Hari-hari menjelang akhir tahun terasa lebih panjang dari biasanya. Langit mendung hampir setiap pagi. Kemudian disusul hujan turun hampir setiap sore, menyisakan genangan di depan rumah Vincia bersama aroma petrikor yang makin lama makin akrab.
Vincia tetap datang ke kampus. Menghirup udara di atelir yang dingin dan beraroma cat. Gadis itu selalu datang dengan niat menyelesaikan lukisan tugas akhirnya. Sebuah karya yang seharusnya hampir selesai, tetapi kini lagi-lagi terasa seperti halaman kosong yang menolak diisi.
Cat-catan di ujung kuas mengering tanpa sempat dipakai. Di atas kanvas, warna-warna saling bertumpuk tanpa arah. Tangan Vincia bergerak, tetapi tidak ada satu pun goresan yang terasa cukup.
Vincia duduk di kursi kayu, menggenggam palet warna yang sejak tadi hanya menjadi beban di tangan. Ruangan itu sunyi. Hanya desau angin yang menyelinap lewat kisi jendela. Sesekali bunyi langkah mahasiswa lain yang lewat di koridor luar.
Vincia memandang lukisan itu lama. Hatinya kosong. Seperti ada sesuatu dalam dirinya hilang bersama Valdo.
“Kau bisa beristirahat kalau lelah, Vincia.”
Suara Gohvin terdengar seolah-olah memeluk punggung Vincia yang letih. Gadis itu tidak terkejut. Ia tahu lelaki itu selalu muncul saat kepalanya terlalu berat, dan hari-hari seperti ini terlalu sepi untuk dihadapi sendiri.
Vincia mengangguk lalu meletakkan palet ke meja. Bunyi kayu beradu pelan. Gadis itu menarik napas panjang. Aroma cat di udara bercampur dengan keresahan hatinya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana melanjutkan lukisan ini.” Suara Vincia nyaris tidak terdengar. Bahkan di telinganya sendiri.
Gohvin mendekat. Ia mengambil dan memainkan kuas di antara jari. “Karena kau menunggu seseorang datang untuk memberikanmu semangat dan memastikan bahwa semua baik-baik saja.”
Vincia menunduk. Jemarinya memainkan liontin kura-kura yang tergantung di lehernya. Sementara Gohvin menyentuhkan ujung kuas ke cat, lalu meletakkannya kembali.
“Padahal satu-satunya orang yang bisa melakukan itu, hanya dirimu sendiri.”
***
Kenyataan bahwa Valdo pindah dari kos-kosan tanpa kabar memang menghantam perasaan Vincia dengan kuat. Seperti tornado yang memorak-porandakan taman bunga. Apalagi, sampai hari ini, lelaki itu masih tetap tidak menghubungi Vincia.
Meski demikian, dunia tetap bergerak seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Seolah-olah semesta tidak peduli pada kekalutan hati Vincia. Bahkan di Jubookya—toko buku tempatnya bekerja sambilan, rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Gadis itu tetap berinteraksi dengan rekan kerja, menata nota pembelian, membungkus buku yang sudah dibayar, serta merapikan novel dan komik di rak.
Pelanggan juga tetap datang dan pergi. Beberapa menanyakan komik Valdo. Beberapa menyebut namanya dengan nada kagum yang Vincia sudah hafal.
Ada momen-momen kecil yang tanpa sengaja menarik ingatannya. Seperti saat seorang pelanggan masuk sambil membawa segelas amerikano—minuman favorit Valdo. Atau saat salah seorang rekan kerjanya memutar lagu favorit Valdo di toko. Semua itu tidak seharusnya mengganggu, tetapi entah mengapa tetap bisa menyelinap ke dalam pikiran.
Sesekali ponsel Vincia bergetar. Notifikasi, pengingat dari pemilik agen surat kabar atau sekadar telepon salah sambung. Yang jelas, bukan dari Valdo.
Anehnya, Vincia perlahan mulai berhenti berharap.
Di rumah, Gohvin lebih sering muncul. Kadang hanya duduk di kursi rotan, membaca buku yang entah sejak kapan ada di sana.
“Sepertinya kau mulai bisa bernapas tanpa dia,” komentar Gohvin suatu siang, saat Vincia sibuk membersihkan bingkai lukisan ayahnya.
Vincia tidak menjawab. Hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengusir debu-debu dengan ujung kuas.
“Tapi tetap saja, aku tahu … kau masih menunggu kabar darinya. Meski kau pura-pura tidak peduli.”
Vincia meletakkan kuas ke meja, lantas meraih gelas air.
“Siapa bilang aku menunggu?” kata Vincia pelan setelah meneguk air, “aku cuma belum terbiasa.”
Gohvin tersenyum samar. Lelaki itu seolah-olah sudah tahu akhir cerita tetapi malas memperingatkan.
“Rasa kehilangan memang begitu, Vincia,” ujar Gohvin, “dia tidak pernah benar-benar pergi. Dia hanya akan jadi benda kecil yang kau letakkan di sudut paling sunyi dalam hatimu, berharap suatu hari berhenti bersuara.”
Vincia menghela napas. Matanya lelah, tetapi bukan karena kantuk.
Ucapan Gohvin menyadarkan sebagian dirinya yang tertidur. Bahwa beberapa orang tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi disentuh.
Namun, terus menetap di dalam kepala.
***
Suasana malam itu lebih sunyi dari biasanya. Suara petasan mulai terdengar dari kejauhan, letupan kecil yang menyembur di balik kabut tipis. Di dalam rumah, sisa wangi sabun cuci masih samar di udara.
Seharian ini, Vincia menyibukkan diri dengan hal-hal kecil sejak pagi tadi usai mengantar koran. Sementara Jubookya tutup di hari terakhir tahun ini.
Vincia sudah selesai menata ulang buku, melipat pakaian, menyapu halaman belakang dari dedaunan kering. Sampai akhirnya ia bisa duduk santai di sofa ruang tamu. Gadis itu mengenakan kaus abu-abu dan celana training longgar, kakinya diselonjorkan ke atas sofa. Layar ponsel menyala di genggaman, menampilkan komik digital Valdo.
Halaman yang sedang ia buka menampilkan adegan duel di atas atap gedung tinggi. Karakter utama bernama Raint dihadapkan pada mantan sahabatnya yang kini jadi musuh. Latar belakangnya langit gelap, dihiasi bulan purnama besar, dan percikan api dari senjata yang beradu.
Kalimat di panel bawah terbaca jelas.
<Terkadang yang paling sulit dihadapi bukanlah lawan, tetapi kenangan tentang siapa dia sebelum semuanya rusak.>
Vincia menggulir halaman perlahan. Tidakk terburu-buru. Ia tidak benar-benar menikmati cerita yang familier itu. Namun, entah mengapa, malam ini cerita itu terasa lebih dekat.
Gohvin tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa dua mug cokelat panas. Lelaki itu meletakan minuman ke meja lalu duduk bersandar di sandaran sofa. Satu kaki dinaikkan ke atas lutut. Ia melirik Vincia, lalu jam dinding.
“Kau tidak bersiap?” tanya Gohvin. Nadanya ringan, seolah-olah tidak benar-benar ingin bertanya.
Vincia tidak menoleh. Jemarinya tetap menggulir halaman komik. “Untuk apa?”
Gohvin menaikkan alis yang rapi dan gelap. “Bukankah kau punya janji kencan? Malam tahun baru bersama Valdo.”
Vincia mengangguk kecil, tanpa mengalihkan pandangan dari komik. “Aku akan bersiap kalau dia sudah pasti akan datang.”
Gohvin diam sejenak, kemudian tersenyum samar. “Lucu. Kau tetap memberi kesempatan pada hal-hal yang bahkan tidak peduli padamu.”
Kembang api meletup di kejauhan, warna-warnanya sesekali terlihat di balik tirai jendela. Diiringi suara anak-anak berteriak riang dari gang sebelah.
Jam menunjuk pukul 19.45 ketika ponsel Vincia bergetar. Nama Valdo terpampang di layar, menggantikan tampilan komik.
Gohvin melirik dari atas puncak kepala Vincia. Ia menahan diri agar tidak langsung berkomentar.
Sementara Vincia menatap layar lama, sebelum akhirnya menjawab. Nada suara gadis itu datar.
“Halo.”
Di seberang saluran, suara Valdo terdengar pelan dan sedikit tergesa. [Vincia, maaf … rencana malam ini terpaksa ditunda. Aku ada urusan keluarga. Besok aku kabarin, ya.]
Ada kecanggungan yang mengapung ringan. Seolah-olah Valdo sudah bosan mendengar suaranya sendiri karena terlalu sering membuat alasan.
Vincia memejamkan mata sebentar seraya menarik napas. Bibirnya melengkung samar. “Ya. Oke.”
Klik. Vincia memutus sambungan lebih dahulu daripada Valdo. Tanpa drama, tanpa marah. Seperti ombak kecil yang menyentuh karang kemudian surut lagi.
Detik berikutnya, Vincia kembali membaca komik. Selama beberapa detik, jari-jarinya gemetar sebelum kembali tenang.
“Astaga. Kau ketus di telepon tapi masih membaca komik yang dia buat?” Nada suara Gohvin bercampur sarkas dan kekahwatiran yang samar. Tentu saja lelaki itu khawatir. Ia tidak mau karya Valdo membuat Vincia kembali mengharapkan bayang-bayang palsu.
“Tidak semua bagian buruk dari seseorang membuat karyanya harus dibenci,” jawab Vincia pelan, “aku tetap bisa kagum sama tokoh Raint meski aku tahu yang menggambarnya sering membuatku kecewa.”
Hening. Hanya suara dentuman kembang api yang kembali terdengar. Bagaikan detak jantung kota yang makin menggila menjelang pergantian tahun.
Tahun akan segera berganti. Namun, Vincia tidak merasa ada yang berubah dari dirinya.
Vincia meletakkan ponsel ke pangkuan. Kepalanya bersandar ke lengan Gohvin, matanya nyalang menatap langit-langit. Sepertinya, beberapa janji memang diucapkan hanya untuk diingkari.
Gohvin menyeringai, lantas menepuk pelan puncak kepala Vincia. Ada sesuatu di tatapan lelaki itu. Semacam iba yang dibungkus dengan ejekan.
“Selamat tahun baru, Vincia. Tahun yang baru, luka yang sama.”
Vincia tersenyum kecil sambil menegakkan tubuh. Ia berbalik dan menatap naik pada Gohvin. “Tahun ini aku tidak minta apa-apa. Aku cuma mau berhenti berharap pada orang yang tidak tahu caranya saling menghargai.”
Gohvin diam lama, sebelum mengangkat tangan dan mengusap sekilas rambut Vincia dengan lembut. “Jangan lupa meminta agar lukisanmu cepat rampung,” ujarnya disambut gelak tawa Vincia.
Lagi pula, kini Vincia menyadari bahwa bukan tahun baru yang ia butuhkan, melainkan dirinya yang baru.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama