Vincia berlari keluar rumah, menerjang air deras yang mengguyur dari langit. Awan gelap menggantung di atas kepala, seakan-akan ikut berat menanggung rahasia yang baru saja terkuak. Namun, gadis itu tidak peduli. Air matanya menyatu dengan derai hujan.
Di kepalanya, suara Gohvin terus terngiang.
‘Lukisan yang rusak bisa diperbaiki. Lagi pula itu cuma guratan kecil.’
Semudah itu Gohvin berucap. Seolah-olah kerja keras Vincia bukan apa-apa.
Langkahnya terasa berat di tanah becek, tetapi Vincia terus berlari. Entah ke mana. Seolah-olah hujan bisa mencuci semua rasa amarah, kecewa, dan getir yang menyesak. Napasnya memburu, dada terasa panas. Ia takut, kalau berhenti, semua rasa tidak menyenangkan itu akan terus mengejarnya.
“Vincia!” Suara Gohvin terdengar dari belakang, nyaris tertelan gemuruh langit. Vincia mendengar, tetapi memilih untuk tidak peduli.
Hujan makin deras. Rambutnya menempel di wajah, bajunya berat. Vincia berhenti di tengah jalan kecil dekat taman. Napasnya tersengal-sengal. Dingin menusuk kulit. Namun, ia justru merasa lebih hidup daripada di rumah.
Dunia di sekelilingnya seolah-olah pecah dan bersepaian. Setiap tetes hujan terasa seperti cambukan kecil di kulit, tetapi juga entah kenapa terasa melegakan.
“Vincia, dengar dulu—”
Vincia menoleh pada Gohvin yang mendekat. Jantungnya berdegup tidak keruan. Hujan makin deras, membasahi mereka habis-habisan.
“Aku membencimu.”
***
Gohvin tahu Vincia akan berlari.
Bahkan sebelum bibir gadis itu gemetar, sebelum air matanya tumpah, Gohvin tahu. Karena ia merupakan bagian dari Vincia. Ia bisa merasakan gemuruh di dada Vincia layaknya petir sebelum hujan turun.
Malam itu, hujan turun deras, memukul jalanan, atap rumah, dan pohon-pohon di sepanjang jalan itu. Vincia berlari keluar, langkahnya cepat, tanpa payung, tanpa jaket.
Dasar keras kepala. Gohvin mengejarnya, payung di tangan, tetapi percuma. Vincia tetap berlari.
“Vincia!” Gohvin berteriak manggil namanya.
Tentu aja Vincia tidak akan berhenti. Karena gadis itu sedang melarikan diri dari Gohvin. Dari rasa sakitnya. Dari ketakutannya. Dari luka yang selama ini ia pikir sudah hilang, padahal cuma dikubur dalam-dalam.
Vincia akhirnya berhenti di taman tempat mereka bertemu kali pertama. Tempat gadis itu meneriakkan kekesalannya.
Gohvin pelan-pelan mendekat. Tubuh Vincia gemetar. Rambutnya lepek. Kausnya menempel di kulit. Wajahnya putih pasi. Ia bisa melihat air mata bercampur hujan di wajah gadis itu.
Kemudian Gohvin memilih untuk diam. Perlu beberapa detik sampai Vincia tidak lagi beringsut menjauh.
“Vincia, dengar dulu—”
Mata merah yang basah menatap Gohvin. Ada kemarahan, kecewa, dan luka di sana.
“Aku membencimu.” Suara Vincia pelan dan gemetar.
“Bagus.” Karena itu artinya Vincia masih hidup. Masih marah. Masih merasakan sesuatu. Gohvin tidak pernah takut pada Vincia yang marah, melainkan Vincia yang menyerah.
Gohvin basah kuyup, begitu juga Vincia. Petir sesekali menyambar jauh di langit. Namun, hujan sepertinya lebih ringan daripada beban di dada mereka malam itu.
“Kenapa kau lakukan itu, Gohvin?” Gemeletuk gigi Vincia terdengar di antara hujan.
“Aku tidak mau kau terus-terusan meninggalkan bagian dari dirimu, Vincia.” Suara Gohvin pecah di antara hujan. “Lukisan itu sama sekali tidak seperti dirimu—”
“DIAM!” jerit Vincia beradu dengan petir.
“Kau tidak perlu melukis awan dengan warna dadu atau bunga dengan warna cantik. Itu bukan dirimu, kau sedang meniru Frita,” ungkap Gohvin, “setelah lukisan itu rusak, aku senang kau bisa kembali pada dirimu sendiri.”
Gohvin tidak bisa meninggalkan Vincia hancur pelan-pelan seperti sebelumnya. Terkadang, hati seseorang memang perlu dipecah dahulu, supaya bisa menemukan serpihan dirinya yang paling penting.
“Kau tidak mengerti, Gohvin! Tidak akan pernah mengerti aku,” raung Vincia lantas berjongkok dan membenamkan wajah le lutut.
Langkah Gohvin maju demi memayungi Vincia. Sekalipun ia tahu itu sia-sia.
Bagaimanapun, Gohvin adalah bayangan Vincia. Terbuat dari rasa takut dan kecewanya. Bukan sosok yang muncul dengan sikap manis. Ia ada untuk menjaga Vincia dari patah yang lebih parah. Terkadang, itu berarti jadi musuh untuk hal-hal yang Vincia sayangi.
***
Gohvin duduk di pinggir tempat tidur, menatap wajah Vincia yang pucat dan berkeringat. Gadis itu menggeliat pelan di balik selimut, bibirnya bergerak, entah sedang mengigau tentang apa. Hujan masih mengguyur di luar sana, gemericiknya mengisi kamar yang remang.
Tangan Gohvin meraih handuk kecil, merendamnya lagi ke baskom air hangat di atas nakas, lalu memerasnya perlahan. Ia mengusap pelan pelipis dan leher Vincia, berharap panas itu turun sedikit. Sekalipun pemuda itu tahu bahwa demam ini bukan sekadar karena tubuh gadsi itu kelelahan. Ini luka. Ini marah. Ini kecewa. Semua yang Vincia tahan rapat-rapat, akhirnya pecah.
Gohvin tahu, karena dirinya adalah wujud dari itu semua.
Saat mengganti handuk di kening Vincia, ia mdlihat pipi gadis itu memerah. Bibirnya bergerak pelan, entah bicara apa.
“Jangan … tinggalkan … aku.”
Vincia mengerang pelan, tubuhnya menggigil. Gohvin merapikan helaian rambut basah yang menempel di kening gadis itu.
Gohvin menyeringai. Ia adalah bagian dari diri Vincia yang tidak pernah diakui. Bagian yang ditolak setiap kali merasa terlalu rapuh, terlalu takut, terlalu gelap.
Tangan Gohvin tergerak untuk membetulkan selimut yang setengah terlempar dari tubuh Vincia. Di antara suara hujan dari luar jendela, ia bisa dengar suara langkah-langkah kecil di benak gadis itu. Langkah masa lalu yang masih Vincia kejar, bayang-bayang yang tidak pernah benar-benar bisa ditinggalkan. Karena menyisakan luka.
Gohvin mengambil gelas dari nakas. Ia menyuapkan sesendok air ke mulut Vincia. Gadis itu menelan dengan susah payah. Matanya setengah terbuka, menatap pada Gohvin.
“Gohvin,” panggil Vincia lirih.
Diam, Gohvin memandangi wajah pucat itu.
“Kau … masih di sini?” Suara Vincia parau.
Gohvin tersenyum tipis. “Kau belum selesai menemukan dirimu sendiri, Vincia. Tentu saja aku masih di sini.”
Vincia kembali terpejam, tetapi Gohvin tahu gadis itu mendengar.
Gohvin tetap duduk di samping Vincia, membiarkan waktu berjalan. Karena pada akhirnya, sekuat apa pun Vincia berlari, gadis itu akan selalu bertemu Gohvin di ujung sepi.
***
Matahari siang menembus tirai jendela, meninggalkan bercak cahaya hangat di lantai kamar. Udara masih segar sisa hujan semalam, wangi petrikor bercampur aroma teh jahe hangat yang mengepul di atas nakas.
Vincia terbangun perlahan. Badannya masih lemas, tetapi demamnya jelas sudah reda. Sinar matahari yang masuk terasa menyentuh kulitnya, mengingatkan kalau hidup masih berjalan. Gadis itu mengerjapkan mata, menyadari sosok Gohvin duduk bersandar di kursi dekat jendela dengan kepala sedikit tertunduk.
Sesaat Vincia hanya menatapnya. Lelaki itu—atau entah makhluk apa sebenarnya—tetap saja ada di sana. Bahkan setelah semua kata kasar dan bentakan terlempar semalam.
“Gohvin,” panggilnya pelan.
Saat menyadari Vincia sudah bangun, ia menoleh cepat. Ada kelegaan singkat di matanya, meski segera ditutup dengan ekspresi datar. “Oh, syukurlah kau sudah bangun,” ujarnya lantas memberikan cangkir teh jahe pada Vincia.
Gadis itu menerima cangkir sambil tersenyum canggung. Uap hangatnya terasa menenangkan. “Maaf, aku merepotkanmu.”
“Sama sekali tidak repot, Vincia.”
Hening sebentar. Angin siang masuk lewat celah jendela, menggoyangkan tirai putih tipis. Namun, keheningan itu terasa lebih nyaman daripada kata-kata yang dipaksakan.
Vincia menghela napas, menatap uap teh di cangkirnya. “Gohvin, tentang semalam, sepertinya benar apa katamu.”
Gohvin mengangkat alis. “Ajaib. Apa hujan melunakkan kepalamu?”
Vincia tertawa pelan, matanya berkaca-kaca. “Waktu lukisan itu rusak, rasanya dunia seperti runtuh. Apalagi ternyata kau yang melakukan itu, tapi sekarang aku sudah mengerti.”
“Mengerti apa?”
Di luar, kicau burung terdengar samar. Vincia menarik napas panjang. “Selama ini, aku terlalu sibuk mencari hal-hal yang sebenarnya tidak benar-benar aku butuhkan.”
“Karena yang kau cari itu bukan orang lain, bukan validasi, melainkan dirimu sendiri.”
Vincia menghela napas. Tenggorokannya masih kering, tetapi ia bisa tersenyum tipis. “Terima kasih karena kau tetap di sini.”
“Itu karena kau juga kuat. Tidak semua orang berani menghadapi bayangannya sendiri.”
“Maaf, karena selama ini kau menanggung gelap sendirian. Aku janji, mulai sekarang, aku akan berbuat baik pada diriku sendiri.”
“Aku akan tagih janji itu,” sahut Gohvin.
Kemudian mereka tertawa kecil. Hangat. Bukan tawa lepas, melainkan tawa yang paham betul pahitnya luka.
Vincia menarik napas dalam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya terasa ringan. Luka-luka batin memang belum sembuh sepenuhnya, tetapi setidaknya ia tahu ke mana harus melangkah. Berdamai bukan berarti melupakan luka, tetapi mengakui dan menyadari bahwa itu pernah terjadi dan ia bisa tetap utuh,
Bersama Gohvin di sisinya.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama