Hilang!
Vincia yang baru terjaga langsung melebarkan kelopak mata. Sisa kantuknya lenyap seketika. Alih-alih di kamar seperti biasa, ia malah terbangun di studio lukis ayahnya. Pemandangan pertama yang terlihat adalah hilangnya siluet lelaki dari lukisan itu.
Jantung Vincia berdebar kencang. Kepalanya berdenyut-denyut ketika menyadari ia tidak ingat bagaimana bisa pulang tadi malam. Dan sekarang hal ganjil terjadi.
Vincia sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Namun, belum pernah perasaannya sekacau ini. Untuk kali terakhir, gadis itu melirik kanvas yang kini hanya berupa duplikat pemandangan senja.
Ia akan memikirkan keanehan itu nanti.
Tidak ada waktu untuk terus memikirkan hal ini. Sebaiknya Vincia bergegas agar tidak terlambat. Sebelum matahari terbit, ia harus tiba di agen untuk mengambil koran terbaru yang harus diantarkan ke rumah-rumah.
Meski mendapatkan kiriman uang yang kata bibinya adalah warisan dari sang ayah, Vincia tidak mau berleha-leha. Ia merasa tetap perlu mencari penghasilan tambahan untuk hidup sehari-hari.
Ketika membuka pintu, glabela Vincia langsung mengernyit. Aroma gurih kaldu memenuhi rumahnya. Ia melangkah perlahan menuju dapur.
Kelopak mata Vincia melebar maksimal. Seorang lelaki mengenakan apron bergambar karakter kura-kura imut miliknya, tampak sibuk memasak sesuatu di dalam panci. Tanpa sadar, ia menahan napas. Mungkin saja ini hanya mimpi. Secepatnya, ia harus bangun.
Bangun. Bangun. Bangun.
“Kau sudah bangun, Vincia,” panggil lelaki asing itu tanpa menoleh. Perhatiannya masih terfokus pada panci yang menguarkan uap, “duduklah. Kita sarapan bersama.”
Vincia hendak berbalik dan lari saat pemuda itu menoleh padanya. Senyum ramah melengkungkan bibirnya yang tipis.
“Namaku Gohvin. Aku bukan hantu,” katanya seolah-olah bisa membaca pikiran Vincia.
Memang benar. Rahang tinggi, hidung ramping, serta sepasang mata cokelat yang menawan. Tidak mungkin lelaki setampan itu adalah hantu.
Akan tetapi, ketika napas kembali mendapatkan akses menuju paru-paru Vincia, oksigen berkumpul menjadi teriakan keras. Detik berikutnya, gadis itu berlari keluar rumah. Tanpa peduli alas kaki atau pun fakta bahwa Gohvin mengejarnya!
***
Napas Vincia tersengal-sengal. Gadis itu membungkuk dengan kedua tangan menyangga di lutut. Sesekali, ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun di sepanjang jalan yang diterangi lampu.
Vincia menegakkan tubuh. Ia menatap langit yang masih berwarna biru gelap dengan sedikit sapuan warna dadu dan ungu. Syukurlah, pemuda asing itu tidak mengejarnya.
Sepertinya ini saat yang tepat untuk segera menuju agen koran. Keraguan menahan langkah Vincia sejenak. Saat ini ia tidak mengenakan alas kaki, serta ponselnya tertinggal. Pintu rumah tidak terkunci. Namun, tidak ada barang berharga yang bisa ditemukan di sana. Selain lukisan ayahnya yang sudah rusak karena siluet lelaki di sana menghilang.
Begitu tekad Vincia sudah bulat, ia berbalik dan mendapati seorang lelaki di hadapannya.
“Mau lari lagi?”
Napas Vincia tersekat. Itu Gohvin.
“Minumlah dulu,” saran Gohvin seraya menyodorkan sebotol air, “ayo, kutemani kalau masih mau lari. Kebiasaan berolahraga itu bagus untuk kesehatanmu.”
Mual merangkak naik ke kerongkongan Vincia. Sementara Gohvin malah tersenyum separuh, memperlihatkan deretan giginya yang putih.
“S-siapa kau sebenarnya?” Vincia memberanikan diri untuk bertanya, walaupun suaranya gemetar dan parau.
Gohvin memiringkan kepala ke kanan. Telunjuknya terangkat, seolah-olah ada tombol tidak kasatmata di udara. “Tadi aku sudah memperkenalkan diri. Kau tidak menyimak, ya? Namaku Gohvin.”
“Aku t-tidak peduli namamu,” sergah Vincia berusaha tegar, “bagaimana kau bisa ada di rumahku dan tahu namaku?”
“Kau sedang buntu ide untuk mengerjakan tugas akhir, kan?” Alih-alih menjawab, Gohvin malah balas bertanya, “ayo, ikut denganku—”
“Tidak mau!”
Mata kanan Gohvin memejam, sementara telunjuknya menekan lubang telinga akibat teriakan Vincia.
“Tidak perlu teriak,” ujar Gohvin santai. Kulitnya yang pucat tampak kontras dengan kaus berleher tinggi dan jeans hitam yang ia kenakan, “jangan sampai kau pingsan lagi seperti semalam.”
Vincia terhenyak. Telunjuk gadis itu terangkat menunjuk hidungnya sendiri. “Aku pingsan …?”
Jelas, pemuda itu mengkhayal atau mengarang cerita. Sejak kecil, fisik Vincia sangat kuat. Ia jarang sakit dan sama sekali tidak pernah pingsan.
“Selalu ada yang pertama dalam segala hal, kan?” komentar Gohvin, membuat Vincia mengira bahwa hatinya tersambung ke pengeras suara, “mungkin kemarin kau terlalu lelah sampai pingsan, dan aku yang menggendongmu pulang.”
“Apa?” gumam Vincia. Bukannya suara Gohvin tidak terdengar, melainkan karena tidak percaya dengan ucapan itu.
Aku yang menggendongmu pulang. Omong kosong.
“Pembohong!” jerit Vincia dengan kedua pipi terasa hangat. Ia berjongkok dan mengambil kerikil di dekat sebuah pohon. Tanpa peringatan, gadis itu melemparkan batu kecil itu ke arah Gohvin.
Alih-alih takut, Gohvin malah terkekeh senang. Meski berjalan mundur, lelaki itu selalu berhasil menghindari lemparan Vincia.
Hingga akhirnya, Gohvin tiba-tiba bergeming. Tatapan pemuda itu mengarah pada satu titik. Lagi-lagi, tangan kanannya terangkat seolah-olah bisa menyentuh ujung langit.
Melihat itu, Vincia seperti terhipnotis. Bongkahan batu terjatuh dari genggamannya yang melonggar. Ia merasakan telapak kakinya menyentuh rumput berembun dalam setiap langkah. Sampai berdiri tempat di sisi Gohvin.
“Cantik, kan?” tanya Gohvin setengah berbisik. Seolah-olah jika bersuara sedikit lebih keras maka pemandangan di hadapan mereka akan lenyap.
“Ya,” balas Vincia lirih.
Sinar matahari pertama yang muncul di horizon menimbulkan percikan warna keemasan. Keindahan itu tercetak di permukaan air sungai yang tenang. Langit biru gelap berangsur-angsur menjadi terang. Kabut pagi perlahan menghilang, memberi ruang bagi cahaya yang semakin hangat. Sementara keheningan dipenuhi oleh suara air yang mengalir dan sejuknya angin pagi.
“Bayangkan, pemandangan cantik ini dipindah ke kanvasmu,” tutur Gohvin lantas menoleh turun pada Vincia, “seperti yang biasa kau lakukan.”
Vincia terdiam. Meski enggan mengakui, tetapi lelaki itu benar. Pemandangan indah di permukaan air ini seperti yang biasa ia lukis.
“Coba lihat langsung ke arah matahari yang sedang terbit.” Entah sejak kapan Gohvin sudah pindah berdiri tepat di belakang Vincia. “Rasakan cahayanya menerangi tepat di glabelamu, menampilkan ide dan inspirasi yang selama ini terselubungi.”
Matahari terbit? Kedua alis Vincia tertarik naik ketika menyadari satu hal. Cepat-cepat, gadis itu berbalik dan berlari dengan panik.
“Sepertinya kau sangat suka berlari, ya?” komentar Gohvin yang berhasil menyamai langkah Vincia.
“Bukan suka, tapi harus,” ralat Vincia, “aku bisa terlambat.”
“Tenang saja, semua orang terlalu sibuk di pagi hari. Mereka tidak akan marah-marah hanya karena korannya datang terlambat.”
***
Gohvin benar-benar harus diberi pelajaran.
Pagi tadi Vincia terpaksa menerima protes dan caci maki dari pemilik agen dan pelanggan korannya. Benar-benar rugi ia sudah mendengarkan Gohvin. Sekarang gadis itu jadi kehabisan energi untuk melukis. Padahal sudah menginjakkan kaki di kampus.
“Tidak usah cari-cari alasan.”
Sindiran itu diucapkan dengan nada tenang dan datar. Namun, tetap saja membuat Vincia terperanjat. Karena seharusnya lelaki itu tidak ada di sini.
Setelah kembali mengendalikan diri, Vincia melangkah pelan di antara kepadatan koridor fakultas seni rupa. Matanya terfokus ke depan, berusaha menghindari pandangan orang lain. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Sekuat tenaga berusaha mengabaikan Gohvin di sampingnya.
“Kalau mau melukis, lukis saja. Jangan cari-cari alasan hanya karena pagi ini kau mendapat komplain—”
“DIAM!”
Ucapan Gohvin terputus ketika suara Vincia memecah kebisingan koridor. Terdengar keras dan penuh amarah. Teriakan itu datang begitu tiba-tiba dari seorang mahasiswi yang biasanya selalu tenang dan tertutup. Semua mata tertuju padanya. Beberapa mahasiswa yang sedang berbicara terdiam, ada yang berhenti berjalan, sementara yang lain saling memandang bingung.
Ketika jarum detik bergeser satu detakan, Vincia menyadari dirinya sudah menarik terlalu banyak perhatian. Pipi gadis itu berubah semerah tomat. Matanya sedikit terbuka lebar dengan tubuh yang seakan-akan membeku di tempat.
Suasana sekitarnya seperti diberi efek slow motion. Sementara Gohvin sudah tidak lagi terlihat atau terdengar. Namun, bagi Vincia, keheningan itu seperti guntur yang bergemuruh di telinganya.
Beberapa orang di sekitar mulai berbisik. Mereka tampak khawatir sekaligus penasaran. Namun tidak seorang pun yang benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sambil menahan malu yang mencengkeram tengkuknya, Vincia melangkah cepat meninggalkan tatapan yang terus mengarah padanya.
Semua gara-gara Gohvin!
🎨🎨🎨
Makashi♡ Luvnaer🌙 sudah membaca Paint of Pain. Tulis kesan kalian tentang cerita ini di kolom komentar, yaaa~ ദ്ദി(˵ •̀ ᴗ - ˵ ) ✧
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama