Rafa menagih janji Rintik untuk mengadakan pertemuan. Ia mengirim pesan pada Rintik. Karena sebelum Rintik pulang dari kafe, ia meminta nomor telepon. Rintik diajaknya ke sebuah department store. Jam sembilan belas lebih dua puluh menit, ia menunggu kehadiran gadis itu di dekat pintu masuk. Sudah sejak duapuluh menit yang lalu, Rafa berdiri dan mencari sosok Rintik diantara pengunjung yang akan masuk.
“Maaf, gue telat. Tadi jalanan macet,” kata Rintik. Gadis itu tampak terengah-engah. Terlihat dari caranya bernapas.
“Lo abis lari?” tanya Rafa.
Rintik mengangguk. “Dari parkiran gue lari. Karena gue nggak biasa telat.”
Rafa tertawa. “Gue bukan petugas ketertiban yang akan kasih hukuman kalau lo dateng telat.”
“Emang bukan. Tapi gue takut lo udah pergi karena kelamaan nunggu gue. Kan sia-sia perjuangan gue melawan kemacetan sampai sini kalau lo udah pergi,” ungkap Rintik.
Rafa tidak habis pikir dengan gadis di depannya. Tidak mungkin dirinya pergi begitu saja dan membiarkan Rintik datang sedangkan dirinya pergi. Toh, yang mengajak ke sini adalah dirinya. “Gue nggak akan pergi sebelum ketemu lo. Karena gue tipe laki-laki yang bertanggung jawab.”
Napas Rintik yang sudah mulai teratur malah kembali tak teratur setelah dirinya tertawa karena ucapan Rafa. “Selera humor lo bagus juga. Kata-kata lo udah kayak orang aja,” kata Rintik.
“Emang gue orang. Lo kira gue malaikat apa?” ujar Rafa. “Jangan bilang lo kira gue malaikat-malaikat rupawan yang ada di film-film? Imajinasi lo tentang gue ternyata tinggi banget ya,” guraunya.
Rintik meninju bahu Rafa. “Jangan kepedean,” ucapnya. “Lagian malaikat yang ada di film-film biasanya serem pakai baju hitam,” lanjut Rintik.
Rafa manggut-manggut. “Bener juga lo. Mungkin gue kayak pangeran di dongeng-dongeng,” kelakarnya.
“Mimpi lo ketinggian.” Rintik tidak mengira laki-laki di depannya ini sungguh aneh.
Setelah mereka bercanda di dekat pintu masuk, akhirnya mereka masuk dan pergi keliling mall. Rintik berjalan di belakang Rafa. Hingga tiba-tiba laki-laki itu berhenti mendadak yang menyebabkan Rintik menabrak Rafa.
“Kalau mau berhenti jangan dadakan napa?!” omel Rintik sambil mengusap keningnya.
“Makanya lo jangan jalan di belakang gue. Di samping gue aja,” kata Rafa.
Rintik menatap Rafa ragu. “Nggak enak. Kayak orang pacaran,” ucap Rintik.
“Jangan berpikiran sempit. Itu ada anak kecil jalan di samping ibunya. Emang mereka pacaran? Nggak kan?” kata Rafa sambil memandang seorang ibu dan anaknya yang berjalan sedikit jauh di depannya.
Rintik menyipitkan matanya. “Mereka emang ibu dan anak. Nggak mungkin ada yang ngira mereka pacaran. Itu beda kasus sama kita,” ucapnya.
“Bedanya apa? Anggep aja orang lain ngira kita ibu dan anak, bukan orang pacaran,” kata Rafa dengan entengnya.
Rintik ternganga mendengar jawaban Rafa. “Mana mungkin gue sama lo itu ibu dan anak. Gue ini masih imut-imut kayak anak SD. Kalau ada yang ngira bapak dan anak itu mungkin iya. Wajah lo kan udah dewasa. Kayak bapak-bapak,” gerutu Rintik yang tidak terima karena secara tidak langsung Rafa menganggapnya tua karena disebut ibu-ibu.
Bukannya meminta maaf, Rafa malah tertawa. “Biasanya ibu-ibu itu cerewet lho,” kata Rafa.
“Rafa!” pekik Rintik.
“Iya, Bu,” jawab Rafa sambil menyengir tak berdosa.
Rintik kesal. Ia mengerucutkan mulutnya. Lalu berjalan meninggalkan Rafa yang tak tahan untuk tertawa karena melihat gadis yang kini meninggalkannya sedang merajuk.
Di restaurant yang ada di dalam mall, mereka duduk dan tidak ada pembicaraan antar keduanya karena Rintik masih terlihat marah. “Lo masih marah?” tanya Rafa.
Sebenarnya Rintik tidak semarah itu. Namun ia ingin membuat Rafa meminta maaf padanya. Hingga ia memutuskan untuk tetap tutup mulut.
“Jangan marah dong. Gue ngajak lo untuk bahagia bukan ngajak lo untuk marahan,” kata Rafa. “Maafin gue ya,” lanjutnya.
Ditatapnya wajah Rafa yang tampak tulus dan tidak sedang bergurau. Rintik mengaku kalah dengan tatapan itu. “Oke gue maafin. Asalkan lo jangan pernah ulang manggil gue dengan julukan ‘Bu’. Gue belum tua,” katanya.
“Jadi lo marah karena gue panggil ‘Bu’?” tanya Rafa.
Rintik mengangguk.
“Lo kan cewek. Bakal jadi ibu di masa depan,” kata Rafa.
“Masih lama. Jadi bukan sekarang,” ucap Rintik tidak terima.
“Berarti gue harus tambahin kata calon di depannya,” canda Rafa.
Rintik menghadiahi Rafa dengan tatapan tajam. “Awas aja kalau berani!”
“Kalau berani gimana?” tantang Rafa.
“Gue bakal makan banyak dan lo yang bayar,” ancam Rintik.
Rafa tertawa kecil mendengar ancaman yang dilontarkan Rintik. “Gue nggak takut. Calon ibu, eh Rintik,” kata Rafa dengan sengaja.
Rintik mendengus sebal. Ia memang tidak berbohong dengan ancaman sehingga ia memesan banyak menu. Hingga nota yang harus dibayar Rafa mencapai angka yang cukup fantastis, hampir satu juta rupiah. Ketika hendak membayar, Rintik segera menyerahkan kartu debitnya di meja kasir.
“Gue yang bayar.” Rafa mengambil kartu debit Rintik yang sudah ada di meja kasir. “Jangan mempermalukan gue sebagai cowok,” katanya.
“Tadi gue becanda, Raf. Biar gue yang bayar,” ucap Rintik.
Rafa menggeleng. “Dan gue tadi nggak becanda. Makanya biar gue yang bayar.” Rafa menyerahkan kartu debitnya pada kasir.
Setelah keluar dari tempat makan itu, Rintik mengeluarkan dompetnya. “Gue ganti tunai ya,” ujarnya.
“Lo masih bahas ini sih. Kan udah gue bilang biar gua yang bayar.” Rafa heran dengan Rintik yang tetap ingin mengganti uangnya. Padahal ia tidak mempermasalahkan sama sekali akan hal itu.
“Gue nggak mau punya utang sama lo. Dan itu uang hasil kerja lo di kafe. Seharusnya lo tabung,” kata Rintik. Ia tidak enak hati karena Rafa sudah bekerja keras di kafe untuk mencari uang tetapi hari ini harus mentraktir dirinya.
“Gue kerja karena iseng kok bukan untuk memenuhi kebutuhan utama gue. Jadi bebas uangnya mau buat apa. Dan hari ini udah gue putuskan untuk makan malam dengan lo. Jadi jangan merasa nggak enak lagi, oke?” kata Rafa.
“Tapi ...”
“Udahlah. Tapi kalau lo masih merasa nggak enak, lo bayar dengan cara yang lain, oke?” kata Rafa.
Rintik mengernyitkan keningnya. “Cara lain gimana?”
“Lo lagi libur sekolah kan?” tanya Rafa untuk memastikan.
Rintik mengangguk.
“Jadi tour guide gue selama satu hari. Gue kan orang baru di kota ini, jadi gue pengen keliling kota sambil dipandu oleh orang yang ngerti daerah ini,” kata Rafa.
“Tapi bukannya lo kerja kan?” ucap Rintik.
“Pas hari libur,” jawab Rafa.
Rintik berpikir sejenak. Dilihatnya wajah Rafa yang penuh harap. “Okedeh gue setuju. Tapi jangan banyak tanya tentang kota ini. Gue juga baru setahun di sini,” kata Rintik.
“Oh, lo pindahan juga ternyata,” gumam Rafa.
Mereka berjalan pelan. Kini Rintik berada di samping Rafa. “Gue pindah ke kota ini untuk melupakan kenangan lama,” lirih Rintik yang masih ditangkap pendengaran Rafa.
“Mau move on dari mantan ya?” terka Rafa.
Rintik tertawa dengan tebakan Rafa. “Ngapain gue pergi karena ingin lupain mantan. Nyusahin diri sendiri kalau itu,” ujar Rintik. Ia terdiam sejenak. “Ayah gue meninggal saat dikirim di daerah konflik. Dia nggak pernah pulang dan jenazahnya juga nggak ditemukan.”
Penuturan Rintik membuat Rafa merasa sedikit bersalah karena menelisik cerita Rintik yang ternyata memilukan. “Maaf ya karena gue bikin lo cerita ini.”
Rintik tersenyum sambil menggeleng. “Gue yang bahas ini duluan. Lo nggak salah,” katanya. “Kalau lo sendiri, kenapa pindah?” tanya Rintik.
Rafa terdiam sebentar. “Gue sama kayak lo. Ingin melupakan kenangan lama. Orang tua gue bercerai dan sekarang hak asuh gue jatuh ke ayah gue. Jadi gue tinggal ke sini karena ikut ayah.”
“Maaf ya lo jadi ...”
“Gue ingin cerita. Bukan karena lo tanya. Jadi jangan menyalahkan diri. Karena sekarang gue merasa punya teman baru di sini. Nggak sepi dan asing di kota baru ini,” kata Rafa yang menyela ucapan Rintik.
“Makasih ya, Raf. Lo udah baik sama gue. Padahal pertemuan pertama kita buruk banget. Gue merasa malu kalau ingat itu,” ungkap Rintik yang mengingat sikap dingin dan ketusnya pada Rafa saat di taman.
“Gue sedikit takut waktu itu. Gue kira lo kemasukan setan taman. Abisnya lo galak banget,” kata Rafa yang segera menjelaskan pada Rintik karena sudah ditatap tajam oleh gadis berkacamata itu.
“Lo sekolah di mana?” tanya Rintik ketika mereka berada di dekat toko buku.
“Belum tahu. Ayah gue belum ngasih tahu. Lagian ini masih liburan. Masih ada waktu untuk liburan dulu tanpa pusing mikir sekolah,” jawab Rafa. “Mau ke toko buku?” tanyanya.
Rintik tidak langsung menjawab. Sebenarnya ia ingin membeli sebuah buku yang telah menjadi list keinginannya. “Boleh deh. Tapi lo nggak masalah ke toko buku? Biasanya cowok bakal alergi kalau diajak ke toko buku,” ejek Rintik.
“Berarti gue pengecualian.”
Rafa tersenyum dan kini Rintik sangat yakin kalau Rafa memang pribadi yang hangat dan ramah. Hal ini terbukti dari cara Rafa yang selalu melontarkan gurauan dan hampir tiap menit selalu tersenyum. Entah karena ia tipikal orang yang suka senyum atau karena berusaha terlihat ramah.
“Banyak yang lo nggak tahu tentang gue. Jadi siap-siap aja menerima semua hal tentang gue,” kata Rafa yang seolah-olah membaca pikiran Rintik.
Mereka memasuki toko buku yang terletak di lantai dua di mall tersebut. Rintik melihat-lihat di bagian buku fiksi sedangkan Rafa melihat-lihat buku tentang hukum.
Hingga Rintik tiba pada rak buku yang menyajikan buku-buku tentang wanita dan tentang kecantikan.
“Lo suka buku begituan?” tanya Rafa yang tiba-tiba muncul di dekat Rintik.
“Memang kenapa kalau gue suka? Gue ini kan cewek,” kata Rintik.
Rafa mengedikkan bahu. “Menurut gue buku itu menyesatkan.”
Ucapan Rafa membuat Rintik bingung. “Kenapa bisa?”
“Semua wanita yang membacanya akan memiliki perspektif tentang cantik menurut buku itu. Definisi cantik berdasarkan standar manusia yang menetapkan kecantikan pada suatu wujud yang sempurna tanpa cacat secara utuh dengan sudut pandang satu sisi. Seperti cantik itu harus putih, selain itu jelek. Seperti cantik itu harus mulus, tanpa jerawat, tanpa cacat, selain itu jelek. Bukankah itu hanya satu sisi? Cantik itu harus sesuai dengan gambaran orang yang ingin membingkai cantik itu seperti pikirannya.”
Rintik terkejut akan pola pikir Rafa. “Tapi memang kenyataannya begitu, Raf. Cantik itu punya ukuran tersendiri. Kalau tidak ada standarnya produk kecantikan dan perawatan tubuh tidak akan laku,” kata Rintik.
“Merawat diri itu bukan tindak kejahatan. Bukan pula kesalahan. Tapi disaat orang-orang mulai terpaku pada standar cantik yang ada, mereka berusaha untuk mengubah diri mereka dengan hal-hal yang menyakitkan. Dan hal itu demi memenuhi standar itu. Bukankah hal itu sudah banyak terjadi?” kata Rafa yang menginginkan pernyataan Rintik.
Memang yang dikatakan Rafa tidak salah. Kini banyak wanita lebih mementingkan mengubah wajah mereka untuk memenuhi standar cantik yang diciptakan dengan berbagai cara yang mungkin menyakitkan. Dan banyak wanita yang lupa, bahwa isi otak dan kebaikan hati juga mempengaruhi kecantikan jika dilihat dari sisi yang berbeda. Kecantikan dari dalam yang akan memancarkan aura cantik secara natural.
“Lalu lo menganggap cantik itu seharusnya bagaimana Raf?” tanya Rintik.
“Cantik itu adalah saat seorang wanita menerima dirinya secara penuh dan merawat apa yang telah dianugerahkan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti diri. Cantik itu adalah saat seorang wanita menggali ilmu pengetahuan untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak. Cantik itu adalah saat seorang wanita dengan hati penuh kebaikan,” kata Rafa.
Rintik tergelak. “Definisi cantik menurut lo itu jauh lebih sulit dari definisi cantik menurut buku ini, Raf. Terlalu sempurna wanita yang lo gambarkan sebagai sosok yang cantik itu, Raf.”
Rafa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Rin. Tidak sulit untuk mencari sosok wanita cantik yang gue bilang. Lo bisa menemukannya dibanyak tempat.”
“Coba lo sebutkan,” pinta Rintik.
“Lo bisa menemukannya pada wanita yang memiliki sikap keibuan dengan tangan yang penuh kehangatan dan kegigihan untuk selalu mendampingi suaminya. Semua wanita terlahir cantik, tapi tidak semua wanita dapat mempertahankan cantik yang sudah diberikan sejak lahir itu. Jadi cantik itu pilihan,” kata Rafa.
“Berarti gue bisa jadi cantik karena memilih jadi cantik?” tanya Rintik.
Rafa mengangguk. “Lo tinggal memilih definisi cantik yang mana yang lo anut.”
“Apa nggak terlalu kepedean kalau gue menganggap diri gue cantik karena memilih untuk percaya gue ini cantik?” tanya Rintik.
Rafa tergelak. “Lebih baik menjadi orang yang terlalu pede karena menerima diri lo dan meyakinkan diri lo itu cantik daripada lo merasa rendah diri dan membandingkan diri lo dengan orang lain sehingga lo merasa hina,” jawab Rafa.
Rintik mengakui di dalam benaknya kalau Rafa terlampau menakjubkan dengan pemikiran yang ia ungkapkan. Penilaian Rintik terhadap Rafa kini mendadak berubah. Rafa tidak selalu humoris, laki-laki itu bisa menjadi sosok yang kritis.
-0-
Kedekatannya dengan Rafa membuat Rintik lebih sering berkunjung ke kafe Mocca. Ia membaca buku dan terkadang mengobrol sebentar dengan Rafa ketika kafe itu sepi pelanggan. Humor yang selalu dilontarkan laki-laki itu bisa membuat hari libur Rintik terselamatkan dari kegalauan.
Hingga suatu hari, Rintik bertemu dengan Cakra yang juga datang ke kafe Mocca. Mantan pacarnya bersama seorang perempuan yang tidak dikenal Rintik. Awalnya Rintik berusaha untuk tidak mempedulikan kehadiran Cakra, namun ia terkejut ketika laki-laki itu mengeluarkan bungkus rokok dan korek api lalu merokok. Sungguh bukan Cakra yang pernah dikenalnya.
“Lo udah dateng dari tadi?” kata Rafa yang datang di meja Rintik.
Ucapan Rafa membuat Rintik tersadar dari aktivitasnya yang memperhatikan Cakra dengan intens. “Baru aja kok.” Rintik kini menatap Rafa.
“Mau pesen apa? Kayak biasa?” tanya Rafa. Ia sudah siap mencatat pesanan Rintik.
Rintik mengangguk. “Kayak biasa aja.”
Rafa tersenyum sebelum pergi. Kemudian ia menuju meja Cakra dan seorang perempuan yang duduk di samping. Pacar Cakra adalah Wina, itu berita yang pernah Rintik dapatkan dari Kayra. Akan tetapi perempuan yang sekarang diajak Cakra sama sekali bukanlah salah satu siswi dari SMA-nya. Akhirnya Rintik mulai untuk berpikiran positif, mungkin saja perempuan itu adalah sepupu Cakra.
Sejak memasuki kafe, sebenarnya Cakra sudah mengetahui keberadaan Rintik. Namun ia tidak peduli meskipun ada keinginan dalam benaknya untuk menyapa gadis berkacamata itu. Tetapi rasa sakit yang pernah diberikan Rintik masih sangat terasa. Hingga kata-kata Rintik di pertemuan terakhir mereka terngiang-ngiang di kepalanya. Cakra akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan bungkus rokok dan korek untuk mengalihkan pikiran tentang Rintik. Ia butuh pelarian.
Gadis yang bersama Cakra merupakan pacar Cakra yang kesekian. Sejak ia merasa sakit hati banyak sekali perempuan yang sudah menjadi tempat pelariannya. Semua perempuan itu yang lebih dahulu mendekatinya, ia tidak pernah sekalipun mencetuskan diri sebagai pacar atau menembak perempuan-perempuan itu. Cakra beranggapan semua bukan salahnya. Ini murni karena perempuan-perempuan itu yang sangat berambisius menjadi pacarnya.
Setiap hari banyak notif yang berisi chat para perempuan-perempuan itu. Ia tidak merasa senang atau bangga. Biasa saja. Hanya satu notif perempuan yang selalu ia tunggu. Namun perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Dan sekarang takdir mempertemukannya dengan perempuan itu di kafe ini.
“Permisi Kak, ingin pesan apa?” tanya Rafa yang membuyarkan lamunan Cakra akan Rintik.
Cakra menaruh rokok yang dipegangannya di pinggiran asbak. “Gue pesen menu yang dipesen sama cewek yang duduk di nomor 24.”
Kening Rafa berkerut. Ia heran dengan pelanggannya. “Maksud Kakak pesanannya disamakan dengan pesanan Rintik?” tanya Rafa memastikan.
Cakra mengangguk.
“Kamu kenapa pesen sama kayak pesenan orang asing sih, Sayang. Nanti kalau nggak sesuai sama selera kamu gimana?” kata Tania dengan nada manja kepada Cakra.
Di dalam hati, Cakra sudah muak dengan tingkah manja Tania yang selalu kekanakkan. Ia tidak menyukai perempuan manja. Namun apa boleh buat, hubungan yang ia jalani bukanlah hubungan yang berlandaskan rasa cinta. “Gue suka sama nomor 24. Jadi gue pengen pesenan gue sama kayak orang yang duduk di meja itu.”
Cakra tidak pernah memanggil wanita-wanita yang bersamanya dengan sebutan aku-kamu. Dia juga tidak pernah memanggil mereka dengan embel-embel sayang atau sejenisnya. Karena baginya itu tidak perlu.
Rafa menulis pesanan Cakra. Lalu ia kembali menanyai Tania yang tampak cemberut karena perlakuan Cakra yang terbilang cukup dingin. “Kalau Kakak pesan apa?”
“Gue samain aja kayak pacar gue,” jawab Tania yang ingin tampil setia di hadapan Cakra.
Rafa menjadi bertambah bingung karena dua orang di hadapannya ini memesan menu yang sama dengan Rintik. Ia melihat ke arah Rintik. Gadis itu sedang asyik membaca buku. “Baik, mohon ditunggu ya.”
-0-
Malam harinya, Rintik mengajak Rafa untuk menemani dirinya ke sebuah tempat. Ia menunggu di minimarket dekat rumahnya. Ia mengenakan jaket biru yang dikancing serta memakai topi cokelat susu.
Ketika Rafa datang dengan motor matic-nya, Rintik mendekati laki-laki itu. “Maaf ya, lo jadi nggak bisa istirahat.”
“Santai napa. Gue juga lebih suka keluar daripada harus rebahan di kamar,” ucap Rafa sambil tersenyum.
Sebenarnya Rintik tidak ingin mengajak Rafa ke tempat yang akan dikunjunginya nanti. Namun ia membutuhkan laki-laki yang akan melindunginya. Dan setelah Rintik tahu bahwa Rafa bisa bela diri secara spontan Rintik berinisiatif mengajak Rafa.
“Lo mau ajak gue kemana?” tanya Rafa yang kini sudah menjalankan motornya dengan Rintik berada di belakangnya.
“Nanti lo akan tahu setelah di sana.” Rintik tidak memberitahu Rafa karena jika ia mengatakannya lebih dahulu pasti laki-laki itu akan menolak.
Setelah sampai di lokasi yang diarahkan Rintik. Dengan spontan Rafa terbengong-bengong. “Lo nggak salah mau ke sini? Lo tahu kan ini tempat apa?” kata Rafa.
Rintik mengangguk. “Ada yang ingin gue temuin di sini. Lo nggak pa-pa kan nemenin gue ke dalem bentar. Gue takut kalau ada sesuatu di sana,” katanya.
Rafa sebenarnya tidak ingin masuk ke dalam namun ia tidak sanggup membiarkan Rintik yang notabene seorang perempuan masuk ke dalam sendirian. “Gue temenin lo. Dengan syarat jangan jauh-jauh dari gue.” Rafa memegang tangan Rintik.
Rintik mengangguk.
Saat ingin masuk ke dalam pub yang diberitahukan Artha kepada Rintik, seorang petugas memeriksa Rintik dan Rafa. Ia menanyakan kartu identitas keduanya.
“Maaf kalian nggak boleh masuk. Kalian belum cukup umur,” kata petugas itu. Ia juga menatap aneh pada Rintik yang memakai jaket dan celana panjang. Biasanya perempuan yang datang ke tempat ini berpakaian terbuka.
“Saya mohon, Pak. Sekali aja, Pak.” Rintik memohon pada petugas itu.
Dengan alasan yang sama petugas itu melarang Rintik dan Rafa masuk. Hingga seseorang datang. “Biarin mereka masuk. Mereka teman saya.” Cakra datang dengan seorang perempuan yang berbeda dari yang ada di kafe tadi siang.
“C-cakra,” kata Rintik yang terbata-bata. Ia kaget bukan main karena melihat Cakra di tempat ini.
Cakra mengeluarkan sebuah kartu yang kemudian ia serahkan kepada petugas itu. Dan petugas itu memperbolehkan Rintik dan Rafa masuk.
Masih dengan keterkejutannya, Rintik tidak membuka suara apapun. Ia sangat amat syok karena Cakra memiliki kartu sebagai akses masuk pub ini. Dan Cakra datang bersama seorang perempuan yang pakaiannya cukup terbuka.
“Duduk aja,” kata Cakra yang mendapati Rintik dan Rafa yang berdiri tanpa keinginan untuk duduk di sofa yang telah disediakan untuk tamu VIP.
“Lo kenal sama dia?” lirih Rafa kepada Rintik namun masih bisa didengar Cakra.
“Gue sama dia satu sekolahan,” jawab Cakra karena Rintik dari tadi masih membisu. “Kalian pacaran? Bukannya lo pelayan kafe tadi siang kan?” tanya Cakra yang kini mengeluarkan rokok dari saku celananya.
Rafa mengangguk. “Kami hanya berteman. Iya, gue pelayan tadi.”
“Sejak kapan lo kayak gini?” tanya Rintik dengan segenap keberaniannya. Ia tidak pernah menyangka Cakra menjadi orang yang seperti sekarang. Merokok.
Cakra mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu sejak kapan. Mungkin sejak gue disakitin sama seorang cewek.” Ia menyindir Rintik.
Hati Rintik tertohok mendengar perkataan Cakra. Ia melihat Cakra yang sedang asyik merokok dengan tatapan sendu. Niatnya kemari untuk bertemu dengan Cea namun ia menemukan fakta yang di luar dugaan.
Rafa menarik Rintik yang terdiam seribu bahasa. Ia mengajak Rintik untuk keluar dari pub itu. “Lo ke sini ingin ketemu cowok tadi?” tanyanya.
Rintik menggeleng. “Gue nggak tahu kalau Cakra suka ke tempat kayak begini. Niatnya gue pengen ketemu temen gue. Cea.”
Rintik akhirnya menceritakan tentang permasalahan Cea di sekolah kepada Rafa. Dan laki-laki itu mengerti tujuan Rintik datang tempat ini. “Lo harusnya hubungin dia dan ajak ngobrol,” ucap Rafa.
“Dia nggak pernah mau ngobrol sama gue. Terakhir gue ke rumahnya aja gue diusir.” Pertahanan Rintik akhirnya goyah, ia menangis. Air matanya membasahi kedua pipinya.
Rafa menepuk bahu Rintik. “Jangan nangis. Gue nggak mau dituduh yang nggak-nggak karena lo nangis di depan tempat kayak gini.”
Karena tidak ingin ada masalah baru, Rintik menghentikan tangisannya. “G-gue mau es krim,” kata Rintik dengan terbata-bata.
Tawa Rafa pecah mendengar keinginan Rintik. “Yaudah kita cari minimarket.”
Di depan minimarket, Rintik dan Rafa menikmati es krim mereka. Duduk di kursi yang disediakan oleh minimarket tersebut.
“Hubungan lo sama cowok tadi apa?” tanya Rafa tiba-tiba.
Rintik terkesiap mendengar pertanyaan itu. Ia tidak langsung menjawab. “Temen. Dia satu sekolahan sama gue. Cakra itu ketua basket.”
Rafa angguk-angguk kepala. “Nggak ada hubungan khusus?”
“Dulu...” Rintik menggantung kalimatnya, “pacar gue.”
Rintik dan Cakra pernah menjalin hubungan. Namun tidak ada yang tahu bahwa mereka berpacaran. Cakra menyatakan perasaannya pada Rintik setelah dua minggu Rintik menjadi siswa di SMA Nusa Bakti. Awal pertemuan mereka memang cukup menarik. Perpustakaan menjadi saksi bisu pertemuan mereka.
“Sekarang kalian udah putus?” tanya Rafa.
Rintik mengangguk pelan.
-0-