Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Vincia, membentuk garis-garis tipis di dinding. Namun, tidak mampu menghangatkan apa pun. Ruangan terasa kosong dan terlalu sunyi. Jam dinding berdetak pelan. Kicau burung dari luar jendela justru makin memperjelas sepinya.
Terjaga, Vincia membuka mata. Tubuhnya masih berat, enggan beranjak. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar. Tidak ada semangat atau alasan kuat untuk bangun. Rasa kantuk tidak tersisa, tetapi matanya sudah enggan menutup lagi.
Vincia menarik selimut hingga menutupi setengah wajah. Sebenarnya, tubuhnya masih lelah setelah perjalanan ke stasiun kemarin sore. Ia mencari ibunya hanya untuk melepasnnya pergi lagi. Hubungan mereka memang membaik, setidaknya sudah ada komunikasi, tetapi jarak itu tetap ada. Sekarang Gohvin juga pergi entah ke mana.
Perlahan, Vincia bangkit dari tempat tidur. Kakinya telanjang menyentuh lantai dingin. Langkahnya berat menuju pintu. Rasanya aneh, menghadapi pagi tanpa siapa pun di benak yang suka mengomentari betapa payahnya ia saat bangun.
Biasanya, Gohvin sedang sibuk di ruang makan menyiapkan sarapan. Lelaki itu akan mengucapkan selamat pagi. Namun, kini, tidak ada suara itu. Tidak ada langkah kaki tanpa suara. Tidak ada sarkasme hangat yang biasanya menyambut.
Bukan sedih, bukan marah. Perasaan Vincia lebih seperti hampa. Seolah-olah baru sadar bahwa selama ini ia menggenggam terlalu erat semua luka. Luka kepergian ayah dan ibu. Luka tentang orang-orang yang datang lalu pergi. Tentang Valdo. Tentang dirinya sendiri.
Vincia sempat mengira, setelah semua ini, ia akan merasa lebih ringan. Ternyata, kehilangan tetap terasa sama. Meski kali ini gadis itu sudah tahu cara berdiri sendiri.
***
Langit sore berwarna keemasan. Awan menggumpal pelan di barat. Vincia berjalan sendirian, tangan di saku jaket, langkahnya pelan tanpa arah pasti. Ia menyusuri jalan kecil yang dulu sering ia lewati bersama Gohvin. Langkahnya lambat, seperti menahan sesuatu di hatinya agar tidak tumpah. Angin mengusik pelan dedaunan di sepanjang trotoar.
Langkah Vincia terhenti di depan toko kecil di sudut jalan. Spanduk warna pudar masih tergantung. Lemari pendingin berdengung pelan. Di sanalah Gohvin pernah membelikannya es potong rasa ketan hitam.
Seorang wanita separuh baya di balik meja menyapanya ramah. “Lo, lama tidak kelihatan. Mau beli apa?” Nadanya ringan, tanpa maksud apa pun.
Vincia tersenyum kaku, matanya menahan sesuatu. “Es potong, Bu.”
“Rasa apa? Ada ketan hitam, kacang hijau, dan varian baru; kombinasi keduanya,” ujar wanita itu sambil menggeser lemari pendingin.
“Tolong, yang kombinasi satu, ya, Bu,” jawab Vincia lantas meletakkan uang ke atas meja.
“Mau kencan dengan diri sendiri lagi?” tanya ibu pemilik toko sambil menyerahkan kembalian dan es potong.
“Eh? Kencan?” tanya Vincia bingung.
“Waktu itu, kan, kau pernah ke sini beli es potong kacang hijau dan ketan hitam. Katanya, mau kencan dengan diri sendiri. Pakai baju cantik, tapi tidak pakai sandal.”
Vincia tertegun. Itu adalah momennya bersama Gohvin. Pikirannya terlalu kusut untuk bisa memikirkan bagaimana Gohvin bisa berinteraksi dengan orang selain dirinya.
Vincia mengangguk, menahan hangat di mata. Setelah mengucap terima kasih, ia berjalan lagi.
Trotoar itu sepi. Hanya beberapa pejalan kaki dan suara dedaunan basah terinjak. Vincia tiba di taman kecil yang biasa mereka datangi. Bangku panjang di dekat lampu taman itu masih di sana.
Vincia duduk pelan. Menatap es potong di tangannya, lalu ke bangku kosong di sebelahnya.
“Seharusnya, kau duduk di sana, Gohvin,” bisik Vincia lirih.
Akan tetapi, tidak ada yang menjawab.
Vincia menggigit ujung es potong rasa kacang hijau. Setitik air mata jatuh. Disusul tetesan selanjutnya. Lalu ia tidak bisa lagi menahan tangis yang sejak tadi tertahan. Bukan karena takut, bukan karena lemah. Namun, karena ternyata kali ini, benar-benar sepi.
Selama ini Vincia pikir, ia sudah fasih dalam kesendirian. Namun, ternyata dirinya tidak sekuat itu.
Vincia membiarkan tangis itu tumpah bersama es potong yang terus meleleh. Seolah-olah, mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski ia belum siap.
Dari kejauhan, bayangan samar seperti sosok Gohvin berdiri di antara pepohonan, kabur, buram. Vincia memejam sejenak, berharap saat membuka mata lagi, sosok itu masih ada. Namun, saat kelopak matanya terbuka, hanya ada daun-daun yang bergoyang karena angin.
Vincia bangkit, membuang kayu pegangan dengan sisa lelehan es potong kosong ke tempat sampah. Sambil melangkah pulang, gadis itu bertekad dalam hati. Bahwa ia akan terus maju pelan-pelan, meskipun tanpa kehadiran Gohvin.
***
Luka paling dalam memang tidak bisa diobati hanya dengan kata-kata. Karena itulah Vincia berada di sini sekarang.
Vincia berdiri di depan samsak nomor lima, mengenakan kaus hitam longgar dan celana training abu-abu. Sarung tangan merah membalut kedua tangannya rapat. Keringat membasahi pelipisnya, rambut diikat tinggi, wajahnya serius.
Frita datang dari arah belakang, mengenakan kaus putih tanpa lengan dan celana training hitam. Rambutnya dikepang, memperlihatkan wajah yang sedikit kemerahan karena latihan sebelumnya. Gadis itu membawakan dua botol air minum untuk dirinya dan Vincia.
“Vincia, pelan dulu. Jangan lupa atur napas, napas.” Frita menepuk kuat bahu Vincia, memberi isyarat jeda.
Akan tetapi, Vincia malah melancarkan satu tendangan cepat, tepat ke samsak, membuat benda itu bergoyang keras.
Frita terkesiap. “Vincia, ayo minum dulu, setelah itu aku akan membantumu berlatih,” katanya sambil menyodorkan satu botol.
Vincia melepas sarung tangan kemudian langsung meneguk habis airnya.
Sejak beberapa minggu latihan, gerakan Vincia memang makin luwes. Namun, hari ini, Frita memperhatikan sesuatu yang berbeda.
“Oke. Coba sekarang tendangan kombinasi kayak kemarin, ya. Satu, dua, tiga!” Frita memberi aba-aba sambil memegangi samsak.
Vincia bersiap, posisi tubuhnya stabil. Begitu aba-aba keluar, kakinya berayun, menghantam samsak dengan keras. Bam! Samsak itu bergoyang kuat hingga Frita nyaris kehilangan keseimbangan.
“Wah,” ujar Frita heran sekaligus takjub.
Vincia menyeringai kecil. Tatapannya tetap tajam pada samsak sambil mengenakan kembali sarung tangan.
“Sekarang coba latihan pukul. Siap? Satu, dua, tiga!”
Vincia melempar pukulan lurus ke arah samsak. Keras, cepat, tanpa ragu. Samsak itu bergoyang lebih kuat dari biasanya.
Frita mengangkat alis. “Vincia, apa kau baik-baik saja?”
Vincia tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, kausnya basah oleh keringat, dan matanya terasa panas. Bukan karena lelah, melainkan karena perasaan yang sejak beberapa hari ini terus menekan dadanya.
Tanpa Gohvin.
Tanpa suara sarkartis yang biasanya muncul di detik-detik seperti ini.
Vincia menghela napas, mencoba mengendalikan suara. “Cuma lagi banyak pikiran.”
“Apa mungkin Valdo mengganggumu lagi?” duga Frita. “Kalau mau cerita—”
“Tidak perlu. Kita lanjut latihan saja.” Vincia menyeka keringat di wajah pucat yang sedikit memerah. Namun, Frita tahu, itu juga sekalian untuk menyembunyikan air mata yang mulai mengalir.
Mereka kembali ke posisi masing-masing. Kali ini, Frita mengenakan bantalan di perut dan kedua tangannya. Setiap pukulan Vincia semakin berat, semakin cepat. Sampai-sampai Frita terdorong mundur.
“Aku yakin ini bukan tentang Valdo,” ujar Frita, “karena dia pasti sudah habis kalau sampai mengganggumu lagi.”
Vincia tertawa pendek, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Ia tahu persis mengapa tangannya tidak bisa berhenti. Sejak Gohvin pergi, ada ruang kosong di dadanya yang terus berdenyut. Dalam setiap pukulan dan tendangan, ia membayangkan bisa melepaskan rasa kecewa, rasa kehilangan, dan semua pertanyaan yang belum sempat terjawab.
“Kita bisa istirahat sebentar,” saran Frita dengan raut khawatir, “jujur saja, aku bingung karena tidak pernah melihatmu seperti ini.”
Vincia menghela napas, menyeka keringat di pelipisnya. “Aku tidak apa-apa.”
Frita ingin bertanya lebih jauh, tetapi melihat cara Vincia menendang samsak lagi, lebih keras dari tadi, ia memilih diam. Kadang, orang memang butuh waktu buat bicara. Dan saat itu belum waktunya.
Kemudian dentuman tendangan pada samsak kembali terdengar. Lebih keras dari sebelumnya
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama