‼️POV Aku itu isi diarynya ya‼️
selamat membaca💗
•••
6 bulan sebelum pertemuan dengan Divya.
"Woi, bengong aja. Kenapa?" tanya seorang pria yang sedang berlalu di meja rekannya. Bingung, karena tidak ada balasan, pria itu ikut melihat apa yang dilihat rekannya.
"Eh, ini buku siapa? Kok ada sama lo?" tanyanya lagi dan lagi.
Rekannya itu sontak tersadar, dengan malas dia menjawab, "Bukan punya siapa-siapa."
"Maling buku siswa, ya, lo?" fitnahnya sembarangan.
"Lo lain kali jangan sering ikut-ikutan perghibahan ibu-ibu, jadi suka suudzon kan," sindirnya sambil menatap tajam rekannya itu.
"Khandra! Mari kita ke kelas, kebetulan Ibu tidak ada acara, jadi bisa mengajar bersama-sama," panggil Bu Rina yang merupakan guru pembimbingnya. "Dan juga Arzan, kamu jangan keseringan ikutan ngerumpi, jangan ngajarin Khandra yang tidak-tidak," omelnya.
Ruang guru yang lumayan ramai itu sibuk di meja masing-masing membawa peralatan mengajar seperti biasa. Khandra dan Arzan merupakan mahasiswa PPL yang satu universitas dan juga kebetulan ditempatkan di sekolah yang sama. Sudah seminggu mereka menjadi guru PL di SMA EVARIA. Juga, Khandra sudah kenal baik dengan guru-guru disini karena ia merupakan salah satu alumni, apalagi ia juga pernah menjabat sebagai anggota osis.
Arzan hanya cengengesan mendengar Bu Rina kemudian berjalan ke mejanya. Sedangkan Khandra menjawabnya dengan tersenyum, lalu kembali menatap diary yang tak sengaja ia temukan saat pertama kali menginjakkan kaki setelah sekian lama di sekolah ini.
Seminggu yang lalu,
Melirik sebuah gedung yang telah lama ia tinggalkan bersama kenangannya. Gedung yang harusnya dahulu tak akan terasa seasing sekarang. Entah kenapa bayangan dari masa lalu menyelinap di kepalanya. Kebersamaan bersama teman. Masalah yang tak ada habisnya dengan guru. Masalah belajar yang kadang bosan juga kadang seru. Satu lagi, masalah percintaan.
Awal sebuah rasa yang mulai bersemi. Kepolosan yang masih lekat juga tak memahami rasa itu sendiri. Mencari-cari dia yang selalu dihati namun juga kadang mencoba menghapusnya di benak. Mati-matian menjaga perasaan demi dia, walaupun tau dia belum tentu memiliki perasaan yang sama. Mencoba mencari tahu segala hal tentang dia. Lalu, terkadang pula, terluka diam-diam.
Seorang Khandra juga merasakan hal seperti itu. Meski SMA berjalan 3 tahun, hanya satu nama yang terbesit dihatinya saat itu. Tanpa tahu besar perasaannya sendiri yang membuatnya rindu hanya karena sudah dijalan yang berbeda. Penyesalan yang mendalam juga perasaan yang harus disingkirkan.
Aneh. Padahal dirinya sendiri banyak disukai wanita lain, justru wanita yang paling tidak terlihat oleh orang lain yang mengisi degup jantungnya hanya karena tidak sengaja berpapasan. Parahnya, dia kira, dia cuma sekedar suka memperhatikan gadis itu tanpa ada rasa yang lebih. Hingga akhirnya waktu menjatuhkan sedalam-dalamnya.
Langkahnya berhenti ketika melihat kelas tahun terakhirnya di sekolah. Perlahan ia buka, seketika bayang dari kenangan yang masih terasa baru itu berputar kembali. Gelak tawa yang mudah. Kebingungan dan keluhan tentang masa depan yang membuat takut melangkah. Saling bergandengan untuk mengejar cita tapi dengan tujuan yang berbeda. Rasa ingin cepat menyelesaikan sekolah, dan ketika mendekati kata selesai, justru harus sedih dengan kalimat good bye.
Khandra berjalan ke tempat duduknya dahulu seraya mengenang, tak lupa mengecek hal-hal random yang ada di kelas itu. Hingga matanya menemukan sebuah diary di laci mejanya. Diatas diary itu ada surat usang juga tertulis namanya.
Teruntuk Khandra Michael Lais
Hai! Dari aku yang tidak akan kamu pandang.
Tidak apa, tiga tahun yang menyenangkan sekaligus menyakitkan.
Diam-diam menyukai juga diam-diam tersakiti.
Tapi, aku yakin satu hal.
Saat-saat mencintaimu akan jadi kenangan terindah dimasa sekolah.
Selamat tinggal, cinta pertamaku.
Aku harap bahagia untukmu selalu.
-Divya Cassia Finley
Mata Khandra membulat sempurna disaat melihat nama penulis itu. Seseorang yang juga pernah menyita waktunya saat SMA dulu. Matanya turun ke tulisan asing dan juga baru ditulis baru-baru ini.
Wah, siapapun yang nemu diary ini, tolong jangan diambil. Gue pengen diary ini sampai ke tuan Khandra hehehe><
Wih, keren Kak! Panutanku! Semoga diary ini tersampai walaupun hanya terletak di laci ini!
Kak Divya, semangat ya! Aduh, jadi semangat nge-crush in dia, walaupun diam-diam.
Senyum kecut tertampil di wajah Khandra. Kenapa baru sekarang perasaan lama itu harus tersampaikan. Kenapa dirinya baru sekarang menyadari hal itu. Kenapa waktunya sangat-sangat tidak tepat?
Khandra melipat kertas itu lalu diselipkannya di belakang buku diary itu. Matanya mulai menilai cover diary itu.
Cantik seperti penulisnya batin Khandra seraya mengingat rupa Divya yang dikenalnya.
Hai, kenalin aku Divya Cassia Finley. Orang paling biasa di sekolah. Begitu banyak orang-orang di sekolah yang gak tahu aku. Apalagi seseorang yang akan aku tulis dibuku ini. Seseorang yang iseng masuk ke dalam hati ini, entah karena apa, bagaimana, dan kapan. Tapi aku hanya bisa mengingat bagaimana awal mula dia menyita sedikit perhatianku. Hingga akhirnya, dia jadi seluruh pusat perhatian ini.
Bahkan kalimat prolog di diary ini terlalu indah untuk dilewatkan. Begitulah pikir Khandra saat membacanya. Tanpa Divya sadari, dia juga merupakan pusat perhatiannya sejak dulu. Tapi mengapa harus sekarang semua itu harus terkuak?
°°°
Setiap bulir embun yang kusentuh dari tumbuhan yang dilalui, langit yang masih menggelap namun mula-mula menampakkan diri. Aku dengan hati yang senang, gugup, dan takut bercampur aduk beriringan dengan langkah kaki yang bergetar. Entah akibat dingin pagi atau justru karena perasaan ini.
Sesampainya di sebuah rumah, aku berhenti seraya menyorakkan nama. Mungkin akan mengganggu, tetapi aku tak menghiraukannya karena sudah seharusnya khalayak bangun. Seseorang keluar dari pintu rumah itu dengan menggantungkan tas dibahu dan tangannya dipenuhi dengan handphone dan sepatu. Dia Ceya, sahabatku. Aku menyambutnya dengan senyuman.
"Gak bosan telat ya lo?" sarkasku yang disambut cengengesan khas darinya.
Seperti biasa, banyak cerita yang dia lontarkan sebelum kami berjalan ke jalan raya. Aku tak begitu mengingatnya, karena aku memang pelupa. Semenarik apapun cerita, aku akan melupakannya bahkan setelah bercerita sejam yang lalu. Mungkin, karena itulah lumayan banyak teman yang nyaman bercerita kepadaku.
Singkatnya, setelah turun dari angkot, aku memasuki gerbang sekolah yang kabarnya terfavorit sekota bahkan sekabupaten tempat tinggalku. Sebagai anak baru, yang bahkan mengindam-idamkan SMA ini sejak SMP, aku tidak menyangka akan masuk sekolah ini.
Dengan mata yang berbinar, aku menilik berbagai tempat yang ada disekolah, lalu berjalan ke ruangan yang diarahkan oleh guru dan siswa OSIS. Jelas akan terlihat ramai, dengan wajah-wajah yang asing bersemangat memulai kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Tidak banyak asal SMPku yang masuk ke SMA ini, tetapi aku senang mengenali beberapa wajah teman sekelas dulu.
Sesampainya aku dilantai dua, keramaian siswa baru membuat lorong sekolah terasa sempit untuk dilalui, belum lagi dengan anak osis yang masih merapikan kursi karena ruangan yang kami tempati merupakan 3 kelas yang digabung dengan dibukanya trali.
Seperti layaknya sebuah acara yang berisi dengan sambutan para guru sekaligus menyelamati kami atas lulusnya dan dapat masuk di sekolah ini. Setengah jam pertama mataku berbinar karena semangat yang menggebu-gebu, setelahnya justru terasa membosankan mendengarkan.
Tapi rasanya masih terasa mimpi, SMA yang dulunya hanya bisa dilihat sambil berharap-harap cemas, akhirnya berhasil didapatkan. Tak sekali dua kali aku memerhatikan bagaimana gedung sekolah ini, juga berharap apa yang akan terjadi selama 3 tahun ke depan. Sebagai remaja yang mencintai dunia literasi fiksi remaja, jelas masa SMA ini harapan kecil akan adanya dunia menyenangkan. Apalagi kalau bukan percintaan?
Aku hanya bisa menatap berbagai wajah asing dan beberapa wajah yang justru familiar. Entah bagaimana, aku hanya menikmati 3 hari masa pengenalan lingkungan sekolah ini dengan santai. Sebelum akhirnya, satu sosok mengusik ketenanganku.
Pengumuman nama-nama yang akan dipindahkan di ke ruangan sebelah melantunkan namaku. Lalu Ceya yang duduk bersamaku terpaksa berpisah karena namanya tidak disebut. Aku menghela napas cemas, karena tidak seorang pun yang akrab denganku masuk ke ruangan yang sama.
Selanjutnya dari acara ini, akan dijelaskan pembelajaran singkat yaitu mata pelajaran bahasa inggris. Seorang guru mengenalkan diri, lalu menanyakan siapa yang mendapatkan nilai UN bahasa Inggris yang sempurna, dan disuruh untuk kedepan.
Dengan bersemangat, aku menyebutkan nama teman SMP yang duduk jauh dariku dengan teriakan. Sejujurnya aku hanya bangga padanya, dan terlihat sepertinya cara teriakan ini justru mengundang pemikiran bahwa diri ini caper. Oke, aku mengakuinya, bahwa memang terlihat seperti cewek caper. Padahal aku hanya bangga padanya meski kami hanya teman sekelas yang bahkan tidak sering saling bicara.
Setelahnya, aku justru teralihkan dengan seseorang yang berjalan gagah lalu menghampiri temannya untuk first bump—salam kepalan tangan. Entah kenapa aku menyadari bahwa mereka ada kemiripan, tetapi aku tidak mau berpikir lama dan tidak mengacuhkannya.
Guru tersebut memberikan kalimat selamat dan bangganya pada beberapa siswa yang ke depan. Aku melihat salah satu teman itu dengan bangga, walau tak dipungkiri bahwa seseorang tadi cukup membuatku teralihkan. Auranya terlihat berbeda yang entah mengapa sangat mengusik ketenangan jantungku.
Kemudian, Guru tersebut mengetes para siswa dengan menuliskan 10 kata bahasa Inggris. Sebagai siswa yang tidak menyukai dan bahkan mendapat nilai rendah pada mata pelajaran bahasa Inggris, aku sangat malas dan berpikir keras menjawabnya. Yah, walaupun akhirnya aku pasrah dan mengumpulkannya apa adanya.
***
Pergantian hari pun berjalan, dan kegiatannya semakin intens. Sampailah kepada pengumuman kelas. Nama-nama itu dilontarkan oleh panitia acara seraya mengatur tempat. Namaku masuk di kelas X IA-C, yang dimana tidak sekelas dengan Ceya. Jujur aku cukup kecewa dengan hal tersebut, namun setelahnya aku tetap duduk di tempat perkumpulan nama yang sekelas. Sebuah perkumpulan lain membuatku teralihkan, ternyata memang benar bahwa dua orang yang kulihat kemarin nyatanya kembar. Nama mereka disebutkan, yang pertama Chandra yang memasuki kelas X IA-A lalu satu lagi Khandra yang entah kenapa aku sangat berharap ia memasuki kelas yang sama denganku. Dan ternyata, benar. Lagi-lagi getaran aneh, ku rasakan dalam diri.
Walaupun sebenarnya, aku tidak banyak berharap akan jatuh hati lagi. Karena dalam pengalamanku, tidak ada hal baik saat jatuh hati. Tapi kali ini, semesta membuatku membuka hati dengan suka rela. Padahal sebelumnya, tak ada sedikitpun keinginanku jatuh hati. Tapi apa daya? Bahwa hati ini pun bukan aku yang mengaturnya, namun sang pencipta.
Sebelumnya, aku benar-benar menutup hati, untuk siapapun, bahkan sulit bagiku menerima pertemanan. Setelah beberapa kejadian patah hati tentang pertemanan dan pecintaan, kerap kali membuat aku menjadi penyendiri. Aku kesulitan terhadap diriku sendiri, tapi anehnya, kali ini dunia terasa membercandaiku. Seakan sekuat apapun aku menutup hati, pada akhirnya akan terbuka jua oleh kehendak-Nya.
Sepertinya kalimatku cukup berlebihan, tetapi sayangnya, aku menuliskan diary ini bukan di hari-H langsung. Namun, setelah sebulan dia yang menyita perhatianku. Benar. Namanya Khandra Michael Lais.
***
Pada hari terakhir MPLS, acara selanjutnya yaitu latihan PBB. Aku memang kebiasaan kalau sekolah jarang sarapan, padahal kalau tidak sarapan, kaki takkan kuat bertahan lama berdiri. Jadi saat kami sedang berbaris, aku bersama teman memilih untuk menyerahkan diri guru dan melapor karena sudah tidak kuat lagi berdiri.
Waktu berlalu dan siangpun datang. Aku tidak jelas ingat apa yang terjadi. Hari itu semuanya terasa datar. Aku hanya berharap ingin cepat selesai karena lelah mengikuti kegiatan MPLS yang lumayan menguras tenaga.
***
Saat guru menyampaikan bahwa siapapun yang memiliki nilai UN bahasa inggris mendekati sempurna untuk maju ke depan, dengan gagahnya ia berjalan dan bertegur sapa dengan temannya. Tapi sebuah teriakan mengusiknya. Ia menatap aneh seorang cewek yang nampaknya excited sendirian.
Setelah mengetahui wajah-wajah teman sekelas, Khandra menyadari bahwa cewek yang dia lihat kemarin justru sekelas dengannya. Ia memilih untuk tidak peduli, dan menikmati acara MPLS tersebut. Ada kesenangan tersendiri karena banyak temannya yang masuk ke SMA yang sama.
Sebelum memulai latihan PBB, dua orang gadis keluar dari barisan membuat Khandra teralihkan sejenak. Namun, ia tak melihat wajahnya dengan jelas. Sampai pada akhirnya, saat absensi dan berkumpul bersama sekelas. Baru ia sadari bahwa salah satu gadis tersebut adalah gadis yang sama dengan gadis excited sendirian itu. Sedetik ia berharap bahwa gadis itu baik-baik saja. Bagaimanapun, mereka akan jadi teman sekelas, maka ada baiknya saling menjaga. Setelah kedua gadis itu balik dari UKS, saat itulah Khandra mengenali namanya. Benar. Namanya Divya Cassia Finley.
***
Khandra menyudahi dengan menutup diary itu. Hatinya seakan menghangat mengingat masa lalu. Perlahan, ia bangkit dari tempat duduknya sesekali memperhatikan kelas lamanya itu.
Andai saja diary ini sampai ke tanganku sejak buku ini ada disini. Mungkin, aku dapat memperjuangkannya batin Khandra.
Tanpa mereka sadari, masa lalu sempat membuat mereka saling berpapasan. Tahun ketiga di SMP.
Langkah yang tergesa-gesa, napas yang berhembus cepat, mata yang tak sengaja menangkap seseorang yang dikenal gadis remaja ini. Sengaja berbalik badan memanggil temannya yang juga mengenal orang itu. "Ryen, cepetan! Nanti ketinggalan bus loh!" teriak gadis itu didepan rombongan SMP EVARIA yang merupakan lawan sengit dari SMP gadis itu.
Setelah Ryen dapat menyusulinya, dia berbisik pada Ryen, "Itu guru lo, sapa dong." Yang matanya melihat ke rombongan SMP EVARIA, disana ada seorang bapak guru yang membimbing anak-anaknya. "Guru lo kali, Divya," balas Ryen yang juga berbisik seraya tertawa. Mereka kembali berlari ke gerbang SMA mencari bus yang membawa mereka pulang.
Pada rombongan SMP EVARIA, terdapat laki-laki yang menatap gadis-gadis itu "Ndra, itu bukannya anak SMP ELANA?"
Khandra juga menatap rombongan gadis itu karena baju batik mereka dapat ia kenali, sekolah yang paling berlawanan dengan sekolahnya. "Dari bajunya, iya, Ndi."
Bapak guru yang Ryen dan Divya sebut, sempat mengambil jam di SMP ELANA dan kebetulan mengajar di kelas mereka setahun yang lalu. Para gadis itu, enggan menyapa karena dahulu bapak tersebut tidak bisa mengajar kelas dengan baik di kelasnya—menurut mereka—.
Sedangkan mereka saat itu berada di tempat lomba yang jauh dari asal mereka, baik bagi SMP EVARIA maupun SMP ELANA. Tempat lomba itu, mengharuskan memakai baju batik dari sekolah masing-masing karena lomba itu juga dinamakan BATIK di SMA terkenal luar kota.
To be continued.