Kanvas kosong itu tampak seperti jurang yang curam.
Makin dipandang, makin tampak mengerikan. Vincia Fikaso mengalihkan tatapan ke arah jendela ruangan. Cahaya sore menggoreskan bayang-bayang panjang di lantai atelir lukis. Rona jingga kemerahan itu seolah-olah mengejek kekosongan di kepalanya.
Lukisan itu seharusnya menjadi tugas akhir Vincia. Karya yang akan menentukan kelulusannya dari fakultas seni rupa. Semua teman seangkatannya hampir merampungkan lukisan masing-masing. Bahkan beberapa orang sudah memamerkan progres mereka ke dosen pembimbing.
Sementara Vincia masih terjebak di titik yang sama selama dua pekan.
Vincia menghela napas panjang. Gadis itu mengumpulkan keberanian untuk meraih kuas dalam cangkir. Namun, ia bahkan kesulitan menentukan warna yang sesuai.
“Vincia.”
Panggilan itu diucapkan dengan lembut, tetapi berhasil membuat Vincia tersentak. Itu karena ia terlalu sibuk dengan ide-ide yang membeku dalam benaknya.
“Ya?” gumam Vincia sambil menoleh. Ia mendapati seorang gadis berambut ikal sepunggung sedang menatap ke arahnya dari bagian depan ruangan. Itu adalah Frita Ruiz—salah seorang teman seangkatannya.
Hanya ada mereka berdua di atelir lukis. Vincia terlambat menyadari itu. Sejak tadi, ia mengira sedang sendirian.
“Boleh minta bantuan?” pinta Frita dengan kedua telapak tangan bertemu di depan dada.
“Y-ya,” sahut Vincia terbata. Mana bisa ia menolak permintaan yang diucapkan dengan nada lembut itu, “apa?”
“Tolong bantu aku memindahkan lukisan ke loker,” jawab Frita. Kulitnya yang cokelat keemasan tampak berkilau terkena cahaya senja.
“Oh, baiklah,” sahut Vincia lantas bangkit berjalan ke tempat Frita, meninggalkan kanvas kosong miliknya.
Lukisan milik Frita ditutupi kain putih. Vincia tidak bisa melihat apa yang tergambar di sana. Namun, ia minder karena belum bisa menggoreskan satu warna pun.
Vincia menahankan pintu loker agar tetap terbuka. Supaya Frita bisa menyimpan lukisannya ke dalam.
“Terima kasih, Vincia,” ujar Frita setelah menutup dan mengunci pintu loker. Senyum gadis itu menyentuh pipinya yang diberi perona.
“Ya, sama-sama,” sahut Vincia sambil mengusahakan senyum yang tidak terlalu canggung.
Vincia tidak terlalu akrab dengan Frita. Tidak biasanya mereka mengobrol lebih banyak dari lima kalimat. Jadi, interaksi ini terasa janggal. Bagi dirinya sendiri.
Meski memalukan untuk diakui, tetapi sebenarnya, Vincia tidak terlalu akrab dengan semua orang.
“Kau masih lanjut melukis atau mau pulang?” tanya Frita seraya melepas dan melipat apron. Blus cantik berpita dan rok selutut berwarna koral tampak sangat cocok di tubuh gadis itu. Siapa pun akan mengira Frita hendak pergi kencan alih-alih baru selesai melukis.
Vincia menoleh pada matahari terbenam di luar sana. “Hem, aku mau pulang saja.”
“Ayo, kubantu menyimpan lukisanmu juga.”
“Eh, tidak perlu. Itu cuma—” Vincia melirik sekilas pada kanvas di kuda-kuda kayu, “itu masih kosong.”
“Oh,” gumam Frita lantas tersenyum maklum, “kita semua pernah mengalami itu. Mungkin kau cuma butuh jalan-jalan sebentar.”
Vincia hanya menggangguk.
“Kalau begitu, mau turun bareng?”
Lagi-lagi, Vincia mengangguk. Ia melepas dan melipat apron. Seketika merasa malu pada jeans butut dan kaus kusut biru muda yang ia kenakan.
Setelah menutup pintu ruang atelir, dua orang gadis itu menuruni tangga ke lantai satu. Beberapa obrolan singkat mengisi perjalanan mereka. Tentu saja dibuka oleh Frita. Sementara Vincia hanya menanggapi seperlunya.
“Mau kuantar pulang sekalian?” tanya Frita yang langsung berbuah gelengan kepala Vincia.
“Seperti katamu tadi, aku perlu jalan-jalan sebentar,” jawab Vincia sambil tersenyum kikuk.
Frita tertawa kecil. “Baiklah. Mudah-mudahan kau mendapat inspirasi.”
“Terima kasih,” sahut Vincia lirih.
“Ingat juga untuk tidak terlalu perfeksionis,” saran Frita, “tidak akan ada lukisan yang sempurna, yang ada hanya lukisan yang selesai.”
Vincia mengangguk sambil tersenyum. Kemudian berterima kasih lagi dengan suara lirih. Ia mengangkat tangan di depan dada demi membalas lambaian tangan Frita yang hendak memasuki mobil berwarna merah muda.
Terkadang hidup memang tidak adil. Ada manusia seperti Frita yang sempurna layaknya tiara, sementara manusia lainnya tidak lebih penting dari debu dunia.
Seperti Vincia.
***
Langit sudah gelap ketika Vincia tiba di rumah. Hunian itu merupakan warisan dari mendiang ayahnya. Ia tinggal sendirian sejak sang ibu pergi lima tahun silam.
Meski demikian, Vincia tetap mengucap salam setiap kali masuk ke rumah. “Aku pulang,” katanya dengan lantang meski hanya berbalas keheningan dari rumah kosong.
Setelah menyimpan sepatu lalu mencuci tangan dan kaki, Vincia menuju pintu yang bersebelahan dengan dapur. Itu adalah studio lukis ayahnya. Banyak kenangan tersimpan di sana. Sehingga gadis itu tidak mengubah tatanan ruangan itu.
Vincia sering menghabiskan waktu di ruangan itu. Ia juga punya kebiasaan rutin untuk membersihkan bingkai hasil karya ayahnya. Seperti sekarang.
Vincia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan lukisan berbingkai kayu cokelat itu. Warna-warna yang digoreskan agak memudar di beberapa sudut, tetapi tetap menampilkan pesona hangat yang khas. Dengan kuas halus, gadis itu mengusir debu-debu tipis di sela pigura.
“Pa, aku tidak tahu harus melukis apa,” keluh Vincia sambil merapikan letak lukisan itu di dinding, “padahal ini akan menjadi penentu kelulusanku.”
Vincia menekuk kakinya ke kursi, lalu menyandarkan dagu ke lutut. Ia memandangi semburat warna jingga pada langit di lukisan ayahnya. Kuning dan hijau membentuk hamparan rerumputan. Siluet seseorang tampak berdiri tegak di bagian kiri kanvas. Rambutnya tertiup angin, sementara tangan kanannya terangkat seolah-olah hendak menyentuh matahari terbenam. Dengan bahu tegap, ia berdiri mantap meski tanpa alas kaki.
“Apa papa pernah juga merasakan kekosongan seperti ini?” gumam Vincia lebih pada dirinya sendiri, “apa yang papa lakukan untuk mendapatkan inspirasi?”
Detik berikutnya, Vincia bangkit dengan cepat. Setengah melompat gadis itu bergegas keluar kamar. Perasaan kesepian hampir saja menjajah hatinya. Hal terakhir yang ia inginkan.
Vincia memang sendirian, tetapi jangan sampai merasa kesepian.
Maka, gadis berambut hitam sebahu itu mengambil ponsel dari tas. Tidak ada pesan baru atau panggilan tidak terjawab di sana. Bahkan pesan yang ia kirim siang tadi belum berbalas. Pesan penuh perhatian untuk mengingatkan pacarnya agar tidak melewatkan makan siang.
Tiba-tiba gemuruh terdengar. Alih-alih terkejut, Vincia justru tergelak sambil menyentuh perutnya.
Tidak hanya kanvas, rumah, dan kotak pesannya saja yang kosong. Ternyata perutnya juga kosong. Gadis itu bergegas ke dapur. Satu-satunya yang bisa ia isi saat ini adalah kekosongan perutnya.
***
Vincia sudah berpacaran dengan Valdo Kahl selama tiga tahun delapan bulan sekarang. Hubungan mereka memang tidak penuh dengan hal-hal romantis seperti bunga dan kencan makan malam. Namun, mungkin beginilah cinta di dunia nyata. Sederhana, bukan berhiaskan bumbu-bumbu romansa yang tidak masuk akal.
Isi tas kain yang dibawa Vincia merupakan salah satu bentuk cintanya untuk Valdo. Gadis itu sengaja menunda makan meski sudah selesai memasak tumis daging sapi dan brokoli. Ia lakukan itu demi bisa menyantap masakannya bersama sang kekasih. Setelah mewadahi nasi dan lauk dalam dua kotak, Vincia langsung berangkat menuju kos-kosan Valdo.
Akan tetapi, sudah lima menit memanggil dan menunggu di teras, Valdo tidak kunjung muncul. Padahal biasanya lelaki itu selalu berada di kos-kosan untuk mengerjakan komik agar bisa dibaca secara daring setiap hari. Menurut Vincia, Valdo terlihat sangat keren ketika sedang bekerja keras untuk impian. Hanya dengan memikirkan itu, senyum terbit di wajahnya.
Detik berikutnya, glabela Vincia berkerut muram. Senyum di bibirnya luntur. Tiga pesan yang ia kirim, tidak kunjung mendapatkan balasan. Bukan kali pertama gadis itu mendapati ruang obrolan mereka sepi. Hanya saja, perutnya mulai terasa perih.
Akhirnya, Vincia memutuskan untuk menelepon Valdo. Walaupun ia tahu kalau lelaki itu tidak menyukai dihubungi secara langsung lewat telepon. “Tidak suka mengobrol” dan “menganggu proses pembuatan komiknya” adalah alasan yang sering diucapkan lelaki itu.
Panggilan pertama tidak terjawab. Vincia kembali menelepon. Bayangan untuk makan bersama Valdo mulai runtuh di benaknya. Akhirnya, panggilan kedua dijawab pada nada sambung ke-5.
“Halo, Valdo?” sapa Vincia sambil sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Kebisingan di seberang sana terasa menyakiti telinga.
“... ya? Vincia?” sahut Valdo setengah berteriak, “aku sedang di luar. Nanti aku telepon lagi, ya.”
Kemudian panggilan terputus begitu saja.
Vincia menghela napas panjang. Tangannya terkulai ke samping tubuh. Ia bangkit berdiri lantas menyambar tas kain dari atas meja teras. Ayunan tungkai gadis itu terasa dibebani batu.
Alih-alih langsung pulang, Vincia memutuskan untuk duduk di taman umum. Tidak ada orang selain dirinya di sana. Sekarang pukul delapan malam. Mungkin semua orang sudah berkumpul di rumah bersama keluarga masing-masing. Hanya Vincia yang duduk di sini sendirian ditemani suara jangkrik yang saling bersahutan menjadi harmoni yang khas.
Vincia melirik tas kain yang ia letakkan di samping. Selera makannya nyaris ke titik nol. Energi gadis itu habis untuk meredam kekesalan yang muncul dalam hati. Namun, tubuhnya membutuhkan asupan agar bisa tetap sehat. Jatuh sakit adalah hal terakhir yang diinginkannya karena ia tinggal sebatang kara.
Tanpa berpikir dua kali, Vincia memangku kotak bekal itu. Suapan demi suapan sampai ke mulutnya dengan gerakan pelan. Makanan itu terasa hambar, tetapi ia tetap berhasil menelan.
Entah di suapan ke berapa, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang duduk di ujung lain bangku panjang.
“Kau tidak harus selalu berpura-pura kuat, Vincia.”
Vincia menoleh dengan cepat. Mata gadis itu terbelalak. Rahangnya seperti hendak terjatuh.
Sosok pemuda itu tampak asing sekaligus familier. Rambut yang tertiup angin, dengan tangan kanannya terangkat seolah-olah hendak menyentuh sesuatu di udara.
Persis seperti siluet dalam lukisan ayah Vincia.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama