Ada ruang yang sulit dijelaskan, ruang yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah berdiri di tengah antara diam dan keinginan untuk didengar. Seperti ingin berteriak, tapi takut suara sendiri tak cukup keras untuk didengar siapa pun. Seperti ingin bicara, tapi lidah kelu, takut dikira lebay, takut dianggap beban.
Aku pernah ada di sana—dan mungkin masih sering kembali.
Diam bukan karena tak punya apa-apa untuk dikatakan, tapi karena terlalu banyak yang menumpuk hingga tak tahu harus mulai dari mana. Seperti air dalam gelas yang terlalu penuh, tumpah ke mana-mana, tak bisa ditampung, tapi juga tak tahu harus dialirkan ke mana.
Hari itu aku duduk di meja makan bersama dua temanku. Mereka tertawa, berbicara tentang banyak hal: pekerjaan, drama Korea terbaru, gosip selebritas yang menikah diam-diam. Aku ikut tersenyum, ikut mengangguk, ikut tertawa kecil. Tapi jiwaku—entah di mana. Rasanya seperti berada dalam tubuh yang tidak kuhidupi.
Dalam hati aku ingin berkata, “Aku lelah.”
Ingin bilang, “Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Tapi tak satu kata pun keluar.
Karena aku tahu, begitu kalimat itu terucap, atmosfer akan berubah. Mereka akan terdiam, lalu salah satu dari mereka mungkin akan berkata, “Yuk, jangan sedih dong. Kita happy-happy aja malam ini.” Dan aku mengerti. Tidak semua orang siap mendengarkan kesedihan yang tidak bisa diselesaikan dalam satu malam. Kadang bukan karena mereka tidak peduli. Tapi karena mereka tidak tahu harus merespons bagaimana. Sedih yang tidak punya solusi langsung kadang membuat orang bingung. Dan kebingungan itu membuatku akhirnya memilih satu hal: diam. Tapi diam itu bukan bentuk pasrah. Bukan juga tanda aku tidak butuh siapa-siapa. Diam itu... semacam pelindung. Agar aku tidak semakin merasa ditolak saat mencoba membuka diri. Diam itu seperti selimut, bukan untuk bersembunyi, tapi untuk menenangkan.
Meski begitu, bukan berarti aku tidak ingin didengar.
Aku ingin. Aku sangat ingin.
Ingin ada seseorang yang cukup sabar untuk duduk tanpa tergesa memberi solusi. Yang cukup berani untuk menatap mataku dan berkata, “Kamu boleh cerita, sebisamu. Aku di sini.” Ingin ada yang tak buru-buru menyimpulkan, atau menggurui, atau menyepelekan luka yang rasanya masih menganga. Aku tidak butuh motivasi instan. Tidak butuh nasihat dari buku-buku self-help. Kadang aku hanya ingin ditemani dalam sunyi. Diberi ruang untuk bernapas, tanpa dituntut segera membaik.
Dan kamu tahu? Tidak apa-apa ingin itu. Tidak apa-apa berharap untuk didengar.
Sebab manusia butuh pendengar seperti tubuh butuh udara. Bukan untuk mencari perhatian, tapi karena kita diciptakan untuk saling memeluk dengan kata, untuk saling menjaga lewat telinga yang benar-benar hadir. Aku pelan-pelan belajar untuk memberi tanda. Aku tidak bisa langsung bicara panjang lebar. Tapi aku mulai dari hal kecil. Seperti mengirim pesan, “Bolehkah aku cerita sesuatu? Mungkin agak berat.” Atau hanya menulis, “Aku sedang tidak baik-baik saja hari ini.” Dan kalau ada orang yang membalas dengan, “Aku di sini,” rasanya dunia tidak lagi terlalu berat. Tapi aku juga harus siap dengan kenyataan bahwa tidak semua orang bisa menjadi pendengar.
Dan tidak apa-apa.
Karena menjadi pendengar itu bukan kemampuan yang dimiliki semua orang. Butuh keberanian, butuh empati, dan sering kali butuh luka juga—karena orang yang pernah terluka biasanya lebih mampu memahami luka orang lain. Saat aku mulai lebih terbuka, aku menemukan satu dua orang yang ternyata bersedia duduk di seberang rasa sepi itu. Mereka tidak selalu tahu apa yang harus dikatakan, tapi mereka diam dalam cara yang menenangkan. Tidak menghakimi. Tidak mengejar jawaban.
Dan itu cukup.
Dari sana aku belajar: bukan jumlah teman yang menentukan kedamaian hati, tapi kedalaman relasi yang kita punya. Satu orang yang benar-benar hadir lebih bernilai dari sepuluh orang yang hanya tahu kita saat bahagia. Ada satu malam, aku duduk bersama seorang sahabat. Hujan turun perlahan di luar. Kami tidak bicara banyak. Tapi saat aku mulai bercerita, suaraku bergetar, dan air mataku tumpah. Aku mencoba menahan, tapi dia hanya berkata, “Nggak apa-apa nangis. Nggak semua luka harus kamu sembunyikan sendirian.”
Malam itu aku merasa didengar. Bukan hanya oleh telinganya, tapi oleh jiwanya.
Dan mungkin... itu yang selama ini paling kita cari. Didengar bukan karena kita menarik. Tapi karena kita manusia. Karena kita punya cerita yang layak untuk diberikan ruang. Semenjak itu, aku juga belajar menjadi pendengar yang baik. Karena aku tahu, betapa berharganya peran itu. Aku tidak selalu harus memberi solusi. Kadang cukup diam dan hadir. Cukup duduk di samping dan tidak pergi. Dan dari sana aku tahu, diam tidak selalu berarti menutup diri. Kadang diam adalah jembatan. Jembatan menuju keberanian kecil untuk akhirnya berkata, “Aku butuh didengar.”
Jika hari ini kamu belum bisa bicara, tidak apa-apa.
Jika kamu belum menemukan orang yang bisa mendengarkan, tidak apa-apa juga.
Tapi jangan berhenti mencoba. Jangan menutup pintu itu selamanya. Karena ada orang-orang yang diam-diam menanti ceritamu. Menanti dengan hati terbuka. Bukan untuk memperbaiki, tapi untuk menemani.
Dan di saat kamu siap, kamu boleh bicara.
Karena kamu layak didengar. Suaramu penting. Rasamu valid. Ceritamu punya tempat.
Dan kalau hari ini tidak ada yang bisa kamu ajak bicara, tulislah. Pada jurnal, pada dinding, pada langit malam, pada dirimu sendiri. Karena kadang, sebelum orang lain mendengarkan, kita harus terlebih dulu mendengar suara hati kita sendiri. Aku mulai percaya bahwa tidak semua keheningan itu hampa. Kadang, di dalam diam, ada doa yang tak bersuara, ada rindu yang tak bernama, dan ada luka yang sedang mencari tempat untuk disembuhkan. Aku ingat suatu malam ketika aku pulang kerja, terlalu lelah bahkan untuk membuka sepatu. Aku duduk di lantai ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, kota masih sibuk. Orang-orang berlalu, mobil melintas, lampu jalan menyala seperti biasa. Tapi di dalam diriku, ada keheningan yang menggerogoti. Perasaan kosong yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Aku ingin menelepon seseorang. Ingin mengatakan, “Aku butuh ditemani. Aku merasa sepi.” Tapi jemariku hanya menggantung di atas layar ponsel. Siapa yang bisa kuhubungi? Siapa yang tidak akan menganggap ini hal sepele? Siapa yang akan benar-benar mendengarkan?
Lalu aku meletakkan ponsel itu lagi. Diam. Seperti biasanya.
Tapi malam itu, aku menulis. Aku buka catatan di layar laptop dan mulai mengetik:
“Hai, kamu yang entah siapa, tapi kuharap kamu bisa mendengar aku tanpa menghakimi. Hari ini berat. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya merasa kosong. Lelah, tapi bukan fisik. Lebih seperti... kehilangan arah. Aku hanya ingin seseorang berkata, Nggak apa-apa. Aku ngerti.”
Dan anehnya, menulis itu seperti menumpahkan beban ke dalam kata. Seolah ada ruang baru di dada yang akhirnya bisa bernapas. Aku mulai mengerti, bahwa menjadi didengar tidak selalu berarti harus lewat suara. Kadang tulisan bisa lebih jujur. Kadang lembar kosong bisa menjadi pendengar terbaik. Namun, tetap saja, sebagai manusia... aku ingin nyata. Ingin seseorang menatap mataku dan berkata, “Aku di sini.” Tulisan bisa menyembuhkan sebagian luka, tapi pelukan? Itu lain cerita. Kehangatan tangan yang menggenggam, kehadiran seseorang yang tak berkata apa pun tapi tetap bertahan di sampingmu—itulah bentuk cinta yang tak bisa ditiru oleh layar atau huruf.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk membuka sedikit pintu itu. Aku menemui seorang teman lama. Seseorang yang dulu sempat dekat, lalu menjauh karena kesibukan. Kami duduk di sebuah kafe kecil yang tenang, aroma kopi dan roti manis mengisi udara. Awalnya kami bicara seperti biasa—tentang pekerjaan, tentang tren, tentang hal-hal ringan. Tapi aku beranikan diri. Aku katakan, “Akhir-akhir ini aku sering merasa kosong. Seperti... nggak tahu apa yang sedang kujalani.” Aku menunduk, takut reaksinya akan membuatku menyesal.
Tapi dia hanya diam sejenak, lalu berkata, “Aku juga.”
Dua kata itu membuat hatiku gemetar.
Bukan karena aku senang dia juga sedih, tapi karena akhirnya... aku tidak sendiri. Ada orang lain yang merasa seperti aku. Yang juga bingung. Yang juga mencari arah. Dan kami bicara lebih dalam malam itu. Tentang luka yang selama ini kami sembunyikan. Tentang harapan yang pernah patah. Tentang perasaan tidak cukup, tidak layak, tidak tahu arah.
Malam itu, aku merasa seperti pulang.
Ternyata, keinginan untuk didengar tidak pernah salah. Kita hanya terlalu lama membungkamnya, karena takut dicap rapuh. Padahal justru keberanian untuk bicara itulah yang membuat kita kuat. Dan aku tahu, mungkin tidak semua orang akan memahami. Tapi itu bukan berarti tidak ada satu pun yang bisa.
Kita hanya perlu mencoba—pelan-pelan.
Kadang, membuka diri bukan tentang menceritakan segalanya. Tapi cukup berkata, “Aku sedang tidak baik.” Itu pun sudah cukup untuk memberi sinyal. Dan jika orang itu peka, ia akan tahu harus bagaimana. Lambat laun, aku belajar membedakan mana yang benar-benar hadir dan mana yang hanya datang saat aku tertawa.
Dan itu membuatku lebih berhati-hati dalam memilih tempat untuk menaruh cerita.
Aku tak lagi mencari banyak orang. Aku hanya mencari yang tepat.
Dan kamu juga boleh.
Kamu boleh menutup diri dari mereka yang tidak benar-benar peduli. Kamu boleh memilih siapa yang kamu beri akses ke dalam duniamu. Itu bukan berarti kamu egois—itu artinya kamu sedang melindungi bagian paling rapuh dalam dirimu. Dan itu penting.
Sebab tidak semua telinga diciptakan untuk mendengar luka.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah pulih sepenuhnya. Tapi karena aku ingin kamu tahu: kamu tidak sendiri. Di luar sana ada banyak orang yang juga pernah merasa seperti kamu. Yang juga terjebak di antara diam dan keinginan untuk didengar. Yang juga bingung apakah suara mereka cukup penting untuk didengarkan.
Jawabannya: iya.
Suaramu penting. Ceritamu layak. Rasamu valid.
Dan kamu tidak perlu selalu pandai menjelaskan semuanya. Kadang cukup berkata, “Aku capek.” Itu pun sudah membuka jalan menuju penyembuhan.
Jika hari ini belum ada yang mendengarkan, tidak apa-apa. Suatu hari nanti, kamu akan bertemu seseorang—atau lebih dari satu—yang akan melihat kamu lebih dari sekadar senyum dan pencapaian. Yang akan melihat sisi rapuhmu dan tetap berkata, “Kamu tetap berharga.” Dan ketika hari itu tiba, kamu akan mengerti: bahwa selama ini, kamu bukan tidak layak didengar. Kamu hanya belum bertemu telinga yang tepat.
Sampai saat itu, kamu boleh diam. Tapi jangan padam.
Karena di balik keheninganmu, ada kekuatan besar: keberanian untuk terus hidup, meski belum didengarkan sepenuhnya.
Dan itu, bagiku, luar biasa.
Sejak hari itu, aku mulai memerhatikan lebih banyak hal. Wajah-wajah di sekitarku yang tampak baik-baik saja, tawa yang terdengar nyaring di kantor, status media sosial yang selalu tampak ceria—semuanya kini terasa seperti lapisan luar. Karena aku tahu, banyak dari mereka mungkin sedang mengalami hal yang sama sepertiku.
Penuh, tapi tak tahu harus menuangkan ke mana.
Aku belajar untuk lebih pelan dalam menghakimi. Untuk tidak buru-buru menyimpulkan seseorang lemah hanya karena ia memilih diam. Karena kadang, justru yang memilih diam itulah yang sedang berjuang keras untuk tidak meledak. Yang sedang berusaha menenangkan badai dalam dadanya agar tidak melukai siapa pun.
Diam itu rumit.
Ia bisa berarti banyak: menyerah, menjaga diri, menanti, atau bahkan bentuk cinta paling dalam—karena memilih tidak bicara agar tidak menyakiti. Dan kita tidak pernah benar-benar tahu cerita seseorang, kecuali jika mereka mau membuka diri. Tapi sebelum mereka bicara, mari belajar jadi ruang yang cukup nyaman untuk dituju. Bukan dengan pertanyaan-pertanyaan menghakimi, tapi dengan keberadaan yang hangat.
Ada satu momen yang tak akan kulupa.
Seorang rekan kerjaku—yang biasanya ceria dan cerewet—tiba-tiba sering datang terlambat, duduk menyendiri saat makan siang, dan terlihat sering termenung. Sebagian orang mulai membicarakan di belakangnya. “Kayaknya dia lagi ada masalah,” kata satu suara. “Mungkin ada drama di rumah tangganya,” sambung yang lain.
Tapi aku tahu bagaimana rasanya jadi ‘yang dibicarakan’. Jadi aku mendekatinya. Tidak dengan basa-basi panjang. Hanya dengan satu kalimat, “Aku nggak tahu apa yang sedang kamu alami, tapi kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku di sini.” Dia tidak langsung menjawab. Hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tapi beberapa hari kemudian, dia menghampiriku di pantry, matanya berkaca-kaca, dan berkata, “Terima kasih karena nggak bertanya macam-macam. Tapi tetap hadir.”
Dari situ aku tahu, kadang kebaikan tidak datang dari banyak bicara. Tapi dari keberanian untuk hadir, dari kesiapan mendengarkan saat orang lain belum siap berbicara. Menjadi pendengar bukan hanya soal telinga, tapi juga soal hati.
Kita semua butuh tempat untuk kembali. Dan sering kali, bukan rumah megah atau sahabat ramai yang membuat kita merasa pulang. Tapi satu momen ketika kita benar-benar didengarkan—tanpa diburu-buru, tanpa disela, tanpa dihakimi.
Itulah yang ingin terus aku pelajari: menjadi ruang untuk orang lain, dan juga memberikan ruang untuk diriku sendiri.
Karena aku pun masih belajar menemukan suara dalam kepalaku.
Masih belajar membedakan mana suara rasa takut dan mana suara hati yang jujur. Masih belajar bicara jujur pada diri sendiri: apa yang benar-benar kuinginkan? Apa yang benar-benar kurindukan?
Dan pelan-pelan, aku mulai menyadari sesuatu.
Selama ini, aku bukan hanya ingin didengar oleh orang lain. Aku juga ingin didengar oleh diriku sendiri. Karena terlalu sering aku memaksa diri untuk “baik-baik saja” tanpa benar-benar mendengar apa yang tubuh dan hatiku coba sampaikan. Ada hari-hari ketika tubuhku lelah, tapi aku paksa bekerja lebih lama. Ada malam-malam ketika hatiku sedih, tapi aku paksa tersenyum demi menjaga citra. Dan itu melelahkan. Bukan hanya fisik, tapi batin juga ikut koyak.
Sampai akhirnya aku berkata pada diri sendiri, “Mulai sekarang, kita dengarkan tubuh ini. Kita dengarkan hati ini. Kita izinkan diri kita bicara.”
Dan tahukah kamu?
Rasanya luar biasa.
Untuk pertama kalinya, aku menangis dan tidak merasa bersalah. Untuk pertama kalinya, aku beristirahat tanpa merasa malas. Untuk pertama kalinya, aku berkata “tidak” tanpa merasa takut ditinggalkan. Karena aku tahu, mendengarkan diri sendiri adalah bentuk cinta yang paling murni. Bukan cinta yang menuntut, tapi yang menerima. Bukan cinta yang memaksa berubah, tapi yang memberi ruang untuk tumbuh. Dunia bisa terlalu bising. Kita dijejali opini, standar, tuntutan. Tapi di tengah kebisingan itu, ada satu suara kecil yang sering kali kita abaikan—suara hati kita sendiri. Padahal, kalau kita belajar mendengarnya... ia selalu tahu jalan pulang.
Aku tidak bilang ini mudah. Aku pun masih tersesat, masih goyah, masih kadang kembali memaksa diri. Tapi sekarang, setidaknya aku tahu: ada pilihan untuk berhenti. Untuk diam sejenak. Untuk bertanya dengan lembut pada diri sendiri, “Kamu butuh apa hari ini?”
Dan jika kamu membaca ini sambil menahan tangis, sambil bertanya-tanya apakah kamu juga boleh bicara, jawabannya: iya.
Kamu boleh bicara.
Kamu boleh menangis.
Kamu boleh lelah.
Dan kamu tidak harus selalu bisa menjelaskannya dengan sempurna. Kadang cukup dengan satu kalimat: “Tolong, dengarkan aku.” Itu sudah lebih dari cukup untuk memulai penyembuhan. Dan jika hari ini belum ada orang yang kamu percaya untuk mendengar, tidak apa-apa. Kamu bisa mulai dari diri sendiri. Duduklah di depan cermin, atau pejamkan mata, lalu bisikkan pelan, “Aku di sini untuk kamu. Aku mendengarkan.”
Percayalah, suara itu akan jadi jangkar saat dunia terasa terlalu jauh.
Dan jika suatu saat kamu merasa sendiri di dunia yang penuh suara ini, ingatlah: di antara diam dan ingin didengar, ada kamu—yang tetap berjuang, tetap berharap, dan itu... sudah sangat luar biasa.