Loading...
Logo TinLit
Read Story - Time and Tears
MENU
About Us  

Hari terakhir class meeting. Rintik duduk tanpa minat keluar dari kelas. Ia enggan bertemu dengan Cakra atau bertemu dengan Adel. Sedangkan Cea yang sudah dua hari ini tidak masuk dan tak pernah bisa dihubungi.

            “Ternyata di sini. Lo dicariin Kak David,” kata Kayra yang masuk ke dalam kelas Rintik.

            “Ada perlu apa dia nyari gue?” tanya Rintik.

            Kayra mencebikkan bibir, “Hari ini lo harus ambil majalah di percetakan. Harusnya kan gue yang ambil biar bisa mesra-mesraan gitu sama Kak Dav,” keluh Kayra.

            “Yaudah lo aja yang ambil. Gue males kemana-mana,” kata Rintik.

            Kayra tampak senang. “Bener nih, Rin? Gue yang ambil nggak pa-pa?”

            Rintik mengangguk. “Iya. Udah sana, buru ditunggu Kak David,” suruhnya.

            Kayra sudah berjingkrak kegirangan. Saat hendak pergi ia kembali ke arah Rintik. “Lo udah tahu berita heboh yang lagi viral nggak?”

            Rintik menggeleng. “Gue nggak minat ngegosip.”

            “Yaudah deh gue kasih info aja nih, Cakra jadian sama teman sekelasnya,” kata Kayra.

            Awalnya Rintik tidak ada keinginan untuk mengetahui berita yang akan disampaikan Kayra. Namun mendengar nama Cakra disebut ia langsung tertarik. “Cakra Aditya? Ketua basket?”

            Kayra mengangguk. “Baru aja sih beritanya heboh karena Cakra berangkat bareng Wina. Dan ada yang lihat kalau Cakra bukain pintu mobilnya untuk Wina. So sweet kan?” kata Kayra.

            “Biasa aja sih. Udah sana ambil majalah, Kay.”

            Kayra melambaikan tangan ke Rintik kemudian keluar dari kelas. Rintik kini bertanya-tanya tentang Cakra yang jadian dengan Wina, apakah benar?

            Sepanjang hari itu suasana hati Rintik benar-benar buruk. Ia tidak tahan lagi berdiam diri di kelas hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Biasanya ia akan memesan ojek online namun kali ini ia ingin berjalan kaki hitung-hitung mencari udara segar. Sekali-kali cabut dari sekolah mungkin tidak apa-apa. Toh, sudah tidak ada pelajaran.

            Tidak jauh dari sekolah terdapat taman yang biasanya dikunjungi para muda-mudi pada akhir pekan atau pada malam Minggu. Pada jam dan hari seperti ini taman itu sepi pengunjung. Hal itu yang membuat Rintik mendatangi taman tersebut untuk sekedar duduk dan rehat sejenak.

            Rintik mengamati langit yang cerah tanpa mendung. Awan-awan putih yang tampak seperti kapas bergerak perlahan. Langit begitu luas, Rintik membayangkan kalau dirinya memiliki sayap dan dapat terbang tanpa batas. Alangkah hidupnya begitu bahagia.

            Semenjak pindah ke kota ini, Rintik mengalami masalah baru, cerita baru, dan tentu semua pengalaman hidup yang belum pernah ia jalani. Kematian ayahnya adalah salah satu alasan mamanya memutuskan untuk pindah rumah. Sebab Melati melihat Rintik yang selalu tampak sedih dan murung ketika mengingat kenangan demi kenangan bersama ayahnya. Awalnya Rintik menolak untuk pindah namun akhirnya ia luluh ketika mamanya dipindah tugaskan.

            “Permisi, boleh gue duduk di sini,” kata seseorang yang datang. Laki-laki itu membuat Rintik menjadi tersadar dari lamunannya.

            “Lo nggak liat tanda kalau bangku ini milik gue kan?” kata Rintik dengan ketus.

            Laki-laki itu duduk di sebelah Rintik. “Lo kabur dari sekolah? Jam segini udah pulang sekolah emangnya?” tanyanya.

            Rintik merasa risih dengan laki-laki asing yang duduk di dekatnya. Niat untuk mencari waktu untuk sendirian kini gagal karena laki-laki ini. “Lo sendiri kenapa ada di sini? Lo bolos?” Rintik membalasnya dengan bertanya.

            “Gue udah libur.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Rafa Adhyastha, nama gue.”

            Rintik melihat uluran tangan itu tanpa berniat membalas kemudian laki-laki bernama Rafa itu dengan paksa meraih tangan Rintik dan mengajaknya bersalaman.

“Siapa nama lo?” tanya Rafa.

            “Perlu banget gue kenalan sama lo?” kata Rintik dengan nada tidak bersahabat.

            “Lo emang aslinya ketus atau sama gue doang sikap lo kayak gini?” tanya Rafa yang sedari tadi tidak mendapat sikap hangat dari Rintik.

            “Gue kayak gini sama orang asing,” jawab Rintik. Ia menarik tangannya.

            Rafa menyenderkan tubuhnya di sandaran bangku itu. Ia mengedarkan pandangannya menyapu area taman. “Orang yang kesal ke orang lain tanpa alasan itu biasanya orang yang lagi ada masalah, sakit, dan bisa juga karena lagi ingin melampiaskan marah. Lo salah satu diantara hal itu?”

            “Gue hanya butuh ketenangan dan keheningan bukannya pertanyaan.” Rintik tidak habis pikir kalau laki-laki ini sungguh menyebalkan.

            “Karena lo butuh ketenangan, gue rasa lo termasuk orang yang lagi punya masalah,” belum selesai berbicara, Rafa sudah dihadiahi tatapan tajam oleh Rintik, “oke gue akan diam.”

            Selama 30 detik keheningan tercipta. Rafa ternyata tipikal orang yang tidak bisa diam. Ia mulai membuka mulut kembali. “Gue orang baru di sini. Kalau lo mau kasih saran tempat bagus di sini gue akan seneng banget,” ucapnya.

            Rintik menatap tajam Rafa. “Lo bener-bener nggak bisa diem ya?!” ucapnya.

            Bukannya merasa bersalah, Rafa malah menampilkan senyumnya yang indah. Hampir saja Rintik terbuai dengan senyuman itu. Namun ia segera sadar. “Gue seneng aja ketemu sama orang yang seumuran kayak gue. Udah beberapa hari gue di sini dan hanya orang tua atau anak kecil yang gue ajak bicara.”

            “Pasti ada cewek-cewek yang ke sini,” ujar Rintik.

            “Ada sih tapi sama pacarnya. Kalau gue ajak ngomong pasti gue ditonjok sama pacarnya,” kata Rafa.

            Membayangkan laki-laki di sebelahnya ditonjok oleh seseorang membuat Rintik tertawa kecil. “Lo ketawa?” tanya Rafa yang memergoki Rintik tertawa.

            Rintik langsung memasang wajah cueknya. Ia menggeleng. “Nggak mungkin gue ketawa. Emang ada yang lucu,” kilahnya.

            “Tapi gue lihat tadi lo ketawa. Pasti lo bayangin yang aneh-aneh?” tuduh Rafa.

            “Nama gue Rintik. Lebih lengkapnya Rintik Artika Kirana.”

            Rafa tersenyum karena Rintik mau memberi tahu namanya. “Gue seneng akhirnya lo kasih tahu nama lo.”

            “Maaf ya sikap gue tadi. Gue lagi butuh sendiri dan lo dateng. Itu salah lo ya bukan salah gue. Karena dateng disaat yang tidak tepat,” kata Rintik yang tidak ingin disalahkan.

            “Iya gue yang salah. Bukannya cewek selalu bener dan cowok selalu salah?” kata Rafa sambil tergelak.

            Rintik mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu istilah itu dateng dari mana atau dari siapa. Tapi kayaknya hal itu nggak berlaku bagi gue.”

            “Gue juga nggak tahu pencipta atau pencetusnya siapa. Mendadak viral aja sih,” kata Rafa disertai tawa.

            Ternyata tawa Rafa menular karena Rintik menyunggingkan senyum. “Bisa aja lo.”

-0-

            Di kamar dengan cat biru muda, Rintik menatap langit-langit sambil memikirkan tentang Cea. Ia ingin sekali bertemu temannya itu. Namun ia tidak kunjung mendapat kabar. Bahkan Artha—pacar Cea tidak mengatakan apapun. Dan buruknya, laki-laki itu menyuruh Rintik untuk tidak berurusan lagi dengan Cea. Mungkin Artha termakan omongan dari rumor yang beredar.

            Karena tidak bisa tidur dengan nyenyak, Rintik memutuskan untuk menemui Artha secara langsung. Pukul 9 malam ia bertemu dengan Artha di depan minimarket dekat rumahnya.

            Laki-laki dengan jaket jeans itu duduk di sebelah Rintik. “Kenapa lo minta ketemuan di sini? Jangan bilang lo mau bahas Cea?” ucapnya.

            Rintik menelan salivanya. “Iya, gue mau tanya soal Cea,” katanya perlahan.

            Artha menghela napasnya sekejap. “Gue udah bilang, Rin. Nggak usah terlibat sama dia. Lo tahu kan semua hal yang udah terjadi? Sebaiknya lo nggak cari tahu lebih dalam, gue takut lo terluka, sama seperti yang gue rasain.”

            Perkataan Artha membuat kerut di dahi Rintik tercetak jelas. “Lo percaya sama semua gosip itu, Ar?”

            “Gue percaya. Dan gue berharap lo juga.” Artha menampakkan wajah yang serius. Tidak seperti Artha yang Rintik kenal. Biasanya laki-laki itu suka bergurau.

            “Lo udah sama Cea hampir satu tahun, Ar. Kenapa lo sekarang termakan gosip itu?” tanya Rintik. Ia tidak percaya kalau Artha sudah berubah.

            Artha mengusap wajahnya kasar. Ia tampak frustasi. “Gue dulu selalu percaya Cea. Tapi sekarang kepercayaan itu udah luntur.”

            “Cea bilang secara langsung?” Rintik berusaha mengeruk informasi lebih dalam dari Artha.

            Artha menggeleng. “Tapi gue lihat dengan mata gue sendiri. Dia kerja di sebuah club malam.” Suara Artha tampak tercekat. Ia pasti merasa terpukul karena menerima kenyataan pahit.

            “Sekarang Cea di mana? Udah beberapa hari ini gue nggak bisa hubungin dia dan dia nggak pernah masuk sekolah,” ujar Rintik yang masih mengkhawatirkan Cea. Ia merasa bahwa Cea sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

            Artha tidak habis pikir dengan sikap Rintik yang tetap bersikeras mencari Cea. “Kenapa lo masih peduli sama dia?” tanyanya.

            “Karena gue temannya.”

            “Sekalipun dia salah lo tetap mau jadi temannya?” tanya Artha lagi.

            Rintik mengangguk. “Karena gue harus meluruskannya untuk kembali ke jalan yang baik bukan malah meninggalkannya dan membuatnya terjerumus lebih dalam.”

            Perkataan Rintik membuat Artha terdiam sesaat. Ia merasakan rasa bersalah. Seharusnya ia bisa seperti Rintik. Mau mendengarkan penjelasan Cea bukannya membiarkannya dan meninggalkannya. “Lo nggak ke rumahnya?” tanya Artha.

            “Setahun gue kenal sama Cea tapi dia nggak pernah ngasih tahu alamat rumahnya. Dia selalu menghindar saat gue tanya alamat rumah,” jawab Rintik.

            “Cea emang misterius,” kata Artha. “Tapi gue tahu alamat rumahnya.”

-0-

            Waktu pengambilan raport tiba. Melati hari ini izin untuk tidak bekerja agar bisa mengambil raport Rintik. “Kamu hari ini mau kemana?” tanyanya pada Rintik yang tampak rapi dengan kemeja flanel serta celana jeans.

            “Aku mau pergi ke rumah teman, Ma. Boleh ya, Ma?” katanya.

            Melati mengangguk. “Jangan pulang terlalu malam.”

            Rintik tersenyum sambil mengangguk. “Siap, Bu Bos.”

            Setelah mamanya berangkat ke sekolah untuk mengambil raport, Rintik menutup pintu dan mengendarai motor matic-nya. Ia ingin pergi ke alamat yang sudah diberitahukan Artha. Rumah Cea. Rintik tidak biasanya mengendarai motor sendiri. Ia lebih sering memakai jasa ojek online apabila berangkat dan pulang sekolah. Tetapi kali ini ia ingin mengendarai motor sendiri.

            Saat sampai di depan sebuah rumah bercat kuning dengan pintu gerbang bercat cokelat yang tidak terkunci. Rintik tampak sedikit ragu-ragu memasuki pekarangan rumah itu. Ia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Diketuknya kembali pintu rumah Cea. Hingga pintu itu terbuka.

            “R-Rintik?” kata Cea sambil terbata. “Kenapa lo di sini?” ucapnya dengan tatapan tak suka dengan kedatangan Rintik.

            “Kenapa lo di sini? Itu kata-kata yang lo ucapin saat temen lo dateng?” kata Rintik. “Gue khawatir karena lo tiba-tiba ngilang.”

            “Sebaiknya lo nggak ke sini, Rin. Gue sekarang bukan temen lo lagi.”

            Ucapan Cea membuat Rintik terkesiap. Ia tidak mengira kalau Cea akan berkata seperti itu. “Lo ngomong apaan sih? Kesambet jin tomang ya lo,” kata Rintik yang mencoba untuk bergurau.

            Tetapi Cea tidak tertawa dan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ingin bercanda. “Gue serius, Rin. Mulai hari ini dan seterusnya, jangan pernah ke sini dan jangan pernah hubungin gue. Anggep aja kita nggak pernah kenal.”

            “Lo kenapa sih, Ce? Dapet tawaran film drama lo?” kata Rintik. “Gue nggak nyangka sekarang lo jadi artis.”

            “Gue nggak bercanda, Rin.” Cea menatap Rintik dengan keseriusan. “Pertemanan ini nggak baik. Lo dan gue itu seharusnya nggak pernah menjalin pertemanan ini. Gue yang salah karena memasuki dunia lo. Seharusnya lo bisa berteman dengan orang lain. Karena gue, lo juga ikut dijauhin.”

            Rintik tertawa kecil. “Siapa sih yang jauhin gue? Dan kenapa lo bilang seharusnya? Kenyataannya kita ini temen. Kita hidup dalam dunia nyata, Ce. Bukan dunia seharusnya.”

            Cea menghela napasnya. Berdebat dengan Rintik memang tidak mudah. Ia kenal sifat Rintik yang satu ini. Keras kepala. “Kalau kedatangan lo ke sini untuk mengkonfirmasi bahwa semua rumor buruk tentang gue itu benar atau salah, gue akan jawab. Semua itu benar. Jadi nggak ada yang perlu gue tutupin dari lo. Selama ini gue hanya bersikap baik sama lo. Karena lo mudah gue bohongin. Mudah gue hasut untuk percaya sama gue. Sekarang lo udah nemu jawabannya, Rin. Masih mau lo temenan sama gue? Hah?”

            Kata-kata Cea kali ini membuat batin Rintik sedikit terluka. “Lo nggak sungguh-sungguh sama ucapan lo kan, Ce?”

            “Hidup di dunia nyata, Rin. Kehidupan gue ini kelam. Suram. Jangan deket-deket gue, nanti lo ketularan,” kata Cea.

            “Gue temen lo, Ce. Cerita sama gue alesan lo ngelakuin itu. Kita cari jalan keluarnya sama-sama.” Rintik tetap peduli pada Cea sekalipun ia merasa tersakiti atas ucapan Cea.

            Cea tertawa miris. “Nggak ada jalan keluar untuk gue, Rin. Ini dunia gue. Nggak mungkin untuk gue keluar. Sama aja gue nunggu ayam jantan bertelur. Mustahil.”

            “Gue ini teman lo, Ce. Kalau ada masalah lo bisa curahkan ke gue. Jangan pendam semuanya sendirian,” kata Rintik. “Gue pulang dulu ya. Pikirkan lagi semua perkataan gue. Gue siap untuk mendengarkan lo.”

            Rintik pergi meninggalkan Cea yang mematung di depan pintu. Setelah motor Rintik melaju, tangis Cea pecah. Ia menyadari sesuatu bahwa pertemanannya kini di ujung tanduk.

            Rintik mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Pipinya sudah basah dengan air mata. Ia bersikap tegar di depan Cea namun hati tidak bisa dibohongi. Ada bagian dari dirinya yang sakit atas ucapan dan pengakuan Cea. Ia ingin mempercayai semua perkataan Cea namun ada sisi lain dirinya yang tidak percaya kalau temannya melakukan hal itu. Kini Rintik di ambang keraguan. Ingin membantu atau ingin bersikap tak peduli.

            Kafe Mocca. Tempat favorit Rintik sejak dulu. Banyak kenangan yang tercipta di tempat ini. Kenangan dengan Cea dan kenangan dengan Cakra. Ia sudah tidak menangis lagi. Namun matanya masih sedikit berair dan sedikit merah.

            “Ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang laki-laki yang datang di sebelah Rintik.

            Rintik mendongak dan ia terkejut ketika melihat siapa laki-laki itu. Rafa. Laki-laki yang ia jumpai di taman dekat sekolah. “Lo kerja di sini?” tanyanya kepada Rafa yang memakai pakaian pelayan.

            Rafa mengangguk sambil tersenyum. “Terkejut? Gue kerja part time di sini, mumpung liburan.”

            Rintik ber-oh ria. “Gue kira lo cuma laki-laki yang suka di taman.”

            Rafa tertawa. “Gue juga punya dunia lain,” katanya. “Lo mau pesan apa?”

            “Gue pesen caramel machiato satu. Sama cinnamon,” ujar Rintik.

            Rafa menulis pesanan Rintik. “Ditunggu ya, Nona Rintik.”

            Rintik tergelak mendengar ucapan Rafa. “Siap, Tuan Rafa,” balasnya.

            “Salah,” kata Rafa.

            “Kenapa salah?” tanya Rintik.

            “Harusnya pelayan bukan tuan,” sahut Rafa.

            Untuk kedua kalinya Rintik tertawa lagi karena perkataan Rafa. “Boleh gue jujur?” ucapnya.

            “Apa?” tanya Rafa penasaran.

            “Lo nggak cocok jadi pelayan,” cakap Rintik. “Tapi jangan kepedean.”

            Entah untuk keberapa kali, Rafa tertawa. “Gue nggak kepedean kok. Gue sadar diri,” kata Rafa merendah. “Gue pergi dulu ya. Obrolan kita lanjut kalau gue nggak kerja, oke?” Rafa menunggu persetujuan Rintik.

            Rintik mengangguk. “Oke.”

            Senyuman Rafa tercetak di wajah tirusnya. “Gue catat itu sebagai janji, kalau nggak ditepati nanti jadi hutang,” ucapnya.

            Rintik mengibaskan tangannya. “Udah sana pergi. Nanti bos lo marah. Kalau sampai lo dipecat jangan nyalahin gue,” kata Rintik yang tidak ingin Rafa terkena masalah karena terlalu lama mengobrol dengannya.

            Melihat kegelisahan Rintik akhirnya Rafa meninggalkan gadis itu untuk kembali bertugas.

-0-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1850      950     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Our Perfect Times
809      584     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Istri Tengil Gus Abiyan
550      404     4     
Romance
Sebelum baca cerita author, yuk follow ig author : @Safira_elzira, tiktok: @Elzira29. Semua visual akan di poating di ig maupun tiktok. •••●●••• Bagaimana jadinya jika seorang gadis kota yang tiba-tiba mondok di kota Kediri jawa timur. Kehiudpan nya sangat bertolak belakang dengan keseharian nya di Jakarta. Baru 3 minggu tinggal di pesantren namun tiba-tiba putra pemilik kiayi m...
Because I Love You
1266      730     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
Sekilas Masa Untuk Rasa
3869      1264     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Nadine
5740      1538     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Sunset in February
962      535     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8703      1607     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Let's Play the Game
309      264     1     
Fantasy
Aku datang membawa permainan baru untuk kalian. Jika kalian menang terima hadiahnya. Tapi, jika kalah terima hukumannya. let's play the game!
Heliofili
2517      1140     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama