Ini adalah kematian keduanya, atau mungkin kali ketiga. Vincia tidak bisa menghitung dengan pasti. Seluruh indranya sudah tumpul untuk sekadar merasakan perasaan yang timbul. Ada begitu banyak yang ingin diungkapkan, tetapi kata-kata tidak lagi cukup.
Vincia menarik napas dalam-dalam, memastikan bahwa ia masih hidup. Kemudian gadis itu bangkit dari lantai tempatnya berbaring. Dengan langkah yang lebih lambat dari kura-kura, ia mendekat ke arah kanvas. Tatapannya menatap nanar ke arah lukisan itu.
Lukisan terakhir ayahnya.
Tangan Vincia gemetar ketika meraih kuas. Bahkan suara kuas menyentuh permukaan kanvas pun terdengar seperti ledakan, mengusik kesunyian yang sudah terlalu lama menyelimuti hidupnya. Setiap goresan pada kanvas terasa seperti upaya sia-sia. Karena ia tidak akan bisa menangkap apa yang telah hilang.
Meski pandangannya mengabur karena air mata menggenang, Vincia tetap menyapukan cat dengan kuasnya. Seolah-olah hanya dengan melukiskan luka, ia bisa menemukan kembali bagian-bagian yang hilang dari dirinya.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama