Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Wisuda dilaksanakan pada tanggal 20 Desember. Adel jadi orang yang paling sibuk mempersiapkan wisuda daripada Mawar sendiri. Sejak awal bulan, ia sudah mencari-cari make up artist yang bagus, kebaya yang pas untuk Mawar, juga berbagai referensi gaya kerudung yang anggun. 

Make up sendiri aja, Del. Aku bisa kok.”

“Ini hari sakral! Nggak boleh sembarangan!”

“Tapi aku nggak mau kamu keluar duit lagi buat aku.”

“Duitku banyak! Nggak usah khawatir!”

Make up sendiri atau nggak pakai make up sama sekali.”

Adel akhirnya menyerah. Ia membiarkan Mawar memoles wajahnya sendiri untuk menghadiri wisuda. Setidaknya, ia cukup puas dengan kebaya merah marun pilihannya. Payet yang menghiasi seluruh bagian depan kebaya memberi kesan yang manis dan anggun. Mawar tampil sempurna dengan hijab berwarna senada dan bawahan kain batik berwarna cokelat bercampur krem.

Setelah sampai di Graha Cendekia, Mawar mulai merasa cemas. Setelah dua bulan terakhir, keadaannya memang sudah sangat membaik. Ia melakukan konsultasi rutin dengan psikolog klinis. Ia juga sudah mengurus asuransinya sehingga bisa berobat ke psikiater untuk melakukan terapi dan obat-obatan yang mampu menenangkannya. Dokter bilang, ia memiliki kemajuan yang pesat.

Akan tetapi, Mawar tahu kalau kemajuan itu dikarenakan ia tak bersama dengan sumber traumanya. Dan kini, ia akan menghadapi lagi keluarga yang selama dua bulan ini dihindari. 

“Ibumu beneran datang?” tanya Adel sembari mengulurkan sebotol air mineral. 

Mawar menerimanya dan meneguk sampai tinggal setengah. 

“Datang, katanya,” balas Mawar.

Adel sebenarnya tak setuju saat Mawar mengatakan akan memberitahu ibunya tentang acara wisuda, tapi Mawar berkata kalau ibunya berhak tahu karena sudah membantu membiayai perkuliahannya. 

“Mereka datang dari Gresik kan, ya? Pantesan lebih lama,” celetuk Adel. 

Mawar mengangguk. Sedangkan matanya masih awas mengamati satu per satu manusia yang mulai berkumpul di depan Graha Cendekia karena acara wisuda akan dimulai dua puluh menit lagi. 

Sebenarnya, Mawar juga baru tahu kalau keluarganya pindah ke Gresik setelah membuka blokir kontak ibunya saat ia akan mentransfer gajinya. Selama ini, ia sibuk mengajar les privat ke banyak anak selama menunggu wisuda. Toh, ia sudah tak memiliki kesibukan lagi—selain mencari pekerjaan tetap, tentunya.

Mawar harus menerima makian selama tiga jam non-stop dari ibunya. Mengatakan kalau mereka harus pindah karena malu dengan para tetangga. Namun, luapan emosi ibunya akhirnya mereda setelah Mawar berjanji akan mentransfer uang secara rutin.

Keluarga Mawar baru datang lima menit tepat sebelum Graha Cendekia ditutup. Mawar bersyukur karena tak melihat batang hidung Rafli di antara ayah, ibu dan adiknya. 

“Ka—kamu sehat?” tanya Maja, setelah Mawar mencium punggung tangannya.

“Sehat, Yah. Alhamdulillah sehat. Ayah sehat?” Mawar balik bertanya. Maja menjawab dengan anggukan. 

Kemudian, Mawar meraih tangan ibunya, tapi Tri menepis Mawar dan lebih memilih langsung melengah masuk ke dalam gedung dengan menggandeng Lea. Adel yang menjadi saksi mata keketusan ibu Mawar cukup kaget melihatnya.

“Ya udah, yuk kita semua masuk,” ucap Mawar. 

Mawar dan Adel membantu Maja memasuki Graha Cendekia dengan menggandengnya di sisi kanan dan kiri. Mawar harus berpisah dari rombongan keluarga dan Adel untuk duduk di tengah aula yang disediakan bagi para wisudawan.

Selama menunggu namanya dipanggil, Mawar terus-menerus menghapus air matanya dengan tisu. Ia sudah merasa kalau hari ini ia akan banyak menangis. Oleh karena itu, ia tak mau Adel kerepotan dengan menyewa MUA untuknya.

Sampai detik ini, Mawar masih merasa sedang berada di dunia mimpi. Ia sudah menyelesaikan sidang, yudisium, dan rangkaian wisuda yang di depan mata. Padahal, beberapa waktu yang lalu ia sudah bersiap untuk menyerah. Ia bahkan hampir mengakhiri hidupnya, tapi lihatlah sekarang … ia mampu berdiri tegak di dekat podium untuk mendapatkan gelar yang selama ini diperjuangkan.

“Mawar Dwi Atmaja.”

Mawar menaiki podium dengan jantung berdebar-debar. Acara serah terima ijazah dan perpindahan tali toga ke sebelah kanan bagaikan membalik lembaran terakhir dalam sebuah buku. Yang mana, ia sudah siap untuk membuka lembaran baru di buku yang lain. Babak kehidupannya yang paling awal. 

Adel langsung berlari memeluknya setelah acara itu berakhir. Mawar juga memeluk ayahnya dan Lea dengan erat, sedangkan ibunya masih enggan mendekat ataupun mengucap selamat. 

“Pose di situ, ya! Aku fotoin!” seru Adel seraya mengangkat kamera digitalnya tinggi-tinggi sebagai tanda untuk Mawar. 

Mawar mencoba mengatur posisi orang tuanya. Ayah berada di sisi kanan, lalu dirinya sendiri sambil menggandeng Lea, dan ibunya di sisi kiri. Meskipun ibunya masih tak mengatakan sepatah kata, Mawar tetap bersyukur karena ibunya masih bisa diajak berkoordinasi. 

“Mawar. Ibu mau ngomong.”

Setelah puasa bicara satu jam lamanya, akhirnya Tri membuka suara. 

“Ya, Bu?”

“Sini.”

Mawar mengangguk saat ibunya menggiring ke tempat yang lebih sepi. Mereka memilih berdiri di bawah pohon pule yang agak jauh dari kerumunan keluarga wisudawan dan para mahasiswa yang merayakan kelulusan. Ya, meskipun masih ada beberapa orang yang melewati mereka karena mencari tempat yang pas untuk sesi foto mengabadikan momen. 

“Ada apa, Bu?” tanya Mawar.

Tri masih menunjukkan air muka tak bersahabat. Ia berdehem sesaat sebelum menyuarakan yang selama ini ditahan. 

“Setelah ini kamu harus menikah. Ada tetangga nenekmu di Gresik yang lagi cari istri. Dia duda kaya raya dan anaknya baru satu.”

Saat Mawar memutuskan untuk menghubungi ibunya lagi dan mengundang agar datang ke wisuda, ia kira ibunya sudah lebih banyak berubah. Ia kira, ibunya akan menyadari bahkan sikapnya selama ini begitu menyakitinya. Namun, kali ini ia sadar kalau manusia memang sulit berubah.

“Aku nggak mau, Bu,” tolak Mawar dengan tegas.

Tri mengerutkan dahi. “Kamu nggak bisa nolak. Ibu sudah bilang setuju.”

Kedua tangan Mawar mengepal menahan kesal. Perasaan benci dan sakit yang selama beberapa waktu ini menghilang akhirnya muncul kembali. Benar kata Dokter Fira, psikiaternya, ia bisa kambuh lagi jika berhubungan dengan sumber trauma.

“Ini hidupku, Bu.” Mawar mengambil napas dalam-dalam. Berusaha sekuat mungkin untuk berani. Ia tak mau diinjak-injak lagi. Ia tak mau terus menuruti perintah yang tak sejalan dengan keinginannya.

“Aku yang akan buat keputusan untuk hidupku sendiri, Bu. Baik itu soal pernikahan ataupun yang lainnya,” tegas Mawar.

“Kamu harus dengerin ucapan ibumu ini kalau nggak mau jadi anak durhaka!” seru Tri.

“Aku tahu Ibu yang sudah bawa aku ke dunia ini, tapi aku punya hak untuk menentukan jalan hidup sebagai manusia.” Mawar sangat menahan suara agar tak ikut meninggi. “Lagi pula, bukannya Ibu bilang aku punya hutang yang harus dibayar? Aku sudah diterima kerja dan akan transfer setiap bulan. Ibu nggak perlu khawatir.”

Tri masih terlihat geram, tapi akhirnya ia mengangguk setuju. 

“Oke. Ibu pegang omongan kamu.”

Mawar akhirnya bisa menghela napas lega.  

“Tapi aku punya syarat juga,” ungkapnya kemudian.

“Syarat? Kamu masih punya syarat buat transfer uang? Berani banget kamu?! Apalagi baru membantah perjodohan!” Tri kembali berkacak pinggang dengan raut marah.

“Aku cuma minta agar Ibu perlakukan Ayah dengan baik. Aku janji akan kasih banyak uang, tapi perlakukan Ayah dengan baik,” balas Mawar secepatnya.

Bola mata Tri makin melotot benci. “Dia sudah hancurin keluarga ini, tapi kamu masih berharap Ibu bersikap baik?”

“Setiap orang berhak punya kesempatan kedua, Bu. Ayah kan juga sudah menyesali sikapnya dulu.”

“Inilah kenapa Ibu nggak suka kamu! Karena kamu mau menerima ayahmu!”

“Jadi … alasan Ibu membenciku karena itu?”

Seringkali Mawar bertanya-tanya kepada diri sendiri tentang kesalahannya yang mungkin membuat ibunya benci. Ia sadar kalau sikap ibunya memang semakin kasar dari hari ke hari, tapi ia tak tahu kalau semua itu bermula saat ia menerima kembali ayahnya untuk tinggal di rumah. 

“Dia udah nyakitin kita! Dia udah ninggalin kita! Tapi bisa-bisanya kamu buka pintu dan persilakan gitu aja!” teriak Tri dengan penuh emosi. 

Biasanya, pekikan itu hanya dilapisi dengan kemarahan tapi kini Mawar bisa melihat sebersit riak di matanya. Untuk sesaat, ia tertegun karena saat sadar ibunya sedang menahan tangis.

“Ayahmu nggak inget kita sewaktu menikah lagi! Dia pergi dari tanggung jawabnya, Mawar!”

Tubuh Mawar membeku saat tirai yang menutupi hati ibunya terbuka perlahan. Di matanya sekarang, ibunya lebih terlihat seperti perempuan yang kesakitan karena cintanya. Perempuan yang patah hati akan kehidupan. 

Serta-merta Mawar segera mendekat dan memeluk ibunya. Pelukan pertama yang mereka rasakan setelah sekian lamanya. 

“Selama ini Ibu juga mencoba mengesampingkan sakit hati Ibu! Tapi susah!” Tri masih berteriak. Suaranya menjadi makin nyaring karena berdekatan dengan telinga Mawar.

“Maaf, Bu.”

Melihat ibunya menangis berhasil meremas hatinya. Bibirnya ikut bergetar karena menahan tangis saat mendengar rintihan ibunya. Dan tangisan itu akhirnya pecah juga saat sang ibu membalas pelukannya. 

Jarak antara ia dan ibunya yang terbentang jauh seketika merekat dengan satu pelukan. Pelukan yang hangat, juga basah karena dipenuhi air mata. Pelukan itu terlepas setelah sepuluh menit lamanya. 

Tri mengusap air matanya dan Mawar menjulurkan tisu yang selalu disimpan di tas. 

“Oke. Ibu akan penuhi syarat dari kamu,” celetuknya kemudian. “Karena Ibu juga mengaku salah karena membela Rafli.”

“Apa?”

Apa yang baru diucapkan ibunya adalah hal yang paling membuatnya terkejut hari ini. Tatapan matanya bahkan terus melebar dan menuntut ibunya untuk terus berbicara.

“Setelah kamu pergi, Rafli bikin ulah dengan mengintip tetangga yang sedang mandi. Tetangga itu punya bukti kuat, jadi Ibu sadar kalau yang kamu ucapkan waktu itu memang benar.”

“Lalu dimana dia sekarang?” tanya Mawar dengan cepat, secepat deru napasnya yang terembus pendek-pendek.

“Ibu nggak tahu. Dia kabur karena tetangga iru melapor ke polisi. Mungkin balik ke Jakarta.”

Tri menelan ludahnya. Sejak berhadapan dengan Mawar, ia sudah menahan diri untuk tetap menunjukkan kekesalannya seperti biasa. Namun, ia masih memiliki hati seorang ibu yang bisa lunak. Ketabahan Mawar dan ketegasannya hari ini seolah menjadi tamparan keras.

“Ibu minta maaf karena nggak ngebela kamu waktu itu,” ucapnya kemudian. “Ibu sudah nggak punya muka lagi di sini, makanya pindah ke rumah nenekmu.”

Mawar tak bisa langsung membalas segala ucapan sang ibu. Ia tak menduga kalau alasan asli dibalik kepindahan keluarganya ke Gresik karena Rafli. 

“Terserah kamu mau memaafkan atau tidak. Mau memblokir kontak Ibu lagi atau tidak,” tukas Tri sebelum berlalu dari hadangan Mawar dengan air muka yang kembali pedas. Seolah-olah ia tak baru menangis tersedu-sedu dalam dekapan anaknya.

“Kamu sama Ibumu udah baikan?” tanya Adel ketika Tri sudah sepenuhnya menjauh.

Adel sudah mengamati Mawar dan ibunya sejak tadi, takut-takut jika Mawar kembali mendapat perlakuan buruk. Namun, ia lega bukan main saat melihat mereka berpelukan.

“Hm. Kayaknya.”

Adel menyikut lengan Mawar dengan senyuman lebar.

Good for you.

Yeah, good for me. Aku nggak tahu kenapa dunia jadi tiba-tiba baik,” gumam Mawar.

Jauh dalam hatinya, ia masih menyimpan rasa takut dengan berbagai hal baik yang mulai berdatangan. Bagaimana jika ada harga yang harus ia bayar untuk merasakan hal baik ini? Bagaimana jika Tuhan memberi ujian yang lebih gila lagi?

“Anggap aja hal-hal baik ini sebagai hadiah atas kesabaran kamu selama ini, Mawar. Hidup ini kan kayak roda, ini saatnya kamu berada di roda atas. Jadi, nikmatilah. Terbanglah.”

Kadang kala Adel bisa berubah menjadi motivator paling ahli yang bahkan mengalahkan para pembicara di acara-acara televisi. Dia mampu merangkai kalimat dengan indah dan menenangkan. Kemajuan Mawar kali ini pun berdasar andil Adel yang cukup besar. Kalau Adel tak memaksanya berkonsultasi dan berobat ke ahli jiwa, mungkin ia masih terpenjara dalam traumanya. 

“Ngomong-ngomong, kamu beneran bakal pindah?” tanya Adel.

Mawar mengangguk. “Iya. Aku udah keterima kerja di Karawang, jadi harus cari tempat tinggal di sana.”

Selama dua bulan tinggal di rumah Adel, ia terus mencari cara agar keluar dari sana. Bukan karena Adel dan keluarganya bersikap buruk, mereka justru sangat baik sampai ia sungkan bukan main. Orang tua Adel bahkan sering mengatakan kalau ia adalah putri keduanya. Namun, sebaik dan sedekat apapun keluarga Adel dengannya, ia tetaplah orang asing. Ia tak mau terus mengganggu keluarga Adel dengan kehadirannya.

“Nyesel deh ngasih loker itu ke kamu. Harusnya aku kasih informasi loker di deket sini-sini aja,” gerutu Adel.

“Kan kita bisa ketemu lagi. Bukan pisah selamanya,” sahut Mawar sambil memeluk Adel. 

Adel membalas pelukan itu dengan lesu. Ia sungguh tak siap berpisah dengan Mawar. 

“Kamu yakin udah oke?” tanyanya, memastikan.

“Uuuudaaaah.” Mawar menjawab dengan mendayu, pasalnya Adel sudah menanyakan hal yang sama sepuluh kali dalam sehari. 

“Jangan lupa diminum obat-obatnya, ya. Kalau lagi kambuh atau butuh sesuatu langsung hubungi aja.”

“Iya, Bawel.”

Mawar mencubit pipi tembam Adel, lalu terkikik geli karena Adel yang mengeluh sakit. Ketika Adel ingin membalas dengan mencubit pipinya, Mawar berbalik dan bersiap untuk lari.

“Kak Mawar.”

Akan tetapi, sosok lelaki yang tiba-tiba berdiri di depan Mawar membuatnya tersentak. Adel yang berada di belakangnya pun ikut menghentikan langkah.

“Arjun.”

Mawar memanggil nama itu dengan sangat lirih. Ketakutan untuk bertemu Arjun rupanya tak bisa untuk dihindari lagi. Anehnya, ada sudut hati yang lega saat menemukan kembali sinar mata yang selama ini selalu hadir di mimpinya setiap malam.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SECRET IN KYOTO
550      398     6     
Short Story
Musim semi adalah musim yang berbeda dari empat musim lainnya karena selalu ada kesempatan baru bagiku. Kesempatan untuk tumbuh dan mekar kembali bersama dengan kenangan di masa lalu yang kuharap akan diulang kembali.
Why Him?
602      329     2     
Short Story
Is he the answer?
Soulless...
5460      1265     7     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
Warisan Tak Ternilai
479      177     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Mencari Virgo
486      344     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
Nona Tak Terlihat
1740      1106     5     
Short Story
Ada seorang gadis yang selalu sendiri, tak ada teman disampingnya. Keberadaannya tak pernah dihiraukan oleh sekitar. Ia terus menyembunyikan diri dalam keramaian. Usahanya berkali-kali mendekati temannya namun sebanyak itu pula ia gagal. Kesepian dan ksedihan selalu menyelimuti hari-harinya. Nona tak terlihat, itulah sebutan yang melekat untuknya. Dan tak ada satupun yang memahami keinginan dan k...
Yu & Way
133      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Trainmate
2713      1186     2     
Romance
Di dalam sebuah kereta yang sedang melaju kencang, seorang gadis duduk termangu memandangi pemandangan di luar sana. Takut, gelisah, bahagia, bebas, semua perasaan yang membuncah dari dalam dirinya saling bercampur menjadi satu, mendorong seorang Zoella Adisty untuk menemukan tempat hidupnya yang baru, dimana ia tidak akan merasakan lagi apa itu perasaan sedih dan ditinggalkan. Di dalam kereta in...
Tumpuan Tanpa Tepi
10882      3038     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Ketos in Love
1106      633     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...