Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Aku sering bertanya-tanya, apakah ada orang di dunia ini yang bisa menerima aku sepenuhnya—dengan segala kelemahan, luka, dan ketidaksempurnaan yang kubawa? Tidak jarang aku merasa seperti teka-teki yang terlalu rumit untuk diselesaikan, bagian-bagian dari diriku yang tersembunyi dan sulit dimengerti bahkan oleh diriku sendiri. Aku pikir, mungkin aku akan terus berjalan sendirian, membawa beban yang berat tanpa ada yang benar-benar melihat ke dalam. Namun, hidup selalu memiliki cara yang aneh untuk memberikan kejutan, seperti sebuah angin yang berhembus pelan, membawa perubahan yang tidak pernah kita duga. Aku bertemu seseorang yang mengubah pandanganku tentang diriku sendiri—seseorang yang tidak hanya melihat ke luar, tetapi juga berusaha mengerti dan menerima aku, dengan segala yang ada di dalam diriku.

Namanya Rafi. Kami bertemu secara tidak sengaja, seperti kebanyakan pertemuan yang terasa tak direncanakan, namun memiliki dampak yang luar biasa. Saat itu aku sedang duduk di sebuah kafe kecil, membaca buku yang sudah lama terabaikan, mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal kecil yang bisa sedikit mengalihkan pikiranku dari hiruk-pikuk dunia. Hari itu, seperti biasanya, aku merasa terasing, merasa tak ada yang benar-benar mengerti. Lalu, ia datang. Ia duduk di meja sebelahku, tidak begitu jauh, cukup dekat untuk bisa mendengar setiap desah napasku yang panjang, seperti aku mendengar isak tangis di dalam hatiku. Kami tidak langsung berbicara. Ia hanya melihatku sesekali, senyum kecil mengembang di wajahnya. Aku pikir, mungkin ia hanya merasa kasihan melihatku duduk sendirian, seperti halnya banyak orang yang sering melakukan. Namun, tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran.

Setelah beberapa menit, ia membuka pembicaraan. Bukan dengan kata-kata besar atau pertanyaan canggung seperti yang biasa orang lakukan saat mereka baru bertemu. Ia hanya bertanya hal sederhana, yang ternyata membuka ruang bagi kami untuk berbicara lebih banyak.

"Apakah kamu sering datang ke sini?" tanyanya dengan senyuman hangat.

Aku sempat terkejut, tapi menjawab dengan jujur, "Cukup sering. Tempat ini menenangkan."

Kemudian, pembicaraan kami mengalir begitu saja, mengalir tanpa tekanan, tanpa kecanggungan. Kami berbicara tentang buku yang kubaca, tentang musik yang kami sukai, dan tentang kehidupan yang tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Rafi tidak menghakimi, ia hanya mendengarkan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar memperhatikan diriku, tanpa melihat segala kekurangan yang aku pikirkan begitu dalam.

Hari demi hari, kami semakin dekat. Kami berbicara lebih banyak, tertawa lebih sering, dan aku merasa diriku menjadi lebih ringan, meskipun dunia di luar sana masih sama beratnya. Rafi bukanlah seseorang yang datang dengan solusi untuk semua masalahku. Ia tidak berusaha memperbaiki aku atau menunjukkan betapa kuatnya aku harus menjadi. Yang ia lakukan hanyalah hadir, dengan segala kesederhanaan dan kejujuran yang dimilikinya. Ia tidak pernah menuntut aku menjadi lebih dari diriku yang sekarang. Ia tidak mempermasalahkan kenyataan bahwa aku bisa sangat rapuh, atau bahwa aku sering merasa kehilangan arah. Yang ia lakukan adalah menerima aku dengan segala kekurangan itu, dan itu lebih berarti daripada apapun yang bisa kubayangkan.

Suatu malam, saat kami duduk di teras rumah, menatap langit yang dipenuhi bintang, aku berkata padanya, "Aku merasa sering kali dunia ini menuntut aku untuk kuat, Rafi. Tapi kadang aku hanya ingin menjadi manusia biasa, yang bisa menangis, yang bisa lelah, yang bisa merasa rapuh tanpa takut dihukum." Rafi hanya terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan lembut, "Kamu tidak perlu menjadi kuat setiap hari, karena kamu sudah cukup seperti apa adanya. Aku tidak peduli jika kamu merasa lelah atau rapuh, karena itu bagian dari siapa kamu. Yang penting adalah kamu tetap berusaha, tetap bertahan. Aku akan ada di sini, menerima kamu apa adanya, dengan segala yang ada dalam dirimu."

Tanggapan itu, sesederhana apapun, membuka hatiku. Tidak ada yang lebih melegakan daripada mendengar kata-kata itu—kata-kata yang menyentuh bagian terdalam dari jiwaku, yang selama ini terkunci rapat. Aku merasa seolah-olah beban yang selama ini kubawa, yang seringkali terasa begitu berat, bisa sedikit terangkat, hanya dengan menerima bahwa aku tidak harus sempurna untuk dihargai. Aku mulai belajar dari Rafi, bahwa kita tidak perlu mengubah siapa diri kita untuk mendapatkan penerimaan. Tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa dicintai. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada, dan berharap bahwa ada seseorang yang bisa melihat ke dalam, dan menerima kita begitu saja.

Namun, penerimaan itu tidak datang begitu saja tanpa tantangan. Ada kalanya, aku merasa takut—takut bahwa jika aku terlalu menunjukkan sisi rapuhku, aku akan kehilangan Rafi. Takut bahwa jika aku menunjukkan kelemahanku, ia akan melihatku sebagai seseorang yang tidak cukup baik untuknya. Tapi setiap kali aku merasa demikian, Rafi selalu ada, memberi ruang bagiku untuk menjadi diri sendiri, tanpa ada rasa takut untuk menjadi rapuh, untuk menjadi manusia biasa yang tidak selalu bisa kuat. Suatu malam, aku bertanya padanya, "Apa yang membuatmu begitu sabar dan menerima aku begitu saja, meskipun aku sering kali merasa tidak layak?"

Rafi tersenyum lembut, matanya berbinar, dan ia menjawab, "Karena aku tahu, setiap orang punya perjuangannya sendiri. Aku tidak menilai orang dari apa yang mereka tunjukkan ke luar, tapi dari bagaimana mereka berjuang untuk tetap bertahan, meski dunia kadang tidak adil. Kamu sudah cukup dengan semua yang kamu miliki, dan aku akan tetap ada di sini, tidak peduli apapun yang terjadi." Kata-kata itu mengalir seperti air yang menyegarkan jiwa yang lama dahaga. Rafi mengajarkanku bahwa untuk dicintai, kita tidak harus sempurna. Kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri, dengan segala kekurangan, kelemahan, dan kerentanannya. Dan lebih dari itu, kita harus belajar untuk menerima diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum berharap ada orang lain yang bisa menerima kita apa adanya.

Hari-hari yang kami jalani bersama semakin memperkuat rasa percaya diriku. Tidak lagi aku merasa harus menjadi seseorang yang sempurna, karena aku tahu bahwa Rafi sudah cukup menerima aku dalam segala ketidaksempurnaan yang ada. Kami saling mendukung, saling menguatkan, dan yang lebih penting, saling menghargai satu sama lain apa adanya. Aku tidak pernah merasa lebih berharga dari sebelumnya. Keberadaanku di dunia ini, meskipun tidak selalu sempurna, memiliki arti. Aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun, selain kepada diriku sendiri. Aku sudah cukup dengan semua yang ada dalam diriku. Rafi mengajarkan aku bahwa, pada akhirnya, yang terpenting adalah bisa menerima diri sendiri. Karena jika kita bisa menerima diri kita dengan segala kelemahan dan kekurangan, kita akan lebih mudah menerima orang lain dengan cara yang sama. Dan di atas semua itu, kita akan menemukan kedamaian yang tidak bisa dicari di tempat lain selain dari dalam hati kita sendiri.

Dan itulah yang Rafi ajarkan padaku—bahwa aku tidak perlu menjadi siapa-siapa selain diriku sendiri. Karena aku sudah cukup.

Hari-hari bersama Rafi semakin menunjukkan bahwa menerima diri sendiri adalah kunci untuk merasakan kedamaian. Aku mulai sadar bahwa tidak ada yang lebih indah daripada menjadi diri sendiri, tanpa perlu menyembunyikan kekurangan atau rasa takut akan penilaian. Rafi tidak hanya menerima aku apa adanya, tetapi juga menghargai setiap bagian dari diriku—baik yang terang maupun yang gelap. Kami belajar banyak hal bersama, tentang arti sabar, tentang pengertian, dan tentang bagaimana bisa saling mendukung meskipun kami berdua memiliki luka dan ketidaksempurnaan. Rafi mengajarkan aku bahwa kita semua layak diberi kesempatan untuk tumbuh, untuk belajar dari kesalahan, dan untuk menjadi lebih baik tanpa harus mengorbankan diri kita dalam prosesnya. Dan yang lebih penting, ia mengajarkan aku bahwa tidak ada salahnya menjadi rapuh, karena dalam kelemahan itulah kita justru menemukan kekuatan yang sejati—kekuatan untuk menerima, untuk mencintai, dan untuk bertahan.

Setiap kali aku merasa takut untuk menunjukkan sisi rapuhku, aku hanya perlu mengingat bahwa di dunia ini ada seseorang yang menerima aku sepenuhnya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa berharga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CELOTEH KUTU KATA
38903      6075     16     
Fantasy
Kita adalah sekumpulan kutu yang banyak menghabiskan kata tanpa peduli ada atau tidaknya makna. Sebagai kutu kadang kita lupa bahwa hidup bukan sekedar berkata-kata, tapi lebih dari itu, kita harus berkarya. Berkaryalah walau hanya sepatah kata sebelum jiwa dan ragamu jadi mangsa kutu penghuni tanah.
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
1932      841     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Sweet Like Bubble Gum
1787      1132     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
4202      1452     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
305      246     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
TANPA KATA
30      26     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
77      68     1     
True Story
Tanpo Arang
77      66     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
172      141     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Finding My Way
1158      695     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?