiba, semua rasa sakit itu terasa begitu nyata. Air mata yang selama ini kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa aku cegah. Dan pada saat itu, aku sadar: aku tidak baik-baik saja. Mengakui bahwa aku tidak baik-baik saja adalah salah satu hal yang paling sulit yang pernah kulakukan. Aku merasa seperti gagal, seperti tidak memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarku. Bukankah aku harus bisa menghadapinya sendiri? Bukankah aku harus bisa kuat? Bukankah aku harus bisa menjaga semuanya tetap baik-baik saja?
Tapi kemudian aku berpikir, mengapa kita begitu takut untuk mengakui kelemahan kita? Mengapa kita merasa malu untuk mengatakan bahwa kita tidak baik-baik saja? Mengapa kita merasa harus selalu kuat, padahal manusia, pada dasarnya, tidak sempurna? Mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru sebuah langkah besar menuju penyembuhan.
Aku mulai berbicara dengan teman-temanku tentang apa yang sedang terjadi dalam hidupku. Awalnya, itu terasa canggung dan sulit. Aku takut mereka akan menilai atau merasa kecewa. Namun, mereka justru memberi aku pelukan dan kata-kata yang menenangkan. Mereka memberitahuku bahwa tidak ada salahnya untuk merasa lelah, tidak ada salahnya untuk tidak selalu tampak kuat. "Kamu tidak perlu selalu baik-baik saja," kata salah satu dari mereka. "Tidak ada yang salah dengan mengakui kalau kamu sedang merasa terpuruk."
Perlahan, aku mulai merasa sedikit lebih ringan. Aku belajar bahwa tidak ada yang perlu aku sembunyikan. Aku bisa merasa lelah, merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa kesepian—dan itu sah. Kita semua punya batasan. Tidak ada yang harus terus bertahan tanpa memberi ruang untuk berhenti sejenak, untuk merasakan dan menerima perasaan kita.
Aku mulai membuka diri lebih banyak kepada orang-orang yang aku percayai. Setiap kali aku berbicara tentang apa yang aku rasakan, aku merasa seperti melepaskan sebuah beban. Rasanya seperti memberi izin pada diriku sendiri untuk merasakan segala hal yang selama ini aku pendam. Aku mulai menyadari bahwa menangis bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa aku manusia. Aku merasa lebih bebas, lebih utuh. Aku tidak lagi merasa harus menjalani hidup ini sendirian, menyembunyikan apa yang aku rasakan dari dunia luar.
Pada saat itu, aku juga mulai belajar untuk lebih menghargai diriku sendiri. Aku tidak lagi terlalu keras pada diriku, tidak lagi memaksakan diri untuk selalu menjadi sempurna. Aku belajar bahwa terkadang, yang kita butuhkan bukanlah kekuatan yang terus menerus, tetapi keberanian untuk menjadi rentan, untuk mengakui bahwa kita tidak selalu baik-baik saja.
Ada suatu malam, setelah aku berbicara dengan seorang teman dekat, aku merasa sedikit lebih lega. Kami duduk bersama di balkon, menikmati malam yang tenang, dan berbicara tentang hidup, tentang perjuangan, dan tentang bagaimana kita sering kali merasa terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi. "Aku merasa bebas," kataku, meskipun suara itu terasa gemetar. "Aku merasa seperti bisa menghirup udara lagi. Tidak perlu berpura-pura lagi." Dia tersenyum dan menjawab, "Kadang kita perlu jatuh untuk bisa bangkit lagi. Dan kamu tidak perlu melakukan itu sendirian."
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. "Kamu tidak perlu melakukan itu sendirian." Kalimat yang sederhana, namun begitu kuat. Itulah yang aku butuhkan—untuk tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku tidak harus menyembunyikan perasaanku. Aku tidak harus menjadi superwoman yang tidak pernah jatuh, yang selalu bisa menghadapi segalanya dengan senyuman. Aku bisa merasa rapuh, aku bisa merasa lelah, dan itu tidak mengurangi nilai diriku sedikit pun. Mengakui bahwa aku tidak baik-baik saja bukanlah sebuah akhir. Sebaliknya, itu adalah awal dari perjalanan penyembuhan. Itu adalah titik di mana aku mulai memberi izin pada diriku untuk merasa, untuk merasakan sakit, kebingungan, dan kekosongan. Itu adalah titik di mana aku mulai melepaskan semua harapan palsu tentang apa yang seharusnya aku rasakan dan menerima kenyataan bahwa hidup ini tidak selalu mudah.
Dengan perlahan, aku mulai menemukan kedamaian dalam diriku sendiri. Aku belajar untuk berhenti mengejar kesempurnaan dan memberi diriku ruang untuk tumbuh, untuk beristirahat, dan untuk sembuh. Aku tidak perlu menjadi sempurna untuk layak dicintai atau dihargai. Aku cukup dengan segala kelemahanku, dan aku mulai belajar untuk menerima diriku dengan penuh kasih. Aku tidak tahu apa yang akan datang di masa depan. Mungkin akan ada hari-hari ketika aku merasa terpuruk lagi. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak perlu menghadapinya sendirian. Aku tidak perlu berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku bisa meminta bantuan, berbicara tentang perasaanku, dan menerima kenyataan bahwa aku juga manusia yang berhak untuk merasa lelah, terjatuh, dan tidak selalu kuat.
Mengakui bahwa aku tidak baik-baik saja mungkin bukanlah hal yang mudah. Tapi itu adalah langkah pertama untuk mencintai diri sendiri dengan lebih tulus, untuk memberi ruang bagi perasaan dan kelemahan kita, dan untuk membebaskan diri dari ekspektasi yang tidak realistis. Pada akhirnya, kita tidak perlu kuat setiap hari. Kita hanya perlu berani untuk menjadi diri kita yang sebenarnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Mengakui bahwa aku tidak baik-baik saja juga mengajarkan aku untuk lebih empati terhadap diri sendiri. Terkadang kita terlalu sibuk mengejar harapan orang lain, hingga melupakan pentingnya untuk merawat diri kita sendiri. Aku menyadari bahwa perasaan buruk yang aku rasakan bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan atau diabaikan. Sebaliknya, perasaan itu adalah bagian dari siapa aku, dan dengan menerimanya, aku bisa mulai memperbaiki diriku.
Aku belajar untuk lebih sabar dengan proses penyembuhan diriku. Setiap hari bukanlah sebuah perlombaan untuk menjadi lebih baik, melainkan perjalanan yang penuh dengan langkah-langkah kecil. Kadang, aku hanya perlu berhenti sejenak, memberi ruang untuk diriku merasa, dan memberi waktu untuk proses itu berjalan. Aku sadar, tidak ada jadwal yang mengharuskan kita untuk sembuh dengan cepat, dan tidak ada standar yang mengukur seberapa cepat kita harus bangkit. Apa yang penting sekarang adalah bahwa aku tidak lagi merasa terperangkap dalam kebohongan tentang diriku sendiri. Aku tidak lagi merasa malu untuk mengakui bahwa aku tidak selalu baik-baik saja. Aku lebih sadar bahwa kekuatan terbesar ada dalam ketulusan kita untuk menerima diri sendiri, meski dalam keadaan yang paling rapuh sekalipun. Dan itu adalah pelajaran berharga yang akan terus aku bawa dalam hidupku.