Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Meski harus menanggung malu, setidaknya ada satu hal yang disyukuri Vincia. Gohvin tidak ada dalam radius 10 meter di sekitar Vincia. Akhirnya, ia bisa bernapas dengan lega. 

Setelah meletakkan tas ke atas rak, Vincia mengenakan apron di atas kaus abu-abu dan kulot hitamnya. Kemudian ia meletakkan kanvas kosong di atas kuda-kuda, berlagak sudah tahu ingin melukis apa. Ibu jarinya menyelip ke lubang palet di mana cat warna biru sudah tertuang di sana.

Ajaibnya, begitu ujung kuas menyentuh kanvas, tangan Vincia tidak bisa berhenti. Ide-ide mengalir di benaknya tanpa terduga. Pikiran yang sebelumnya seperti diselubungi kabut tebal kini mulai jernih. 

Bayangan pertama muncul. Sebuah garis, gambaran itu berkembang begitu cepat. Kuas menari-nari di ujung jari membentuk permukaan sungai seperti yang ia lihat saat fajar tadi. Setiap warna berpadu dalam sentuhan kuas yang kini datang dengan sangat jelas.

“Wah, sepertinya ada perkembangan baik, ya?”

Suara lembut nan manis itu membelah udara ke tempat Vincia duduk. Ia mengangkat wajah dan memandang ke balik kanvas. Di sana tampak Frita yang baru saja tiba hendak menuju rak penyimpanan apron. 

Vincia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan gadis itu bicara padanya. Setelah melihat tidak ada orang selain mereka berdua, barulah ia mengangguk. 

“Eh, iya. Lumayan ada …  sedikit,” ujar Vincia dengan lirih.

“Syukurlah,” sahut Frita tulus, “senyummu sampai selebar itu, Vincia.”

Saat itulah Vincia baru menyadari bahwa ia sedang tersenyum. Canggung, gadis itu menyentuh pipinya. 

“Punyamu … b-bagaimana?”

Vincia lantas menggigit ujung lidah ketika menyadari pertanyaannya yang kacau. Padahal ia hanya ingin  balas bertanya pada keramahan Frita. Di dunianya yang sepi, tidak banyak orang yang mau menyapa dengan senang hati. Selain Valdo dan mungkin saja sekarang Gohvin masuk ke daftar itu. 

“Hampir selesai,” jawab Frita sambil tersenyum, “tinggal sentuhan akhir dan siap dikurasi dosen pembimbing. Mau melukis bersama?”

Vincia terbelalak. Tentu itu ajakan yang diinginkan semua orang. Baiklah, mungkin tidak bagi semua orang. Setidaknya bagi seluruh mahasiswa seni lukis di kampus ini. 

Frita Ruiz terkenal sebagai anomali di kampus ini. Sejak masih berstatus mahasiswa baru, seluruh perhatian berpusat padanya. Gadis itu mengenakan riasan yang sesuai, penampilan modis, rambut tertata, dan lukisan-lukisannya selalu membuat orang terpesona. Sementara orang-orang di sekitarnya tampak lusuh seperti belum mengenal sampo dan sabun. 

Meski demikian, tidak ada yang membenci atau iri pada Frita. Karena gadis itu juga supel dan ramah pada semua orang. Benar-benar sempurna. 

“Eh? Itu, kan …  dilarang,” sahut Vincia ketika berhasil mengumpulkan keterkejutannya atas ajakan tiba-tiba itu. Peraturan dari kampus memang begitu. Pengerjaan tugas harus dirahasiakan sampai selesai. Demi menghindari plagiarisme atau perselisihan terkait kemiripan ide. 

Frita meletakkan telunjuk di depan senyum. “Kalau Vincia, aku percaya.”

Bagai di bawah pengaruh sihir, Vincia mendapati dirinya mengangguk setuju. Frita tersenyum senang lantas menggeser kuda-kuda dan kursi ke samping Vincia. 

Selama beberapa menit berikutnya, dua orang mahasiswi tingkat akhir itu sibuk dengan kanvas masing-masing. Hingga akhirnya, Frita yang lebih dahulu meletakkan kuas lantas mengangkat tangan untuk meregangkan otot. 

“Bagaimana menurutmu, Vincia?” tanya Frita. 

Hem?” gumam Vincia singkat. Ia masih menggoreskan warna terakhir sebelum akhirnya benar-benar menoleh pada Frita. 

Di detik itu juga, Vincia terpesona. Lukisan itu tampak seperti potret nyata sebuah padang bunga matahari. Awan berwarna dadu mengambang tipis di langit biru cerah yang begitu kontras dengan kelopak-kelopak berwarna kuning. Ditambah detail pada tangkai dan daun yang meskipun tampak sederhana, tetapi seolah-olah memunculkan jiwa dari lukisan. Di antara semua itu, ada satu bunga yang menjadi fokus utama; setangkai bunga matahari merah muda.

“Wah, ini menurutku sangat bagus. Seperti di negeri dongeng.” Rahang Vincia terbuka lebar sebelum berkomentar kagum. 

“Benarkah?” Sepasang netra hitam Frita berkilau senang dan bangga. “Senangnya dipuji oleh Vincia sang genius.”

Kikuk, Vincia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia meringis malu karena Frita baru saja balas memujinya. Itu sebutan tidak resmi di kampus. Vincia sang pelukis genius dan Frita sang pelukis magis.

“Menurutmu, adakah yang perlu diperbaiki?” tanya Frita. 

Hem.” Vincia menyipitkan mata saat kembali mengamati lukisan Frita. “Kalau diperhatikan lebih saksama, sebenarnya kelopak bunganya tampak terlalu simetris. Kurang bervariasi dalam posisi dan ukurannya.”

Diam-diam, Vincia melirik ke arah Frita. Ia takut gadis itu tersinggung dengan komentarnya. Namun, alih-alih muram, Frita malah tersenyum lebar.

“Akan aku perbaiki,” sahut Frita semringah lantas kembali mengangkat kuas. 

Senyuman itu menular dengan mudah pada Vincia. Ia melakukan hal serupa untuk melanjutkan lukisannya sendiri. Siapa sangka, kehadiran orang lain di sisinya bisa terasa menenangkan.

***

Sebelum tengah hari, mereka sudah selesai dengan lukisan masing-masing. Sambil menunggu cat kering, dua gadis itu merapikan peralatan dan menyimpan apron. Obrolan singkat dan ringan mengalir dengan lancar di antara keduanya.

“Dari dulu, aku selalu kagum pada kulitmu, Vincia,” kata Frita ketika mereka sedang membasuh tangan di wastafel, “seperti kulit peri.”

Vincia memandang turun pada kulit yang sering ia anggap sepucat mayat. Ternyata seperti peri dari sudut pandang gadis secantik Frita. 

“Kau cantik tanpa riasan,” sambung Frita sambil menutup keran. 

Vincia memandang wajah Frita yang berbinar. “Aku justru ingin bisa berdandan, supaya wajahku tidak terlihat pucat,” ungkapnya. 

Frita tertawa kecil yang terdengar seperti lonceng musim panas. “Berdandan itu mudah, hampir sama seperti melukis. Semua orang bisa melakukannya.”

Sepasang netra Vincia berbinar penuh harap. “Benarkah?”

Frita mengangguk. “Aku bisa mengajarimu. Kalau kau mau.”

“Tentu saja aku mau.”

Reaksi Vincia yang penuh semangat, membuat Frita tersenyum. Kemudian mereka saling bantu untuk menyimpan lukisan ke loker khusus. 

“Apa kau bersedia hadir ke sidang hasil akhirku?” tanya Frita saat mereka keluar dari ruang lukis. 

“Boleh saja,” jawab Vincia dengan nada ragu. Seharusnya, ia tidak boleh asal menjawab sebelum memastikan waktu acara. Namun, gadis itu memang tidak terbiasa untuk menyatakan penolakan dengan gamblang. 

“Kalau pameran akhir?”

Vincia mengatupkan bibir dan mengangguk. 

Tanpa dinyana, Frita justru tertawa. “Vincia, jangan mudah mengiakan ajakan orang lain begitu. Seharusnya, tanyakan dulu kapan acara dilangsungkan, cocokkan dengan jadwal atau rencanamu. Baru kau memutuskan bisa hadir atau tidak. Lagi pula aku tidak akan marah kalau kau menjawab ‘tidak’.”

Vincia meringis malu sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “B-baiklah. Akan kuusahakan.”

“Itu lebih baik,” sahut Frita, “mau makan siang bersama?”

Bibir Vincia hampir terbuka dan memberi jawaban ambigu. Namun, gadis itu langsung menggigit ujung lidah. “M-maaf, aku harus pergi kerja sambilan.”

Penolakan. Hal yang terasa pahit di lidah Vincia. 

“Tidak usah minta maaf. Cukup katakan ‘tidak bisa’,” saran Frita. 

Ketika berbelok di tikungan, mereka berpapasan dengan beberapa mahasiswa dari angkatan yang sama. Lima dari enam orang dalam gelombang itu pernah sekelas dengan Vincia sejak semester pertama. Namun, mereka hanya menyapa ramah dan mengobrol dengan Frita. 

Bahkan mungkin tidak seorang pun dari mereka yang menyadari kehadiran Vincia. Beginilah nasib menjadi manusia dengan bayangan tipis. Ia hanya bertugas menjadi pemain figuran dalam hidup ini. 

Maka, Vincia kembali mengayunkan tungkai. Ia cepat-cepat menjauh dari kerumunan yang sibuk saling bertukar cerita tentang tugas akhir. Tentu saja Frita menjadi pusat perhatian di sana. 

“Vincia!”

Tiba-tiba Frita memanggilnya ketika langkah Vincia tepat di anak tangga pertama menuju lantai satu. Ia menoleh dan mendapati Frita tersenyum sambil melambai padanya. Sementara teman-teman lain menatap heran ke arah Vincia. 

“Hati-hati di jalan, ya,” sambung Frita. 

Meski canggung, Vincia mengangguk dan mengangkat sedikit tangannya. Kemudian gadis itu kembali menunduk dan menuruni anak tangga dalam langkah lambat. Senyum terlukis cepat di bibirnya. 

Ternyata begini rasanya ketika keberadaan dirinya terlihat berarti di mata orang lain. Hati Vincia terasa hangat. 

***

Ini jelas tindakan impulsif. Jelas, Vincia terpengaruh ucapan Frita siang tadi. Bahwa berdandan itu semudah melukis. 

Dalam perjalanan pulang usai bekerja sambilan sebagai kasir di toko buku, Vincia mampir ke toko kosmetik. Selama ini, tiga kali dalam seminggu ia pasti melewati toko itu, tetapi tidak pernah merasa tertarik. Namun, malam ini,  gadis itu melangkah masuk dengan berani. Kemudian keluar dengan membawa sebuah kotak kecil berisi liptint.

Siapa sangka, ucapan singkat dari Frita ternyata berhasil mendorong Vincia mengambil keputusan besar dalam hidup. Ia merelakan sebagian uang hasil kerja sambilan untuk membeli perwarna bibir. 

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Vincia tidak bisa berhenti tersenyum. Sesekali, ia menatap benda dalam genggamannya itu. Seolah-olah liptint itu bisa mengatakan lelucon.

“Aku pulang,” ujar Vincia sambil membuka pintu rumah.

“Selamat datang.”

Vincia terperanjat mendengar suara seorang lelaki dari dalam rumah. Benar juga. Ia hampir melupakan keberadaan pemuda itu.

Gohvin. 

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Vincia ketus. Senyum yang mengiringinya sepanjang jalan mendadak lenyap tanpa sisa.

Gohvin melirik hidangan di atas meja. Tatapannya kembali pada Vincia seolah-olah mempertanyaan kewarasan gadis itu. “Memasak.”

Vincia menghela napas panjang, mengumpulkan seluruh kesabaran di udara. “Maksudku, bagaimana kau bisa masuk ke sini? Ke rumahku?”

“Aku yakin bukan itu pertanyaanmu tadi.”

“Tolong jawab saja, Gohvin.”

“Tentu saja bisa. Ini juga rumahku,” jawab Gohvin tegas.

Urat kekesalan di wajah Vincia menegang. Selama ini, ia selalu menjadi sosok yang tenang. Sampai kehadiran Gohvin yang berulang kali memicu amarahnya.

Belum sempat mendebat, tiba-tiba bel rumah berdering nyaring. Sebagai orang yang tidak terbiasa menerima tamu, sekujur tubuh Vincia langsung menegak kaku. 

🎨🎨🎨

Makashi𖹭 Luvnaer🌙 sudah membaca dan memberi rating untuk Paint of Pain. Like dan komentar dari kalian sangat berarti~ (˶˃ ᵕ ˂˶)

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • juliartidewi

    Kalau minat baca penduduk Indonesia sudah tinggi, semua penulis pasti diapresiasi sehingga tidak ada lagi persaingan yang sangat ketat seperti sekarang. Setiap penulis akan memiliki karya2nya sendiri yang sudah diterbitkan karena setiap penulis akan memiliki penggemar2nya sendiri. Semoga karya Kakak sukses!

    Comment on chapter Epilog
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak 🤩

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt 😭

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier 🤩

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh 😍

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih 😭

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu 🤩

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya 🤔

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa 😂

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Unexpectedly Survived
330      282     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Dalam Satu Ruang
264      203     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
445      349     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Resonantia
894      622     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
628      446     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Anikala
3613      1291     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Deep End
98      89     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Warisan Tak Ternilai
1008      492     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
The Best Gift
64      61     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Kacamata Monita
4068      1228     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...