Vincia duduk di sofa ruang tamu dengan jurnal pemberian Tante Hilma terbuka di pangkuannya. Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, menyoroti lembaran penuh pertanyaan-pertanyaan mendalam. Gohvin berdiri di dekat jendela, sosoknya samar di temaram.
“Pertanyaan pertama: ‘bagian mana dari dirimu yang paling kauhindari?’” ujar Vincia lantas mengerucutkan bibir sambil menatap Gohvin.
“Kau selalu sok kuat dan takut terlihat rapuh.”
Vincia meringis lalu memindahkan jurnal ke atas meja. Di sana ia menulis: bagian aku yang terlalu butuh orang lain. Karena sekuat apa pun aku pura-pura bisa berdiri sendiri, sebenarnya aku takut sendirian. Aku tidak pernah berani mengakui itu.
Gohvin mengangguk. “Apa pertanyaan selanjutnya?”
Vincia menunduk sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Bukan pertanyaan, sih. ‘Tuliskan satu kejadian dalam hidupmu, di mana kau merasa bersalah’.”
Detik berikutnya, Vincia sudah menuliskan kisahnya pada garis-garis di lembaran jurnal. Saat papa sakit, aku justru memasang ekspresi datar. Aku takut melihat papa lemah. Aku takut kehilangan, jadi aku memilih untuk berpura-pura tidak peduli. Sampai papa tiada, aku masih menyesal kenapa tidak memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Ketika Gohvin menggeser pelan kotak tisu ke hadapan Vincia, gadis itu baru sadar kalau air mata menetes ke pipinya.
“Kau masih tiga belas tahun waktu itu, wajar saja,” cetus Gohvin
“Terima kasih,” kata Vincia lantas menyeka tangis dan terburu-buru berpindah ke pertanyaan selanjutnya: ‘apa saja sisi egois dari dirimu?’.”
Glabela Vincia berkerut. Menurutnya, ia selama ini selalu menghindar konflik, mengalah, dan mengutamakan orang lain.
Gohvin mendengkuskan tawa. “Kau ingin orang lain paham tanpa harus bicara, ingin jadi prioritas tanpa terlihat butuh, dan terkadang menyimpan dendam kecil meski bilang sudah ikhlas.”
Vincia tersentak. “Apa itu egois?” tanyanya disambut anggukan Gohvin. Gadis itu tersenyum kecut. Detik berikutnya, ia menuliskan jawaban di jurnal setelah menyadari kebenaran ucapan Gohvin.
“Jika melepaskan semua yang kau genggam selama ini, siapa dirimu sebenarnya?” Setelah membaca pertanyaan, Vincia menatap lembaran itu lama. Tanpa jawaban muncul di kepala.
“Kalau pertanyaan itu belum bisa dijawab, jangan memaksakan diri, Vincia,” ujar Gohvin bangkit lantas menutup perlahan jurnal di atas meja, “nanti kau akan menemukannya saat sudah siap.”
Vincia mengangguk, matanya menatap jauh ke luar jendela. Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, seperti bayangan yang tidak pernah hilang.
***
Malam ini, Vincia memutuskan bersantai sejenak. Setelah 12 malam ia habiskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di jurnal pemberian Tante Hilma.
Layar ponsel menyala di genggaman tangan Vincia. Aplikasi Komiring terbuka. Gadis itu merapikan letak bantal di punggungnya sambil menggulir halaman dengan ibu jari tangan kanan.
Sekilas ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam.
Glabela Vincia mengernyit. Hilang! Komik karya Valdo yang biasa terpampang di halaman utama hilang. Gadis itu mengulang kembali dari bagian atas. Namun, tetap saja ia tidak menemukan Paint the Rain yang biasanya ada di urutan teratas.
Vincia menegakkan punggung. Ia mengetuk kolom pencarian, tetapi nama pengarang dan judul komik sama-sama tidak ditemukan.
“Ceritanya sudah masuk ke bagian kekalahan karakter utama?” tanya Gohvin yang berdiri di dekat jendela.
Vincia menunjukkan layar ponselnya. “Biasanya Paint the Rain selalu di halaman utama setiap malam. Sekarang malah tidak ketemu. Nih, lihat kolom komentar pengguna penuh dengan pertanyaan serupa.”
Beberapa komentar bermunculan:
“Eh, kok Paint the Rain tidak ditemukan?”
“Paint the Rain ditarik karena mau cetak ke komik fisik, ya?”
“Sempat kukira internetku terputus, ternyata Paint the Rain memang dihapus.”
Punggung Vincia bersandar. Kepalanya menoleh pada Gohvin. “Memangnya kalau mau cetak, langsung ditarik dari aplikasi ya? Teman-teman di Jubookya memang sering heboh membicarakan ini.”
Gohvin mendengkus, setengah mengejek. “Coba cari apakah ada pernyataan resmi dari pihak Komiring? Jangan-jangan pengarangnya bermasalah.”
“Jangan bicara yang seram begitu, Gohvin,” tegur Vincia lantas mencebik.
Gohvin mengangkat bahu. “Dunia yang cepat memuja, biasanya juga lebih cepat melupakan.”
Vincia diam. Kata-kata Gohvin menggantung di udara, lebih dingin dari angin malam yang menyelinap lewat jendela.
***
Lonceng kecil di atas pintu toko buku berdencing, menandakan seseorang baru saja masuk. Vincia tengah sibuk melayani pelanggan di meja kasir. Ia sama sekali tidak menyadari ancaman yang datang ke arahnya.
“Vincia!”
Mendengar namanya dipanggil, Vincia mengangkat wajah. Ia melihat Valdo datang ke arahnya. Wajah kusut, mata merah, langkah terburu. Lelaki itu menghampiri dengan luapan amarah yang tidak sempat disembunyikan.
Orang-orang di dalam toko menoleh. Beberapa berhenti mengambil barang. Lagu pop dari pengeras suara toko seolah-olah lenyap.
Seketika, Vincia keluar dari balik meja kasir demi menuntun pelanggan yang terpaku untuk segera menjauh. Karena ia tidak tahu hal buruk apa yang akan dilakukan Valdo beberapa detik lagi.
“Itu kau, kan?” desis Valdo yang kini berdiri menjulang di depan Vincia.
Glabela Vincia berkerut. “Apa maksudmu?”
“Kau merusak karierku sebagai komikus,” tuduh Valdo tanpa penjelasan.
“Aku tidak mengerti,” sahut Vincia tetap tenang.
“Jangan pura-pura bodoh. Kau yang melaporkan bahwa aku menjiplak gambar komikus lain!” sergah Valdo sambil menyugar rambut ke belakang. Matanya liar seperti binatang yang terluka.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi bisa kita bicarakan lebih tenang. Di sini—”
“Jangan membodohiku! Cuma kau yang tahu, Vincia! Cuma kau yang ingin aku hancur!” cecar Valdo lantas menggebrak meja kasir, pensil dalam kotak di dekatnya terjatuh ke lantai.
Vincia mundur setengah langkah. Tubuhnya gemetar. Namun di sisi lain, ia bisa merasakan kehadiran Gohvin, tepat di belakangnya. Tatapan Gohvin tegas, dingin, penuh perlindungan.
Saat Valdo mengangkat tangan, siap menampar atau mungkin lebih, Gohvin dengan sigap bergerak, berdiri di antara mereka. Seketika ayunan tangan Valdo terhenti di udara, seolah-olah ada yang menahannya. Seketika ekspresi marah itu berubah bingung, seperti ada keganjilan di antara mereka.
Tatapan mata Vincia yang semula penuh ketakutan kini berubah tajam, dingin, menembus.
Valdo tertegun. Niat yang tadinya melangkah pasti, mendadak ragu. “Apa-apaan ini?”
Bibir Vincia menyunggingkan senyum tipis yang tidak pernah Valdo lihat sebelumnya. “Jangan sentuh.”
Valdo menelan ludah. Ia merasa aneh. Seolah-olah tidak sedang berhadapan dengan Vincia. Rambut, wajah, dan tubuhnya memang sosok yang ia kenal. Namun, seolah-olah ada sesuatu yang bukan Vincia di balik mata itu. Sesuatu yang jauh lebih kuat. Lebih dingin. Lebih berani.
Meskipun suaranya goyah, Valdo mencoba tertawa sinis. “Apa … apa yang kaulakukan? Jangan berlagak sok kuat!”
Lagi-lagi Valdo terpaku, ekspresi Vincia sulit dibaca. Ini bukan gadis yang ia kenal. Vincia yang dahulu pasti sudah menangis sambil meminta maaf. Sekarang sosok di hadapannya mampu berdiri tegak, menatap balik tanpa rasa takut.
“Aku bukan orang yang bisa kauinjak seenaknya, Valdo.” Suara Vincia lebih dalam dan tenang, sekaligus penuh ancaman.
Vincia melangkah maju. Hanya satu langkah, tetapi cukup membuat Valdo mundur tiga langkah tanpa sadar.
“Cukup, Valdo. Aku sudah cukup lama diam dan memaklumi semua sikapmu. Sekarang aku tahu siapa diriku, kau tidak berhak menentukan apa yang harus aku lakukan,” ujar Vincia di bawah dukungan Gohvin, “jangan pernah merendahkan aku atau siapa pun lagi seperti ini.”
Tatapan mata itu seperti menembus ke dalam diri Valdo. Menyinggung semua kebohongan, ketakutan, dan kepengecutan yang selama ini ia sembunyikan. Lelaki itu merasakan lehernya dingin dan punggungnya basah oleh keringat.
Di detik itu, Valdo sadar. Bahwa Vincia yang selama ini bisa ia kendalikan sudah hilang. Yang berdiri di depannya sekarang adalah versi yang bahkan tidak pernah berani ia bayangkan.
Orang-orang di toko tertegun. Beberapa pegawai mulai mendekat, siap melerai. Sementara pelanggan tampak sibuk dengan ponsel masing-masing.
Valdo memandang Vincia beberapa detik. Tanpa sepatah kata pun, lelaki itu akhirnya memalingkan wajah, lalu pergi dengan langkah terburu-buru. Mulutnya terus memaki-maki pelan. Ekspresinya masih menyimpan amarah, tetapi kali ini juga ada bayangan ketakutan.
Bel di atas pintu kembali berdencing saat Valdo keluar.
Vincia terisak pelan, lalu jatuh berlutut. Napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipis. Gohvin yang berdiri di depannya berbalik dan ikut berlutut di hadapannya.
“Kau tidak perlu takut,” bisik Gohvin pelan hanya untuk Vincia, “aku di sini.”
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama